intertekstualitas dalam analisis wacana

Teks tidak pernah lahir dari ruang hampa. Setiap kalimat yang kita tulis, setiap ide yang kita sampaikan, selalu membawa jejak dari teks-teks yang telah ada sebelumnya. Dalam analisis wacana, hal ini disebut sebagai intertekstualitas. Konsep ini menjelaskan bahwa setiap teks adalah hasil dialog dengan teks lain, baik berupa kutipan, parafrasa, alusi, maupun konvensi gaya dan genre. Dengan memahami intertekstualitas dalam analisis wacana, kita bisa melihat bagaimana makna tidak hanya dibangun dari dalam teks, tetapi juga dari hubungan antarteks yang membentuk jaringan pengetahuan dan budaya.

Pengertian Intertekstualitas

Secara etimologis, intertekstualitas berasal dari kata inter- (‘antar’) dan textus (‘jaringan’, ‘tenunan’). Artinya, teks selalu berhubungan dengan teks lain, membentuk anyaman makna yang tidak dapat berdiri sendiri.

Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Julia Kristeva pada 1960-an berdasarkan gagasan Mikhail Bakhtin tentang dialogisme, yaitu bahwa setiap ujaran adalah respons terhadap ujaran sebelumnya dan akan memancing ujaran berikutnya. Dalam pandangan ini, teks bukanlah monolog, melainkan dialog antarsuara yang terus berkembang.

Dalam konteks analisis wacana, intertekstualitas menjelaskan bagaimana sebuah teks dipengaruhi oleh teks lain, baik secara sadar (melalui kutipan dan referensi) maupun tidak sadar (melalui ide, nilai, atau struktur yang diwarisi budaya). Dengan kata lain, makna dalam wacana tidak murni baru, tetapi berupa hasil olahan dari makna-makna yang telah ada sebelumnya.

Intertekstualitas sebagai Pembentuk Tekstur Bersama Kohesi dan Koherensi

Dalam teori wacana, tekstur terbentuk karena adanya tiga dimensi, yaitu kohesi, koherensi, dan intertekstualitas.

Kohesi adalah hubungan formal antarbentuk bahasa di dalam teks. Misalnya, kata ganti, konjungsi, elipsis, pengulangan, dan sebagainya. Kohesi bisa dilihat langsung dari permukaan teks. Analisisnya bersifat mikro dan struktural.

Contohnya, dalam kalimat Mahasiswa itu rajin. Ia selalu hadir tepat waktu, kata ia mengacu ke mahasiswa itu. Hubungan ini bisa diidentifikasi secara linguistik (referensial).  Jadi, kohesi berada pada tingkat bentuk (form).

Sementara itu, koherensi berbicara tentang hubungan makna antarbagian dalam wacana yang dapat dipahami oleh pembaca atau pendengar. Koherensi tidak selalu tampak secara eksplisit dalam bentuk bahasa, tetapi bisa ditangkap melalui pengetahuan dan logika konteks.

Analisis koherensi bersifat semantik dan kognitif. Misalnya, dalam gugus kalimat Kemarin hujan deras. Sungai di belakang rumah meluap, tidak ada konjungsi karena, tetapi pembaca memahami hubungan sebab-akibat di antara dua kalimat tersebut. Dengan demikian, koherensi bergantung pada inferensi logis dan dunia pengetahuan bersama.

Terakhir, intertekstualitas merupakan hubungan makna antarteks. Intertekstualitas memperluas jalinan hubungan makna dari dalam teks menuju ke luar teks, ke dalam jejaring wacana yang lebih luas.  Jika kohesi mengaitkan kata dengan kata, dan koherensi mengaitkan makna dengan makna, intertekstualitas mengaitkan teks dengan teks lain.

Setiap teks tidak pernah lahir dari ruang hampa. Teks selalu membawa jejak dari teks-teks sebelumnya, baik berupa teori, narasi budaya, idiom populer, gaya bahasa, atau bahkan struktur ideologis yang diwarisi. Di sinilah intertekstualitas dipahami sebagai aspek wacana yang membangun tekstur eksternal, yaitu keterhubungan makna lintas teks dan lintas konteks.

Jenis-Jenis Intertekstualitas: Wajib (Obligatory), Pilihan (Optional), dan Tidak Sengaja (Accidental)

Dalam memahami intertekstualitas, kita perlu menyadari terlebih dahulu bahwa teks tidak hanya berarti tulisan di atas kertas. Teks bisa berupa gambar, film, musik, hingga peristiwa sosial yang dimaknai manusia. Bahkan, sebagaimana dijelaskan Roland Barthes, sebuah “batu” pun baru menjadi teks ketika ia ditafsirkan karena makna tidak melekat pada benda itu sendiri, melainkan muncul melalui proses interpretasi manusia. Dari sinilah kita dapat memahami bahwa intertekstualitas adalah jalinan makna yang terbentuk ketika suatu teks dihubungkan, disadari, atau dibaca dalam kaitannya dengan teks lain.

Namun, hubungan antarteks ini tidak selalu sama kuatnya. Ada teks yang dengan sengaja diciptakan untuk merujuk pada teks sebelumnya, ada yang hanya menyiratkan hubungan samar, dan ada pula yang kebetulan memiliki kemiripan tanpa niat sadar dari penciptanya. Berdasarkan tingkat kesengajaan dan kejelasan rujukan tersebut, intertekstualitas dapat dibedakan menjadi tiga jenis utama, yaitu wajib atau obligatory, pilihan atau optional, dan kebetulan atau accidental.

1. Intertekstualitas Wajib (Obligatory Intertextuality)

Jenis pertama adalah intertekstualitas wajib, yaitu ketika hubungan antara satu teks dengan teks lain bersifat langsung, eksplisit, dan disengaja oleh penulis atau pencipta teks. Dalam kasus ini, teks baru tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mengenali teks sumbernya.

Intertekstualitas jenis ini biasanya tampak dalam bentuk kutipan langsung, parodi, imitasi, atau adaptasi resmi. Misalnya, film West Side Story yang merupakan adaptasi modern dari Romeo and Juliet atau novel Anak Bajang Menggiring Angin karya Sindhunata yang terinspirasi dari epos Ramayana.

Di sini, keterhubungan kedua teks bersifat wajib (obligatory) karena pembaca hanya bisa menangkap makna penuh jika ia memahami teks rujukannya. Tanpa pengetahuan tentang teks sumber, sebagian makna akan hilang.

Dengan demikian, intertekstualitas wajib menciptakan hubungan teks yang sadar diri. Teks baru seolah berbicara langsung kepada teks yang lebih dahulu ada.

2. Intertekstualitas Pilihan (Optional Intertextuality)

Jenis kedua adalah intertekstualitas pilihan, yaitu ketika hubungan antarteks tidak diwajibkan untuk memahami teks, tetapi tetap menambah kedalaman makna bagi pembaca yang mengenal rujukannya.

Dalam bentuk ini, penulis tidak secara eksplisit menyebut sumber, tetapi menanamkan isyarat, gaya, atau nuansa tertentu yang mengingatkan pembaca pada teks lain. Misalnya, film The Matrix memiliki kemiripan tematik dan visual dengan alegori “Gua” Plato, tetapi penonton tetap bisa menikmati filmnya tanpa mengenal filsafat Yunani.

Intertekstualitas jenis ini sering muncul dalam bentuk alusi, metafora, atau motif yang familiar dalam budaya populer. Hubungannya bersifat opsional, jika pembaca mengenali teks rujukannya, makna bertambah kaya; jika tidak, teks tetap bisa dinikmati.

Dengan kata lain, intertekstualitas opsional bekerja di wilayah kognitif dan kultural, bergantung pada pengalaman pembaca dalam “membaca” jejaring teks yang lebih luas.

3. Intertekstualitas Kebetulan (Accidental Intertextuality)

Jenis ketiga adalah intertekstualitas kebetulan, yaitu ketika dua teks tampak memiliki hubungan makna tanpa adanya niat sadar atau rencana dari penulisnya. Dalam hal ini, kemiripan yang muncul hanyalah hasil dari kesamaan tema universal, konteks budaya, atau kebetulan ekspresif.

Misalnya, dua penulis dari negara berbeda bisa saja menulis cerita dengan alur yang serupa tanpa saling mengenal, karena keduanya terinspirasi oleh pengalaman kemanusiaan yang sama, seperti cinta, kehilangan, atau perjuangan sosial.

Dalam analisis wacana, fenomena ini menunjukkan bahwa makna suatu teks tidak sepenuhnya dikendalikan oleh pengarang, tetapi juga oleh pembaca dan konteks budaya yang membacanya. Dengan kata lain, pembaca dapat “membaca” relasi antarteks yang sebenarnya tidak pernah diniatkan oleh penulis.

Jenis intertekstualitas ini memperlihatkan bahwa teks selalu terbuka terhadap berbagai kemungkinan makna dan proses interpretasi manusialah yang mengaktifkannya. Sama seperti batu yang baru menjadi teks ketika dipandang dan dimaknai oleh manusia, intertekstualitas kebetulan muncul ketika pembaca menemukan hubungan di antara teks-teks yang pada awalnya berdiri sendiri.

Bergradasi

Ketiga jenis intertekstualitas tersebut memperlihatkan bahwa hubungan antarteks bersifat bergradasi, dari yang sepenuhnya disengaja oleh penulis hingga yang sepenuhnya lahir dari interpretasi pembaca.

Jika kita kembali pada prinsip dasarnya, intertekstualitas menunjukkan bahwa makna tidak pernah tunggal, karena setiap teks hidup dalam jejaring teks lain, baik disadari maupun tidak. Dalam analisis wacana, memahami jenis-jenis intertekstualitas ini membantu kita melihat bagaimana teks berfungsi bukan hanya sebagai produk bahasa, tetapi juga sebagai hasil dialog kebudayaan dan interpretasi manusia.

Fungsi Intertekstualitas dalam Membentuk Tekstur Wacana

Intertekstualitas tidak hanya menunjukkan bahwa teks saling berhubungan, tetapi juga menjelaskan bagaimana hubungan itu menghasilkan makna baru. Dalam analisis wacana, intertekstualitas berfungsi sebagai jembatan antara struktur internal teks dan jejaring wacana sosial-budaya di luar teks.

Secara umum, ada tiga fungsi utama intertekstualitas dalam membentuk tekstur wacana, yaitu fungsi semantis, fungsi pragmatis, dan fungsi kultural.

1. Fungsi Semantis: Memperkaya Makna

Intertekstualitas memungkinkan suatu teks menggemakan makna dari teks-teks lain, sehingga lapisan maknanya menjadi lebih dalam dan kompleks. Misalnya, ketika teks berita mengutip ucapan tokoh agama, kutipan itu tidak hanya menambah informasi, tetapi juga menyalurkan nilai moral dan legitimasi. Dengan kata lain, intertekstualitas berperan memperluas medan makna (semantic field) teks, yaitu satu pernyataan bisa mengandung gema berbagai sistem nilai.

2. Fungsi Pragmatis: Membangun Posisi dan Otoritas

Melalui intertekstualitas, penulis dapat menegaskan posisinya dalam percakapan intelektual. Kutipan terhadap tokoh atau teori tertentu, misalnya, menunjukkan afiliasi ideologis atau akademik. Dalam tulisan opini, penulis bisa menegaskan sikap: apakah ia mendukung, menolak, atau menafsirkan ulang teks lain. Fungsi ini menjadikan intertekstualitas sebagai alat positioning wacana, yang menentukan hubungan kuasa antarpenulis dalam ranah publik.

3. Fungsi Kultural: Menghubungkan Teks dengan Dunia Sosial

Setiap teks hidup dalam ekosistem budaya. Ketika penulis menggunakan idiom populer, peribahasa, meme, atau bahkan potongan lagu, ia sedang menghubungkan teksnya dengan memori kolektif pembaca. Intertekstualitas, dalam fungsi ini, menjadi alat kohesi budaya yang menciptakan rasa kebersamaan makna antara penulis dan pembaca. 

Cara Menyusun Teks yang Bertekstur dengan Intertekstualitas

Teks yang bertekstur bukanlah teks yang berdiri sendiri, melainkan hidup karena berelasi dengan teks lain. Dalam konteks penulisan akademik, jurnalistik, maupun teks populer, sebuah tulisan disebut “bertekstur” ketika tidak hanya menyampaikan ide orisinal, tetapi juga membuka percakapan dengan pengetahuan dan wacana yang sudah ada sebelumnya. Jejaring makna membuat tulisan terasa dalam, berlapis, dan reflektif.

Perhatikan contoh teks berikut.

Berita sebagai Laporan atas Fakta

Jika dianalogikan dengan sebuah toko, barang-barang yang bisa dikatakan “dijual” oleh sebuah lembaga jurnalistik adalah berita. Teks berita dalam praktik jurnalistik menduduki posisi utama. Nasib sebuah perusahaan yang bekerja di bidang jurnalistik bergantung pada beritanya. Jika berita yang diproduksi layak jual, biro-biro iklan akan berbondong-bondong menyewa ruang dalam media tersebut dan mendatangkan untung bagi perusahaan media. Namun, jika kualitas berita yang dihasilkan rendah, cepat atau lambat perusahaan media tersebut akan gulung tikar (Barus, 2010: 21).

Yang menjadi pertanyaan tentunya adalah apa yang disebut berita. Ada dua pandangan utama dalam mendefinisikan berita, yaitu menurut Pers Timur dan Pers Barat. Bagi Pers Timur yang berasaskan sosialis-komunis, berita bukanlah “komoditi” atau “barang dagangan” dalam perusahaan jurnalistik. Berita adalah sebuah teks yang berfungsi untuk mendidik dan dan memelihara negara sosialis (Kusumaningrat dan Kusumaningrat 2012: 32). Dengan demikian pers atau media bagi negara-negara Timur merupakan sebuah alat bagi negara untuk mengatur masyarakat.

Hal tersebut berbeda dengan paham Pers Barat yang memandang berita sebagai “barang dagangan”. Oleh karena itu, sebagai barang dagangan, berita harus “menarik” supaya laku jual. Dari konsep tersebut, para pemikir Barat mendefinisikan berita dari sudut pandang yang berbeda dari Pers Timur. Berikut dipaparkan pengertian-pengertian berita dari para ahli Barat yang telah dikumpulkan oleh Kusumaningrat dan Kusumaningrat (2012) dan Barus (2010).

Lord Northcliffe mengatakan bahwa berita adalah segala sesuatu yang luar biasa (news is anything out of ordinary). Sementara itu, Walkley menambahkan adanya unsur kejutan (combined with the element of surprise). Oleh karena itu, jika ada anjing menggigit manusia, itu bukanlah berita; namun jika ada manusia menggigit anjing, itu baru berita.

Menurut Williard C. Bleyer, berita adalah suatu kejadian aktual yang diperoleh wartawan untuk dimuat dalam surat kabar karena menarik atau mempunyai makna bagi pembaca. Dari Indonesia, Jacob Oetama menyatakan bahwa berita bukan fakta, melainkan laporan tentang fakta itu sendiri. Suatu peristiwa menjadi berita hanya apabila ditemukan dan dilaporkan oleh wartawan atau membuatnya masuk dalam kesadaran publik dan dengan demikian menjadi pengetahuan publik.

Dari pemahaman di atas, baik dari perspektif Timur maupun Barat mendefinisikan berita sebagai sebuah laporan yang memuat informasi sebuah peristiwa, kejadian, ataupun opini yang dimuat di media massa dan mempunyai tujuan tertentu. Tujuan tersebut bisa hanya sebatas mengabarkan hal yang menarik, tetapi juga bisa menjadi alat propaganda yang efektif untuk memengaruhi masyarakat.

Berpijak dari definisi Jacob Oetama bahwa berita bukanlah fakta melainkan laporan tentang fakta itu sendiri, dapat diasumsikan bahwa wacana berita sebenarnya merupakan hasil rekonstruksi atas sebuah fakta yang dilakukan oleh wartawan dan redaksi media massa. Rekonstruksi tersebut dilakukan dengan ideologi media yang bersangkutan. Dengan demikian, berita dapat dipandang sebagai sebuah wacana dalam arti penggunaan bahasa berbasis kekuasaan dan ideologi.

Hal tersebut sejalan dengan anekdot yang disampaikan oleh Derick Daniels (melalui Ishwara, 2011: 65) yang menceritakan seorang pendeta, seorang ahli geologi, dan seorang koboi yang berdiri bersama-sama untuk pertama kalinya di depan Grand Canyon. Sang pendeta berkata, “Suatu keajaiban dari Tuhan.” Ahli geologi berpendapat, “Suatu keajaiban dari ilmu pengetahuan.” Sementara itu, si koboi justru berkata, “Suatu tempat yang cocok untuk menggembalakan sapi.” Sebuah fakta bernama Grand Canyon ternyata mendapat tiga “laporan” berbeda dari pendeta, ahli geologi dan koboi sesuai dengan latar belakang dan “ideologi” yang mereka yakini.

Demikian juga dengan berita. Peristiwa Ambon tahun 1999 dilaporkan sebagai pembantaian oleh Republika, sementara oleh Kompas dan Suara Pembaruan direpresentasikan sebagai konflik atau pertikaian (Eriyanto, 2012a). Kontes Miss World 2013 di Indonesia bisa disebut sebagai peluang mengenalkan budaya Indonesia di mata dunia, tetapi juga bisa dianggap sebagai kegiatan yang tidak menghormati kaum wanita (Ahmadi, 2013). Pemberitaan tentang sebuah demonstrasi buruh bisa jadi hanya ditekankan pada aspek kerusuhan yang dihasilkannya, bukan pada penyebab para buruh berdemonstrasi (Eriyanto, 2012b). Semua itu bergantung pada perspektif yang digunakan atau dari sudut padang mana sebuah fakta dilaporkan.

Daftar Pustaka

Ahmadi, Yusep. 2013. “Representasi Kontes Miss World 2013 di Sindonews.com: Suatu Kajian Analisis Wacana Kritis”. Dalam Prosiding Seminar Internasional Studi Bahasa dari Berbagai Perspektif dalam Rangka Ulang Tahun Ke-80 Prof. Dr. Soepomo Poedjosoedarmo 5-6 Desember 2013 halaman 56-65.

Barus, Sedia Willing. 2010. Jurnalistik: Petunjuk Teknis Menulis Berita. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Eriyanto. 2012a. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. Yogyakarta: LKIS.

Eriyanto.  2012b. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKIS.

Ishwara. 2011. Jurnalisme Dasar. Jakarta: Penerbit Kompas.

Kusumaningrat, Hikmat dan Purnama Kusumaningrat. 2012. Jurnalistik: Teori dan Praktik. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya.

Sebuah contoh yang baik dapat dilihat pada artikel “Berita sebagai Laporan atas Fakta” di atas. Artikel tersebut tidak hanya menjelaskan apa itu berita, tetapi juga memasuki percakapan teoretis antara pemikir Timur dan Barat tentang hakikat berita. Di sana, penulis tidak berdiri di ruang hampa, melainkan berdebat dan berdialog dengan gagasan Barus, Kusumaningrat, Jacob Oetama, Eriyanto, dan lain-lain. Hasilnya bukan sekadar kumpulan kutipan, melainkan teks yang hidup dalam jaringan gagasan.

Lantas, bagaimana cara menulis teks yang bertekstur dengan intertekstualitas seperti itu?

1. Membangun Dialog antara Gagasan Utama dan Teks Lain

Langkah pertama untuk menulis teks yang bertekstur dengan intertekstualitas adalah menentukan dengan siapa gagasan Anda berdialog. Setiap teks, baik artikel ilmiah, opini media, maupun esai reflektif, selalu memiliki “mitra bicara” konseptual, entah berupa teori, wacana publik, atau karya terdahulu yang menjadi titik tolak atau pembanding.

Misalnya, dalam artikel “Berita sebagai Laporan atas Fakta”, penulis memulai dialog dengan teori jurnalistik dari Barus dan Kusumaningrat. Dari sana, ia memperluas percakapan dengan gagasan Jacob Oetama, yang mengatakan bahwa berita bukan fakta, melainkan laporan tentang fakta itu sendiri. Gagasan utama ini tidak dibiarkan berdiri sendiri; tetapi disandarkan pada wacana yang sudah ada, lalu dikembangkan ke arah baru.

Menulis dengan kesadaran intertekstual berarti kita tidak menulis dari nol. Kita menulis dari dalam percakapan yang telah berlangsung lama, dan menambahkan suara baru ke dalamnya.

2. Menggunakan Interteks secara Fungsional

Setelah membangun dialog, langkah berikutnya adalah menggunakan teks-teks lain secara fungsional. Intertekstualitas bukan sekadar menumpuk kutipan atau nama besar dalam daftar pustaka. Setiap referensi harus memiliki fungsi komunikatif yang jelas dalam memperkuat argumentasi.

Dalam praktiknya, interteks dapat berfungsi untuk mendefinisikan konsep (fungsi teoretis), memberikan ilustrasi atau analogi (fungsi ilustratif), menampilkan data empiris (fungsi konfirmatif), atau bahkan menantang pandangan yang ada (fungsi kritis).

Sebagai contoh, penulis “Berita sebagai Laporan atas Fakta” menggunakan pandangan Barus dan Kusumaningrat untuk menjelaskan definisi berita (fungsi teoretis), memanfaatkan analogi Grand Canyon dari Iswara untuk memperjelas ide tentang konstruksi makna (fungsi ilustratif), dan mengutip kasus Ambon serta Miss World 2013 dari Eriyanto dan Ahmadi untuk memperkuat gagasan ideologis (fungsi empiris dan kritis).

Dengan demikian, setiap teks yang dirujuk memiliki peran tertentu dalam membangun argumen utama. Kutipan tidak lagi menjadi ornamen, melainkan tulang punggung intertekstual dari teks yang hidup dan bernalar.

3. Menunjukkan Posisi Penulis dalam Jaringan Makna

Tahap terakhir dan paling menentukan dalam menulis teks yang berintertekstualitas adalah menunjukkan posisi penulis di tengah jaringan makna tersebut. Intertekstualitas bukan hanya tentang mengutip, melainkan tentang memihak dalam arti intelektual. Penulis harus menegaskan apakah ia menyetujui, menolak, memperluas, atau menafsirkan ulang gagasan yang ia dialogkan.

Dalam teks tentang berita di atas, misalnya, penulis menyetujui pandangan Jacob Oetama, tetapi juga menafsirkan ulang gagasan tersebut dalam konteks ideologi media. Ia memperluas pengertian “laporan atas fakta” menjadi “rekonstruksi ideologis atas realitas”. Di sinilah identitas diskursif penulis muncul. Penulis bukan sekadar pengulang teori, tetapi pengolah dan penafsir makna.

Posisi penulis inilah yang membuat teksnya memiliki “suara” yang unik. Ia menjadi bagian dari percakapan intelektual, bukan hanya pendengar yang pasif. Sebagaimana kata Bakhtin, setiap teks selalu bersifat dialogis; penulis yang baik tahu di mana ia berdiri dalam percakapan itu.

Penutup: Menulis sebagai Dialog yang Berlanjut

Menulis dengan intertekstualitas berarti menulis dengan kesadaran bahwa setiap kalimat adalah bagian dari percakapan panjang manusia tentang makna. Tidak ada ide yang benar-benar baru; yang ada adalah cara baru menautkan ide-ide lama menjadi makna yang relevan hari ini.

Tulisan yang bertekstur adalah tulisan yang menyapa teks-teks lain dengan hormat, tapi tidak “tunduk” pada teks-teks lain tersebut. Intertekstualitas menciptakan jembatan antara pengetahuan lama dan pemikiran baru, antara teori dan pengalaman, antara teks dan konteks.

Dengan cara seperti itu, teks yang kita hasilkan tidak hanya menjadi laporan, tetapi juga dialog intelektual yang terus hidup.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *