semiotika barthes

Teori semiotika Roland Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori bahasa menurut Saussure yang mengemukakan empat konsep teoretis, yaitu sinkronis-diakronis, langueparole, penanda-petanda, dan sintagmatik-paradigmatik. 

Tanda dianalisis sesuai pandangan sintagmatik dan paradigmatik. Barthes mengembangkan hal itu dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susunan yang didasari hubungan sintagmatik. Dalam mengamati sistem busana, Barthes membedakan sintagme dengan sistem. 

Sistem busana dapat dilihat sebagai perangkat unsur-unsur yang masing-masing mempunyai tempat tertentu pada tubuh manusia. Ada tutup kepala, pelindung tubuh bagian atas, pelindung tubuh bagian bawah, dan alas kaki. 

Setiap unsur memiliki variasi. Misalnya, (a) untuk tutup kepala ada topi, peci, dan kerudung; (b) untuk pelindung tubuh bagian atas ada kaus, kemeja, dan jas; (c) untuk pelindung tubuh bagian bawah ada celana, rok, dan sarung; serta (d) untuk alas kaki ada sandal, sepatu, dan selop. Urutan (a) sampai (d) tersebut merupakan sintagme yang membentuk satu struktur. Urutan tersebut membentuk susunan yang disebut susunan sintagmatik. 

Setiap unsur memiliki makna sendiri-sendiri yang kemudian dikenal dengan fungsi. Setiap variasi dari setiap unsur memiliki fungsi dasar yang sama tetapi ada fungsi tambahan yang berbeda-beda. Persamaan dan perbedaan fungsi antarvariasi membentuk relasi yang bersifat asosiatif atau paradigmatik. Relasi tersebut disebut dengan sistem. 

Dengan pemahaman tersebut, Barthes memperlihatkan bagaimana manusia memandang gejala kehidupan sehari-hari (kebudayaan) sebagai tanda. Berthes mengembangkan model dikotomis penanda-petanda menjadi lebih dinamis. 

Konsep E-R-C

Barthes mengemukakan bahwa dalam kehidupan sosial budaya, penanda adalah ekspresi tanda (E) dan petanda adalah isi tanda, atau content dalam bahasa Inggris, atau contenu dalam bahasa Prancis (C). Jadi, tanda adalah relasi (R) antara E dan C maka disebutlah model konsep E-R-C.

Dalam kehidupan sosial budaya, manusia tidak hanya memakai tanda sebagai relasi E dan C secara satu tingkat saja. Proses penandaan tidak hanya terjadi dalam satu lapis, tetapi berlapis-lapis. Barthes menggunakan teori penanda dan petanda yang dikembangkan menjadi teori tentang metabahasa dan konotasi. 

Setiap tanda selalu memperoleh pemaknaan awal yang dikenal secara umum (denotasi) dan oleh Barthes disebut sistem primer. Pengembangannya disebut sistem sekunder. Sistem sekunder yang ke arah E disebut metabahasa. Sementara itu, sistem sekunder yang ke arah C disebut konotasi, yaitu pengembangan C sebuah ekspresi.

Metabahasa

Sudah dijelaskan bahwa antara E dan C harus ada R tertentu sehingga terbentuk tanda (sign, Sn). Hal ini sama dengan konsep Saussure. Namun, konsep R ini membuat teori tentang tanda berkembang karena R ditetapkan oleh pemakai tanda. Menurut Barthes, E dapat berkembang dan membentuk penanda/ekspresi baru sehingga ada lebih daru satu penanda/ekspresi dengan C yang sama. Pengembangan ini disebut sebagai gejala metabahasa dan membentuk apa yang disebut sinonimi. 

Sebagai contoh, sebuah C berupa pengertian ‘seseorang yang dapat menggunakan ilmu gaib’ sering disebut dengan E dukun. Di sisi lain, pengertian yang sama dapat diungkapkan dengan E yang lain, seperti paranormal atau orang pintar

Contoh lain, sebuah C berupa pengertian ‘tempat narapidana dihukum’ disebut dengan E penjara. Namun, C yang sama dapat juga diungkapkan dengan E yang lain, yaitu hotel prodeo atau lembaga pemasyarakatan.

Konotasi dan Mitos

Barthes juga mengembangkan dua tingkatan penandaan yang memungkinkan untuk dihasilkannya makna yang juga bertingkat-tingkat, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda, atau antara tanda dan rujukannya pada realitas yang menghasilkan makna yang eksplisit, langsung, dan pasti. Makna denotasi dalam hal ini adalah makna pada apa yang tampak. 

Misalnya, foto wajah Cristiano Ronaldo berarti wajah Cristiano Ronaldo yang sesungguhnya. Denotasi adalah tanda yang penandanya mempunyai tingkat konvensi atau kesepakatan atau kesepakatan yang tinggi.

Konotasi adalah tingkat penandaan yang menjelaskan hubungan antara penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti (artinya terbuka terhadap berbagai kemungkinan). Ia menciptakan makna lapis kedua yang terbentuk ketika penanda dikaitkan dengan berbagai aspek psikologi seperti perasaan, emosi, atau keyakinan. 

Misalnya, foto wajah Cristiano Ronaldo yang bermakna denotasi wajah Cristiano Ronaldo yang sesungguhnya ternyata juga dapat dimaknai secara berlapis dan melahirkan makna-makna konotasi yang baru seperti ‘pemain terbaik dunia’, ‘kerja keras’, ‘juara’, dan ‘Penaldo’.

Selain itu, Barthes juga melihat makna yang lebih dalam tingkatannya, tetapi lebih bersifat konvensional, yaitu makna-makna yang berkaitan dengan mitos. Mitos dalam pemahaman semiotika Barthes adalah pengodean makna dan nilai-nilai sosial (yang sebetulnya arbitrer atau konotatif) sebagai sesuatu yang dianggap alamiah.

mitos

Penerapan Teori Semiotika Barthes untuk Menganalisis Bahasa

Teori semiotika Roland Barthes dapat diterapkan untuk menganalisis bahasa. Dalam pembahasan kali ini teori ini digunakan untuk menganalisis metafora dan wacana, khususnya wacana iklan. Tujuan analisis ini adalah menemukan ideologi di balik bahasa atau oleh Barthes disebut mitos.

Metafora dapat dipahami sebagai cara menjelaskan suatu konsep yang lebih abstrak dengan konsep lain yang lebih konkret. Metafora membuat manusia melihat sesuatu dengan perantaraan benda yang lain. Umumnya, metafora digunakan untuk memahami hal yang abstrak dengan hal yang lebih konkret. Misalnya, teori, ide, kecantikan, cinta, korupsi, dan Tuhan.

Metafora selain dapat dipandang sebagai ikon, juga dapat dilihat sebagai tanda berlapis. Metafora merupakan salah satu gejala sistem yang bersifat paradigmatik. 

  • kaki manusia
  • kaki meja
  • kaki gunung

Bentuk kaki yang merupakan E yang menyatakan C berupa ‘organ bagian bawah manusia sebagai penopang untuk berdiri’ telah mengalami perluasan C2 menjadi ‘bagian bawah gunung dan meja sebagai penopang untuk berdiri’. Dengan demikian, gejala yang terjadi adalah konotasi.

Namun, metafora juga dapat dipandang sebagai metabahasa dalam susunan paradigmatik.

  • Parasnya sangat cantik.
  • Parasnya sangat manis.

Kata cantik dan manis dalam dua kalimat di atas menunjukkan bahwa keduanya dapat bersifat paradigmatik atau saling menggantikan. C tentang sifat rupawan dapat ditandai dengan E cantik. Di sisi lain, C tersebut dapat pula diwakili oleh E2 manis yang dalam konteks yang lain merupakan E untuk C tentang rasa gula. Pergeseran makna tersebut membuat kata manis bisa menjadi sinonim kata cantik sehingga membentuk metabahasa.

Metafora juga dapat dilihat sebagai tempat bersembunyinya mitos. Ungkapan-ungkapan tradisional sarat dengan metafora-metafora yang di balik itu tersimpan cara manusia menghayati suatu konsep.

  • Urip mung mampir ngombe. ‘Hidup hanyalah kesempatan singgah untuk minum.’
  • Urip kaya rodha. ‘Hidup itu seperti roda.’
  • Urip mono kaya wayang, kudu manut dhalang. ‘Hidup itu seperti wayang, harus mengikuti kehendak dalang.’

Ungkapan pertama menggambarkan bahwa kehidupan dimetaforakan seperti perjalanan. Sementara itu, ungkapan kedua menyatakan bahwa kehidupan selalu berputar seperti roda. Ungkapan ketiga memperlihatkan bahwa hidup itu seperti dunia perwayangan. Manusia sebagai wayangnya, Tuhan sebagai dalangnya.

Metafora juga bisa berupa metonimia. Kata metonimia berasal dari meta ‘menunjukkan perubahan’ dan onoma ‘nama’. Metonimia berarti menggunakan sebuah satuan gramatikal untuk menyatakan hal lain karena mempunyai pertalian yg sangat dekat. Metonimia bersifat substitutif. Contoh paling sederhana dari metonimia adalah penyebutan merek tertentu untuk menggantikan nama barang yang dimaksud seperti honda, odol, jarum, dan sanyo. Metonimia juga bisa berupa penyebutan nama orang untuk menggantikan teori, karya, atau pemikiran seperti Saussure, Riffaterre, Barthes, Darwin, dan Einstein.

Semiotika Barthes dan Wacana Iklan

Teori semiotika Barthes juga dapat digunakan untuk meneliti wacana iklan. Iklan sering menggunakan tanda yang berlapis. Barang atau jasa yang diiklankan tidak jarang diasosiasikan dengan sesuatu di luar barang itu sehingga membentuk konotasi, bahkan mitos.

Perhatikan iklan sabun berikut.

Rahasia kulit cantik wanita Jepang ada sabun Shinzui.
Kini herba matsu oil dipadu ekstrak bunga sakura.
Mencerahkan dan melembutkan kulitmu.
Cantik bersinar seperti wanita Jepang.
Karena putih itu Shinzui.

Transkrip di atas masih dapat ditambah dengan konteks visual yang memperlihatkan bahwa pemeran wanita dalam iklan pada bagian akhir tayangan mendapatkan perhatian dari seorang pria. Transkrip sederhana ditambah konteks visual di atas dapat diuraikan menjadi susunan-susunan tanda berikut.

Analisis penandaan di atas menunjukkan sebuah mitos yang tersimpan bahwa cantik itu putih dan putih itu disukai pria. Ada sebuah ideologi yang menyatakan bahwa untuk mendapatkan perhatian seorang pria, seorang wanita harus tampil cantik. Cantik yang dimaksud adalah berkulit putih seperti wanita Jepang. Ideologi yang tersembunyi adalah ideologi patriarki.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Anothermag

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *