Satuan kebahasaan yang referennya dapat berpindah-pindah sesuai konteks disebut dengan deiksis. Karena melibatkan konteks, deiksis merupakan salah satu fenomena dalam pragmatik.
Baca juga: Pragmatik dalam Linguistik: Pengertian, Tujuan, Hasil, dan Manfaat
Kata deiksis diserap dari kata deixis (Ing.) yang berakar dari bentuk deiktikos (Yun.) yang berarti ‘hal penunjukan secara langsung’. Suatu kata dapat dikatakan deiktis apabila referennya berpindah-pindah/berganti-ganti. Perpindahan tersebut bergantung pada konteks (siapa yang berbicara, kapan, di mana, dll.)
Tidak semua kata bersifat deiktis. Hanya kata yang referennya berpindah-pindahlah yang merupakan deiksis. Deiksis juga bukan berupa kata yang referennya berpindah karena metafora. Misalnya umpatan berupa kata anjing.
Dalam linguistik formal, pengacuan atau referensi tidak melibatkan konteks. Referensi terjadi secara lugas dan objektif. Misalnya, kata mereka hanya dipahami sebagai kata ganti orang yang mengacu pada persona ketiga jamak. Siapakah mereka itu tidak dibahas dalam kajian formal.
Namun, dalam linguistik fungsional, siapa yang diacu dalam penggunaan kata mereka itu dikaji secara mendalam. Kajian tersebut harus sampai menemukan referen dari kata mereka tersebut. Untuk dapat menemukannya, konteks harus diperhatikan.
Misalnya dalam tuturan berupa gugus kalimat Adi, Bertus, dan Cecep makan rendang. Mereka memang menyukai masakan Padang kata mereka mengacu pada Adi, Bertus, dan Cecep. Pun demikian dengan tuturan Lihat, mereka menangkap buaya itu.
Untuk bisa memahami siapa mereka, konteks tentang siapa yang berbicara, kepada siapa penutur berbicara, di mana, dan kapan pembicaraan berlangsung menjadi sangat penting. Misalnya, setelah memastikan siapa yang berbicara, kepada siapa tuturan itu disampaikan, di mana dan kapan peristiwa tutur itu terjadi, barulah kata mereka tersebut dapat diketahui referennya. Itulah deiksis.
Jenis Deiksis dalam Pragmatik
Secara umum, deiksis dalam pragmatik dapat dibedakan menjadi lima jenis yaitu:
- deiksis persona
- deiksis ruang
- deiksis waktu
- deiksis wacana
- deiksis sosial
Deiksis Persona
Deiksis persona merupakan ungkapan deiksis yang merujuk pada referen orang. Semua pronomina dalam bahasa Indonesia merupakan deiksis persona. Deiksis persona ditentukan berdasarkan peran peserta dalam peristiwa tutur: peran orang pertama (pembicara), kedua (mitra bicara), dan ketiga (di luar pembicara dan mitra bicara).
• Orang pertama: aku, saya, daku, ku-, –ku, kami, kita.
• Orang kedua: kamu, engkau, dikau, anda, kau-, –mu, kalian.
• Orang ketiga: dia, ia, –nya, dan mereka.
Deiksis Ruang
Deiksis ruang berkaitan dengan pemberian bentuk lingual kepada ruang/tempat dalam peristiwa tutur. Ada ruang yang dekat dengan penutur (ini dan sini), dengan mitra tutur (itu dan situ), dan tidak dengan penutur maupun mitra tutur (sana).
Tidak semua leksem ruang bersifat deiktis.
(1) Korea lebih dekat dengan Tiongkok daripada Indonesia.
(2) Rumahku dekat dengan rumahnya.
(3) Gedung Fakultas Sastra paling tinggi di Kampus I USD.
(4) Pacarmu sangat tinggi.
Kehadiran bentuk persona dalam tuturan (2) dan (4) membuat dekat dan tinggi menjadi relatif sehingga bersifat deiktis. Sementara itu, bentuk dekat dan tinggi pada tuturan (1) dan (3) tidak bersifat deiktis.
(5) Andre berada di sebelah kiri Indra.
Kata kiri tidak bersifat deiktis.
(6) Sepeda di sebelah kanan pohon itu milikku.
Pada contoh (6), kata kanan bersifat deiktis.
Kata kiri dan kanan yang dirangkaikan dengan sesuatu yang bernyawa atau yang jelas kanan/kirinya bukan merupakan deiksis. Lain lagi dengan depan dan belakang.
Deiksis Waktu
Deiksis waktu adalah pemberian bentuk lingual kepada waktu dalam peristiwa tutur. Adapun deiksis waktu dapat berupa leksem waktu atau leksem ruang. Leksem waktu bisa deiktis jika yang menjadi patokan adalah pembicara. Misalnya: sekarang, kemarin, besok, dulu, tadi, nanti, dan kelak. Hal itu berbeda dengan pagi, siang, sore, dan malam yang referennya tetap atau tidak berubah.
Deiksis Wacana
Deiksis wacana adalah rujukan ke bagian-bagian tertentu dalam wacana yang telah diberikan dan/atau sedang dikembangkan. Adapun deiksis wacana disebut juga deiksis dalam tuturan (endofora) sebagai imbangan deiksis luar tuturan (eksofora) yang meliputi deiksis persona, ruang, dan waktu. Ada dua jenis deiksis wacana, yaitu anafora (merujuk pada yang telah disebut) dan katafora (merujuk ke yang belum disebut). Dalam deiksis wacana, yang dibahas adalah masalah sintaksis dan struktur wacana.
(7) Saya lahir di Klaten dan tinggal di situ hingga sekarang.
(8) Si Doel anak Betawi asli. Kerjaannya sembahyang dan mengaji.
(9) Perhatikan contoh-contoh berikut.
Deiksis Sosial
Deiksis sosial berkaitan dengan aspek-aspek tuturan yang mencerminkan atau membangun atau ditentukan oleh kenyataan-kenyataan sosial-situasional tempat terjadinya peristiwa tutur. Adapun deiksis sosial mengungkapkan perbedaan-perbedaan sosial yg terdapat di antara penutur dan mitra tutur. Deiksis sosial terwujud dalam tingkat tutur seperti dalam bahasa Jawa. Deiksis sosial menunjukkan perbedaan sosial antarpartisipan tuturnya.
Sebagai contoh, ada kata mangan, nedha, dan dhahar untuk mengungkapkan kata makna ‘makan’. Kata mangan digunakan dalam situasi santai dan akrab. Para partisipan tuturnya cenderung setara seperti pada contoh Aku arep mangan ‘Aku akan makan’. Kata nedha digunakan ketika seorang penutur ingin mengungkapkan makna ‘makan’ untuk diri sendiri seperti dalam contoh Kula badhe nedha ‘Aku akan dulu’. Sementara itu, kata dhahar digunakan ketika seorang penutur ingin mengungkapkan makna ‘makan’ untuk orang yang secara sosial lebih dihormati seperti pada contoh Bapak badhe dhahar ‘Bapak akan makan’.
Dalam bahasa Indonesia suatu persilaan dapat diungkapkan dengan bermacam-macam bentuk. Ada yang dengan Bapak Rektor dipersilakan masuk. Ada pula bentuk Presiden Republik Indonesia berkenan memasuki ruangan.
Catatan tambahan
Deiksis dalam pragmatik peka konteks
Pertama, deiksis peka konteks. Deiksis yang lepas dari konteks akan sulit dipahami. Konteks diperlukan untuk memastikan referen yang diacu oleh deiksis tersebut. Misalnya, di pintu ruangan seorang dosen ada memo bertuliskan “Kembali dua jam lagi”. Informasinya jelas. Penuturnya juga jelas. Yang dijadikan mitra tutur pun jelas. Yang kurang adalah kapan memo tersebut ditempelkan. Jika itu ditempelkan pukul 9 pagi, sang dosen akan kembali pukul 11 siang. Namun, jika memo tersebut ditempel pada pukul 10 pagi, sang dosen baru akan kembali pukul 12 siang.
Pemakaian variasi bentuk deiksis juga sangat peka konteks. Penggunaan kata saya dan aku, misalnya, sangat bergantung pada siapa yang bertutur dan kepada siapa tuturan itu disampaikan. Pun demikian dengan penggunaan kata beliau.
Berkial ketika memakai deiksis
Kedua, kata-kata deiksis tertentu dapat berkial. Deiksis eksofora atau luar tuturan dibedakan menjadi dua, yaitu yang berkial (gestural) dan berpelambang (symbolic). Penunjukan disebut berkial jika disertai gerakan badan; dan apabila tidak, penunjukkan itu disebut berpelambang. Gerakan badan tersebut contohnya gerakan telunjuk yang mengarah pada objek tertentu. Dalam banyak kasus, kial menjadi penting karena menegaskan referen yang dimaksud penutur, terlebih lagi jika kata-kata deiksis yang digunakan sama bentuknya.
(10) Pilih yang mana? Yang ini, yang ini, atau yang ini?
(11) Yang ini, Bro. Kalau ini mudah rusak. Kalau ini mahal. Jadi, yang ini aja.
(12) Kamu mengerjakan yang itu. Kamu mengolah yang itu. Kamu menganalisis yang itu.
Pembalikan deiksis
Ketiga, sering dijumpai peristiwa tutur yang ditandai pembalikan deiksis (deictic reversal). Pembalikan deiksis adalah penunjukan yang bertitik labuh pada si pembicara. Peristiwa itu terjadi jika para peserta tindak tutur tidak hadir dalam dimensi ruang dan waktu yang sama atau tidak dalam keadaan bertatap muka, misalnya dalam pembicaraan lewat telepon atau surat.
A: Halo.
B: Halo Coy.
A: Gimana?
B: Aku ke sini ya sore nanti.
A: Siap
Saya dan keluarga berada dalam keadaan sehat walafiat. Bagaimana keadaan keluarga Mbak Yuni di sini? Saya harap demikian juga.
Pembalikan deiksis sering terjadi karena penutur berusaha menunjukkan terterlibatan dirinya dalam tuturan yang diucapkan atau dituliskannya dan penutur ingin menunjukkan kesamaan pengalaman dengan mitra tuturnya. Deiksis ini disebut juga deiksis berempati.
Masalah sekaligus permainan
Keempat, deiksis dapat menjadi masalah, tetapi juga dapat menjadi bahan permainan bahasa. Deiksis menjadi permasalahan bagi anak-anak yang sedang belajar bahasa karena referennya berpindah-pindah. Anak-anak cenderung menghindari deiksis dengan menggunakan nomina nama diri untuk merujuk diri sendiri maupun mitra tuturnya. Deiksis pun juga menjadi masalah bagi orang dewasa ketika konteks tidak dapat diketahui dengan jelas seperti contoh tentang memo di pintu ruangan dosen tadi.
Namun, deiksis dalam pragmatik juga dapat menjadi bahan permainan bahasa. Perhatikan contoh-contoh berikut.
(13) Sekarang memberi, besok banjir rejeki. (Konteks: tulisan yang dibawa seorang pengemis)
(14) Besok gratis, sekarang bayar. (Konteks: tulisan di dinding rumah makan)
(15) Ngamen sekarang gratis, besok 3x lipat + bonus. (Konteks: tulisan di pintu depan rumah)
(16) Tidak ada lagi aku atau kamu. Yang ada hanyalah kita. (Konteks: rayuan seorang lelaki kepada seorang perempuan)
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Quickmeme