menilai karya sastra

Menilai sebuah karya seni, khususnya sastra memang tidak mudah, sama seperti mendefinisikan apa itu sastra. Sastra yang baik menurut si A belum tentu sama menurut si B. Demikian juga sebaliknya. Namun, dari zaman ke zaman usaha menilai estetika karya sastra sudah dilakukan.

Baca juga: Sastra Sulit Didefinisikan

Beginilah cara menilai karya sastra itu baik atau tidak dari zaman ke zaman seperti yang dijelaskan B. Rahmanto dalam kuliah Pengantar Ilmu Sastra di Prodi Sastra Indonesia USD.

Menurut Aristoteles

Pada zaman Yunani Kuno, menurut Aristoteles, jenis sastra yang paling populer adalah drama. Ada tiga macam jensi drama, yaitu tragedi, komedi, dan tragi-komedi. Yang paling tinggi nilai estetiknya adalah drama komedi.

Nilai estetiknya ditentukan oleh tiga hal pula, yaitu pity, terror, dan catharsis. Pity berkaitan dengan penonton yang merasa kasihan. Terror terkait dengan penonton yang merasa takut dan ngeri bagai diteror. Catharsis berkaitan dengan penonton yang merasa lega, terbebas dari pity dan terror. Jadi, karya sastra yang baik adalah yang mampu menciptakan katarsis bagi penikmatnya.

Menurut Horatius

Beda lagi dengan Horatius beberapa abad setelahnya. Karya sastra yang baik menurut Horatius harus memiliki kriteria dulce et utile (nikmat dan bermanfaat atau tuntunan dan tontonan). Memberi kenikmatan dan manfaat artinya memberikan kekayaan batin, wawasan kehidupan dan moral sekaligus memberi hiburan dan pelepasan dari ketegangan/beban hidup.

Menurut Jane Austin

Memasuki abad ke-19, Jane Austin (1775—1817) mengenalkan kriteria baru, yaitu bentuk dan isi (form and content). Menurut Austin, bentuk dan isi harus seimbang. Bentuk adalah cara/teknis menulis (menyangkut bahasa). Isi adalah pemikiran (konsep, aliran, ideologi dari pengarang) yang akan dituangkan dalam karya sastra (juga menyangkut moral). Bentuk yang terlalu baik akan melahirkan karya sastra yang kosong, sedangkan isi tanpa bentuk yang tepat melahirkan karya yang menggurui/karya propaganda.

Menurut Forster

Memasuki abad ke-20 E.M. Forster (1879—1970) dalam bukunya Aspects of Novel membagi antara story (cerita) dengan plot (alur). Karya sastra yang baik bukan sekadar cerita tetapi harus memiliki plot. Peristiwa satu dan yang lain diikat oleh hukum sebab-akibat.

Kunci penting sebab akibat adalah konflik. Kunci penting konflik adalah tokoh dan penokohan. Perbedaan karakter penokohan memicu konflik. Konflik yang baik adalah konflik yang dilematis. Ada klimaks dan surprise sebagai penutup plot.

Forster membagi tokoh yang bulat (round character) dan datar (flat character). Tokoh bulat mempunyai kemampuan untuk berubah, belajar dari pengalaman dan menyesuaikan diri dengan keadaan. Sementara itu, tokoh datar tidak mampu berubah dari awal sampai akhir kisah. Tokoh bulat yang baik harus konsisten dalam setiap perubahannya dan harus mempunyai motivasi yang kuat untuk berubah. Singkatnya karya sastra yang baik harus mempunyai tokoh bulat, konflik, klimaks dan surprise.

Menilai Karya Sastra yang Absurd

Mendekati abad ke-21, muncul aliran lain lagi yang menganggap karya sastra yang baik itu karya yang sulit dipahami. Aliran ini menganut absurdisme. Semakin absurd suatu karya, semakin bernilai sastra karya tersebut.

Apa pun dasar penilaiannya, menikmati karya sastra (dan juga karya seni yang lain) itu memang subjektif. Setiap pribadi memiliki selera yang berbeda dengan orang lain. Semua selera itu baik dan benar karena setiap pribadi manusia memang diciptakan sebagai makhluk yang unik.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *