Ilustrasi

Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak selalu mengatakan sesuatu secara langsung. Sering kali, maksud yang sebenarnya justru disampaikan melalui petunjuk-petunjuk tak langsung, melalui apa yang tidak dikatakan. Fenomena inilah yang menjadi perhatian utama dalam kajian tentang implikatur dalam pragmatik.

1. Implikatur sebagai Seni Berbahasa Secara Tidak Langsung

Pada dasarnya, prinsip kerja sama (cooperative principle) yang diajukan oleh H.P. Grice dalam artikelnya yang berjudul “Logic and Conversation” dan diterbitkan dalam Syntax and Semantics III: Speech Acts menetapkan bahwa komunikasi yang baik seharusnya dilakukan secara wajar: jelas, langsung, tidak berlebihan, tidak menyesatkan, dan relevan. 

Prinsip ini terurai ke dalam empat maksim: maksim kuantitas (maxim of quantity), maksim kualitas (maxim of quality), maksim hubungan (maxim of relation), dan maksim cara (maxim of manner). Khusus maksim cara, penutur diminta untuk berbicara dengan jelas dan tidak berbelit-belit.

Baca juga: Prinsip Kerja Sama dalam Pragmatik

Namun, dalam praktiknya, penutur justru sering tidak mematuhi maksim ini secara literal. Ada kalanya penutur sengaja melanggar maksim untuk menyampaikan pesan yang lebih halus, lebih sopan, atau lebih strategis. 

Dengan kata lain, penutur sering membungkus makna agar tidak tampil terlalu gamblang di permukaan ujaran. Di sinilah letak seni dalam berbahasa: kemampuan menyampaikan sesuatu tanpa menyatakannya secara langsung, tetapi tetap bisa dipahami oleh mitra tutur. Hal itu disebut implikatur.

Secara etimologis, kata implikatur berasal dari bahasa Latin in- (‘ke dalam’) dan plicare (‘melipat’ atau ‘membungkus’). Oleh karena itu, berimplikatur secara harfiah berarti ‘melipat ke dalam’, yakni menyembunyikan pesan di balik permukaan ujaran. Implikatur bukanlah omong kosong, bukan pula kebohongan, melainkan cara yang cerdik dan efisien untuk berkomunikasi dalam situasi yang kompleks.

Misalnya, dalam percakapan berikut ini.

(1)
A: "Mau makan malam bareng?"
B: "Saya sudah makan."

Secara literal, jawaban B hanya menyatakan status perutnya. Namun dalam konteks itu, A bisa menafsirkan bahwa B menolak ajakan secara halus. Penolakan itu tidak dikatakan secara eksplisit, tetapi tetap dapat dipahami karena penutur dan mitra tutur sama-sama berpegang pada prinsip kerja sama dan memahami konteks sosialnya.

Dengan demikian, memahami implikatur berarti juga belajar menjadi komunikator yang peka: peka terhadap konteks, terhadap norma sosial, terhadap relasi interpersonal, dan terhadap makna yang tersembunyi di balik ujaran. Kajian tentang implikatur mengajarkan kita bahwa berbahasa bukan sekadar menyampaikan informasi, tetapi juga mengelola hubungan, menjaga kesopanan, bermain ironi, dan menyampaikan kritik secara terselubung.

Dalam artikel ini, kita akan mempelajari lebih jauh tentang hakikat implikatur, jenis-jenis implikatur, cara mengenali implikatur, cara membuat implikatur muncul dalam tuturan, dan bagaimana cara menafsirkan implikatur dalam berbagai konteks komunikasi.

2. Faktor-Faktor yang Mendorong Ketidaklangsungan Tuturan

Setelah memahami bahwa implikatur adalah seni berbicara secara tidak langsung, kini muncul pertanyaan penting: apa yang mendorong seseorang untuk tidak berbicara secara langsung? Mengapa penutur memilih menyampaikan makna tersirat daripada mengatakan sesuatu secara eksplisit?

Berikut adalah delapan faktor utama yang menjadi pendorong umum munculnya ketidaklangsungan atau penggunaan implikatur dalam tuturan:

  1. Kesopanan (Politeness)
    Ketidaklangsungan sering kali digunakan untuk menjaga perasaan lawan bicara dan menghindari konfrontasi. Dalam banyak situasi, berbicara secara langsung dapat dianggap kasar. Dengan menyampaikan pesan secara tidak langsung, penutur bisa tetap sopan sekaligus menyampaikan maksudnya. Misalnya:

(2)
Konteks: Budi ingin mengajak Rina berdiskusi tentang tugas kelompok, tetapi Rina terlihat sedang membuka banyak tab Excel dan terlihat serius di layar laptopnya.
Tuturan: “Sepertinya kamu sedang sibuk, ya...”
Implikatur: Budi ingin berbicara, tapi ia menyampaikan maksudnya secara tidak langsung agar tidak mengganggu atau memberi tekanan kepada Rina.

  1. Relasi Kuasa (Power Relations)
    Dalam relasi yang timpang (misalnya antara bawahan dan atasan, atau mahasiswa dan dosen), ketidaklangsungan digunakan sebagai bentuk penghormatan dan kehati-hatian dalam menyampaikan pendapat atau permintaan.

(3)
Konteks: Sita adalah staf baru yang masih dalam masa percobaan. Ia merasa keberatan dengan metode kerja timnya yang terasa tidak efisien, tetapi tidak berani mengkritik secara langsung kepada manajernya.
Tuturan: “Kalau boleh saya usul, mungkin kita bisa coba pendekatan yang sedikit berbeda untuk tugas ini.”
Implikatur: Sita tahu dirinya tidak dalam posisi memerintah, tapi ingin menyampaikan keberatannya secara halus.

  1. Topik Sensitif atau Beban Emosional
    Beberapa topik, seperti penyakit, kematian, kepercayaan, atau pilihan hidup, sering kali terlalu berat untuk disampaikan secara langsung. Ketidaklangsungan menjadi cara untuk membicarakan hal sensitif dengan lebih hati-hati.

(4)
Konteks: Dalam diskusi grup parenting, Rani mendengar orang tua lain menyarankan cara mendidik anak yang menurutnya terlalu keras. Alih-alih membantah langsung, ia memilih menyampaikan pendapatnya dengan halus.
Tuturan: “Saya rasa kita semua punya cara masing-masing dalam mendidik anak.”
Implikatur: Rani tidak setuju dengan cara tersebut, tetapi ia memilih untuk tidak mengatakannya secara frontal.

  1. Gaya Bahasa atau Retorika (Figuratif dan Humor)
    Ketidaklangsungan sering kali dimanfaatkan untuk menciptakan efek estetik atau retoris, seperti dalam metafora, ironi, sarkasme, atau sindiran. Ini sering muncul dalam karya sastra, pidato, atau percakapan humor.

(5)
Konteks: Arman bekerja di kantor pelayanan publik dan merasa banyak pegawai di kantornya sering datang terlambat atau tidak hadir tanpa keterangan. Saat berbicara santai dengan rekannya, ia ingin menyindir tanpa menuduh langsung.
Tuturan: “Listrik di kantor kita sepertinya lebih rajin dari pegawainya.”
Implikatur: Banyak pegawai yang malas atau sering tidak hadir, tapi Arman menyampaikannya dengan gaya sarkasme.

  1. Ketidakpastian atau Kurangnya Informasi
    Penutur kadang tidak memiliki informasi yang cukup atau merasa tidak yakin atas apa yang ingin dikatakannya. Daripada menyampaikan sesuatu yang belum pasti, ia memilih menyampaikan secara samar.

(6)
Konteks: Anton ditanya oleh temannya apakah Sari akan datang ke pesta malam ini. Ia tidak tahu pasti, tapi ingin tetap memberikan jawaban.
Tuturan: “Mungkin dia masih di jalan.”
Implikatur: Anton tidak tahu pasti di mana Sari, tetapi tidak ingin mengaku tidak tahu secara langsung.

  1. Pengetahuan Bersama (Common Ground)
    Dalam banyak situasi, penutur dan mitra tutur berbagi pengetahuan dan konteks yang sama. Ketidaklangsungan bisa menjadi cara untuk mempercepat komunikasi dengan mengandalkan pemahaman bersama.

(7)
Konteks: Andre dan Kevin membicarakan kejadian lucu saat rapat minggu lalu yang hanya mereka berdua alami.
Tuturan: “Seperti yang terjadi waktu itu.”
Implikatur: Andre yakin Kevin tahu maksudnya sehingga tidak perlu menjelaskan ulang.

  1. Efisiensi Bahasa
    Ketika waktu atau situasi tidak memungkinkan penjelasan panjang, penutur memilih cara yang implisit namun tetap dapat dipahami.

(8)
Konteks: Riko sedang menyetir dalam kondisi gelap, dan Indra yang duduk di samping ingin membantunya melihat jalan.
Tuturan: “Lampu.”
Implikatur: Tolong nyalakan lampunya. Kalimat singkat digunakan karena situasi mendesak dan makna dapat dipahami dengan cepat.

  1. Strategi Penjajakan atau Uji Coba Reaksi
    Kadang penutur ingin melihat reaksi lawan bicara terlebih dahulu sebelum menyampaikan maksud secara terang-terangan. Ketidaklangsungan menjadi alat untuk mengukur sejauh mana respons yang mungkin diterima.

(9)
Konteks: Dian sedang merasa tidak cocok dengan jurusannya. Ia ingin tahu apakah temannya, Rika, juga pernah merasa demikian sebelum memutuskan pindah jurusan.
Tuturan: “Kamu pernah kepikiran pindah jurusan nggak?”
Implikatur: Dian sedang mempertimbangkan untuk pindah jurusan dan ingin tahu apakah Rika akan merespons dengan empati atau tidak.

Dengan memahami faktor-faktor di atas, kita akan semakin menyadari bahwa implikatur bukanlah hal yang muncul secara acak. Ia lahir dari pertimbangan sosial, budaya, emosional, dan kognitif yang kompleks. Ketidaklangsungan bukan bentuk kelemahan berbahasa, melainkan cerminan kecerdasan pragmatis dalam menavigasi interaksi sosial.

3. Hakikat Implikatur dalam Pragmatik

Setelah kita memahami bahwa dalam kehidupan sehari-hari orang sering berbicara secara tidak langsung, dan bahwa ada banyak faktor yang menyebabkan ketidaklangsungan itu terjadi , kini saatnya kita membahas apa sebenarnya yang dimaksud dengan implikatur.

Istilah implikatur pertama kali diperkenalkan oleh H. Paul Grice, seorang filsuf bahasa asal Inggris, dalam kuliah umumnya pada tahun 1967 yang kemudian diterbitkan dalam esai berjudul Logic and Conversation (1975). Grice memperkenalkan implikatur sebagai mekanisme makna tersirat yang muncul dalam percakapan, di luar makna literal dari tuturan.

3.1 Etimologi Istilah Implikatur

Kata implikatur berasal dari bahasa Inggris implicature dan berkaitan dengan kata implicate, yang berasal dari bahasa Latin in- (‘ke dalam’) dan plicare (‘melipat’ atau ‘membungkus’). 

Etimologi istilah implikatur tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

  • In- (‘ke dalam’) → menunjukkan bahwa makna tuturan tidak selalu tampak di permukaan, tetapi justru berada di dalam atau tersirat dalam kalimat.
  • Plicare (‘melipat/membungkus’) → menunjukkan bahwa makna yang ingin disampaikan tidak dinyatakan secara langsung, tetapi seperti dibungkus dalam suatu tuturan yang membutuhkan interpretasi untuk "membuka lipatan" tersebut.

Berdasarkan asal-usul kata di atas, implikatur adalah makna yang tersembunyi dalam “lipatan” percakapan dan harus "dibuka" oleh mitra tutur agar dapat dipahami dengan benar.

Sama seperti sesuatu yang terlipat memerlukan usaha untuk dibuka, implikatur membutuhkan interpretasi agar makna sebenarnya dapat dipahami.

Ketika berbicara, kita tidak selalu mengungkapkan makna secara eksplisit, tetapi justru menyampaikan makna yang “terlipat” di dalam tuturan. 

Dengan kata lain, makna yang ingin disampaikan tidak berada di permukaan kalimat, tetapi tersembunyi di balik kata-kata yang diucapkan dan harus ditafsirkan oleh mitra tutur berdasarkan konteks.

Sebagai contoh, perhatikan percakapan berikut.

(10)
A: "Apakah kamu sempat mampir ke toko kemarin?"
B: "Saya sedang sibuk mengerjakan tugas seharian."
Implikatur: B tidak pergi ke toko.

Dalam contoh ini, jawaban B tidak secara eksplisit menyatakan ‘tidak pergi ke toko’, tetapi makna itu terlipat di dalam tuturan dan bisa ditarik sebagai simpulan oleh mitra tutur.

3.2 Definisi Implikatur

Grice membuka pembahasan tentang implikatur dengan sebuah contoh percakapan:

(11)
Konteks: A dan B berbicara tentang C, seorang teman mereka yang bekerja di bank.
A: "Bagaimana pekerjaan C?"
B: "Oh, cukup baik, kurasa. Dia suka rekan-rekannya, dan... dia belum masuk penjara."

Sekilas, jawaban B tampak tidak relevan dan bahkan tidak logis jika ditafsirkan secara literal. Namun, justru dalam ketidakterusterangannya itulah terkandung makna tersembunyi. 

Ucapan "Dia belum masuk penjara" tidak dimaksudkan untuk menyampaikan informasi literal bahwa C belum pernah dipenjara, melainkan mengisyaratkan bahwa C bekerja di lingkungan yang rawan melakukan pelanggaran hukum, atau bahwa ia berada dalam posisi yang mencurigakan. 

Makna ini tidak diucapkan langsung, tapi bisa diinferensikan oleh mitra tutur karena konteks percakapan dan norma sosial yang sama-sama mereka pahami. Inferensi inilah yang disebut Grice sebagai implikatur.

Untuk menyebut makna tersirat yang tidak dikatakan secara langsung ini, Grice memperkenalkan istilah teknis implikatur. Tujuannya adalah menghindari kerancuan dengan istilah-istilah sehari-hari seperti suggest, imply, atau hint, yang sering digunakan secara longgar dalam percakapan sehari-hari.

Grice menjabarkan bentuk terminologisnya dengan mengatakan:

"I wish to introduce, as terms of art, the verb implicate and the related nouns implicature (cf. implying) and implicatum (cf. what is implied). The point of this maneuver is to avoid leaving, on each occasion, to choose between this or that member of the family of verbs for which implicate is to do general duty." (hlm. 43–44)

“Saya ingin memperkenalkan, sebagai istilah teknis, verba implicate dan nomina yang terkait yaitu implicature (bandingkan dengan implying) dan implicatum (bandingkan dengan what is implied). Tujuan dari langkah ini adalah untuk menghindari keharusan, pada setiap kesempatan, memilih di antara anggota-anggota lain dari keluarga verba yang biasanya digunakan, dan menggantinya dengan satu istilah umum, yaitu implicate.”

Pernyataan di atas dapat dirangkum menjadi penjabaran sebagai berikut.

  • Kata kerja: to implicate
  • Nomina: implicature
  • Adjektiva: implicated

Dengan memperkenalkan implicature sebagai istilah teknis, Grice memberikan landasan bagi analisis pragmatik yang dapat dilakukan secara sistematis. Grice menegaskan bahwa implicate akan berfungsi sebagai istilah umum untuk mewakili seluruh fenomena makna tersirat yang tidak termasuk dalam makna literal, tetapi dapat dipahami melalui inferensi berdasarkan prinsip kerja sama dalam percakapan.

Dapat disimpulkan bahwa implikatur dalam konteks pragmatik merujuk pada simpulan yang bisa ditarik dari sebuah tuturan, yang hanya bisa dipahami jika ada kesepakatan bersama antara penutur dan mitra tutur dalam suatu konteks tertentu.

Hal itu senada dengan pendapat Yule (1996) yang menyatakan implikatur merupakan kesimpulan logis yang diambil dari tuturan, yang bergantung pada konteks komunikasi. Oleh karena itu, untuk memahami implikatur, kita harus memperhatikan elemen-elemen seperti situasi, hubungan antara penutur dan mitra tutur, serta tujuan dari percakapan itu sendiri.

Implikatur adalah makna yang tidak secara langsung dikatakan oleh penutur, tetapi dapat disimpulkan oleh mitra tutur berdasarkan konteks dan asumsi bahwa penutur sedang berusaha bekerja sama secara komunikatif.

Suatu tuturan dapat dikatakan mengimplikasikan sesuatu apabila penutur tidak menyatakannya secara eksplisit, tetapi tetap bermaksud agar mitra tutur dapat memahami makna tersirat tersebut. Makna itu muncul bukan dari arti kata yang digunakan secara langsung, melainkan dari proses penalaran kontekstual yang dilakukan oleh mitra tutur. 

Proses ini hanya mungkin terjadi jika kedua belah pihak sama-sama memahami prinsip kerja sama dalam komunikasi, termasuk empat maksim percakapan yang menyertainya. Dengan kata lain, implikatur terjadi ketika penutur tidak mengatakan sesuatu secara langsung, tetapi berharap mitra tutur mampu menangkapnya dengan bantuan konteks dan nalar pragmatis.

Dalam pandangan Grice, sebuah tuturan dapat mengimplikasikan sesuatu jika:

  • Penutur tidak mengatakan makna itu secara eksplisit,
  • Mitra tutur dapat menafsirkannya dengan menggunakan prinsip kerja sama dan maksim percakapan,
  • Dan penutur bermaksud agar mitra tutur menangkap makna tersebut.

Contoh:

(12)
A: "Apakah kamu sempat membaca laporan kemarin?"
B: "Saya menghabiskan malam tadi untuk membantu anak saya belajar."

Implikatur dari tuturan B adalah B tidak sempat membaca laporan. Pernyataan ini tidak diucapkan secara eksplisit, tetapi dapat disimpulkan oleh A berdasarkan konteks dan prinsip relevansi.

3.3 Pembedaan Grice: Apa yang Dikatakan vs. Apa yang Diimplikasikan

Grice membuat pembedaan tegas antara apa yang dikatakan (what is said) dan apa yang diimplikasikan (what is implicated). Apa yang dikatakan adalah makna literal atau konvensional dari sebuah tuturan, yang bisa dipahami tanpa konteks tambahan, hanya dari arti kata dan struktur kalimat.

Sementara itu, apa yang diimplikasikan adalah makna tersirat yang tidak secara eksplisit dinyatakan, tetapi dapat disimpulkan oleh mitra tutur berdasarkan konteks percakapan dan prinsip kerja sama.

Dalam contoh (11) di atas, “Dia belum masuk penjara” adalah apa yang dikatakan. Namun makna bahwa “pekerjaan C rawan menyimpang” atau “C belum ketahuan bersalah” adalah apa yang diimplikasikan. Tanpa prinsip kerja sama dan asumsi rasionalitas, makna tersembunyi itu mungkin tidak akan tertangkap.

Untuk semakin memperjelas perbedaan antara makna literal dan implikatif, Grice pun menyempitkan pengertian kata say (‘mengatakan’ atau ‘berkata’). Bagi Grice, mengatakan atau berkata berarti: ‘mengungkapkan sesuatu yang maknanya dapat ditentukan dari arti kata-kata dan struktur kalimat tanpa perlu menafsirkan konteks lebih jauh’.

Sebagai contoh, seseorang berkata:

(13)
"Dia berada di dalam perangkap tikus."

Secara literal, kita memahami bahwa subjek berada di dalam sebuah perangkap. Namun, untuk menentukan apakah itu adalah metafora (misalnya: sedang terjebak dalam masalah) atau bukan, kita membutuhkan pemahaman konteks dan penilaian terhadap niat penutur — di sinilah letak peran implikatur.

Dari keseluruhan argumentasi Grice, kita memperoleh pemahaman bahwa dalam komunikasi nyata:

  • makna tidak sepenuhnya berasal dari kata-kata yang diucapkan;
  • pemaknaan juga ditentukan oleh konteks, asumsi bersama, dan proses inferensial dari pihak mitra tutur.

Dengan demikian, implikatur adalah kunci untuk memahami bagaimana komunikasi manusia berjalan secara efisien. Implikatur memungkinkan makna yang kompleks dan halus disampaikan tanpa perlu selalu diekspresikan secara langsung. Selain itu, implikatur membuat komunikasi menjadi lebih kaya, fleksibel, dan sering kali lebih sopan atau strategis.

3.4 Karakteristik Implikatur

Implikatur memiliki sejumlah ciri khas yang membedakannya dari bentuk makna lain dalam bahasa. Beberapa ciri khas dari implikatur menurut Grice mencakup hal-hal berikut.

  • Bersifat kontekstual.
  • Tidak bersifat literal.
  • Dapat dibatalkan (cancellable).
  • Bersifat inferensial.
  • Tidak melekat pada bentuk kata tertentu (non-detachability).
  • Dapat dikalkulasi (calculable).
  • Dapat diuji melalui apa yang disebut sebagai uji kontradiktabilitas (contradictability test).

Pertama, makna implikatur bersifat kontekstual. Artinya, makna tersirat yang muncul dalam sebuah tuturan hanya dapat dipahami jika mitra tutur memperhatikan situasi dan latar percakapan. Tanpa konteks yang memadai, pesan tersembunyi dari penutur dapat dengan mudah luput ditangkap atau bahkan disalahartikan.

Contoh: 

(14)
Konteks: Dalam suasana makan malam, Ibu berkata kepada anaknya.
Ibu: “Piringmu masih penuh.”

Jika konteksnya adalah Ibu ingin anaknya menghabiskan makanan, kalimat itu mengimplikasikan: "Habiskan makananmu." Tapi di luar konteks itu, bisa saja maknanya netral atau tidak bermuatan perintah.

Kedua, implikatur tidak bersifat literal. Makna implikatur tidak dapat ditarik langsung dari arti kata atau struktur gramatikal dalam kalimat. Makna tersebut hanya muncul ketika penutur dan mitra tutur berbagi pemahaman yang lebih dalam, yang tidak dinyatakan secara eksplisit dalam ujaran.

Contoh: 

(15)
“Kantor itu tidak kekurangan AC.”

Secara literal, ini hanya menyebutkan fakta bahwa banyak pendingin ruangan. Namun, dalam konteks kritik terhadap suasana yang terlalu dingin dan tidak nyaman, kalimat itu mengimplikasikan keluhan: "Terlalu dingin!"

Ketiga, implikatur dapat dibatalkan (cancellable). Maksud tersirat yang muncul dalam suatu tuturan dapat dibatalkan oleh penutur melalui pernyataan tambahan, tanpa menimbulkan kontradiksi.

Contoh:

(16)
A: “Mau makan malam bareng?”
B: “Saya sudah makan.”
Implikatur dari tuturan B: Saya menolak ajakanmu.
Namun, kemudian B membatalkan implikatur tersebut dengan menambahkan:
B: “Tapi saya masih ingin menemanimu, kok.”

Oleh karena itu, makna implikatur bahwa B menolak menjadi batal. Artinya, ia tetap bersedia ikut makan, walaupun tidak akan makan lagi. Hal ini menunjukkan bahwa implikatur dapat dibatalkan tanpa menciptakan kontradiksi logis.

Keempat, implikatur bersifat inferensial, yang berarti bahwa mitra tutur perlu melakukan penalaran pragmatis berdasarkan konteks, asumsi bersama, dan prinsip kerja sama. Proses inferensi ini tidak otomatis, melainkan bergantung pada kecermatan dan kesepahaman antara penutur dan mitra tutur.

Contoh:

(17)
A: “Kamu jadi ikut rapat nanti?”
B: “Aku harus jaga keponakan sore ini.”
Implikatur: B tidak bisa ikut rapat.

Tidak ada jawaban eksplisit “ya” atau “tidak”, tetapi A bisa menginferensikan bahwa B tidak akan ikut rapat.

Kelima, implikatur tidak melekat pada bentuk kata tertentu (non-detachability). Artinya, makna tersirat yang dihasilkan tidak tergantung pada pilihan kata spesifik. Selama proposisinya sama dan konteksnya identik, implikatur akan tetap muncul, walaupun disampaikan dengan gaya atau ungkapan yang berbeda.

Contoh:

(18)
Konteks: A diajak jalan-jalan oleh teman-temannya.
A: “Aku membantu membersihkan rumah.”
atau:
A: “Aku membereskan ruangan bersama yang lain.”
Implikatur: Aku tidak ikut.

Dalam konteks ketika A ditanya apakah ia turut jalan-jalan, kedua tuturan itu tetap mengimplikasikan bahwa A tidak ikut, meskipun cara mengatakannya berbeda.

Keenam, implikatur dapat dikalkulasi (calculable). Meskipun bersifat tidak tersurat, makna implikatur tetap dapat diperhitungkan dan dikalkulasi melalui prinsip-prinsip yang dapat dirumuskan secara eksplisit, terutama dengan merujuk pada maksim-maksim Grice dan konteks ujaran.

Contoh:

(19)
A: “Apakah kamu sudah membaca seluruh laporan itu?”
B: “Saya sempat membaca sebagian.”
Implikatur: “Aku belum membaca seluruh laporan itu.”

Berdasarkan maksim kuantitas (“berikan informasi yang cukup dan tidak lebih”), mitra tutur dapat mengalkulasi bahwa jika B hanya membaca sebagian, ia tidak membaca seluruhnya. Oleh karenanya, implikatur “tidak membaca seluruh laporan” muncul dari hasil kalkulasi pragmatis.

Ketujuh, implikatur juga dapat diuji melalui apa yang disebut sebagai uji kontradiktabilitas (contradictability test). Uji ini digunakan untuk membedakan apakah sebuah makna tersirat merupakan bagian dari implikatur atau bukan (misalnya eksplikatur). Jika mitra tutur menolak makna tersirat secara langsung—misalnya dengan menyanggah kesimpulan yang ia tarik sendiri dari konteks dan ujaran literal—penutur tidak dapat dituduh berbohong, karena makna itu tidak pernah dinyatakan secara eksplisit.

Contoh:

(20)
Konteks: B membuka penerimaan naskah esai dengan syarat maksimal 800 kata. A mengirimkan naskah sepanjang 2.000 kata.
A: “Apakah naskah saya lolos seleksi?”
B: “Naskah Anda terlalu panjang.”
Implikatur: “Naskah Anda tidak lolos seleksi.”
Lalu A menjawab: “Anda berbohong.”

Dalam kasus ini, tuduhan kebohongan diarahkan pada makna tersirat bahwa “naskah tidak lolos”. Namun karena tidak pernah menyatakan secara eksplisit bahwa naskah tidak lolos, B tidak dapat dituduh berbohong. Yang bisa dikatakan adalah bahwa B mungkin menyiratkan hal itu, tetapi menyiratkan tidak sama dengan menyatakan. Oleh karena itu, implikatur ini lolos dalam uji kontradiktabilitas: implikatur bisa ditolak tanpa mengarah ke kontradiksi literal terhadap tuturan.

3.5 Perbedaan Implikatur dengan Eksplikatur, Presuposisi, dan Entailmen

Dalam kajian pragmatik dan semantik, istilah implikatur sering kali dianggap mirip atau tumpang tindih dengan konsep-konsep lain seperti eksplikatur, presuposisi, dan entailmen. Padahal, keempat istilah ini merujuk pada jenis-jenis makna yang sangat berbeda satu sama lain, baik dari segi asal-usul, status kebenaran, hingga keterkaitannya dengan konteks.

3.5.1 Implikatur vs. Eksplikatur

Eksplikatur adalah makna yang diturunkan langsung dari bentuk linguistik dalam ujaran, tetapi membutuhkan pelengkapan (completion) atau pengayaan (enrichment) secara kontekstual agar menjadi proposisi yang lengkap dan bisa diverifikasi kebenarannya. Eksplikatur merupakan istilah dari pendekatan Teori Relevansi atau Relevance Theory (Sperber & Wilson), yang menunjukkan bahwa bagian tertentu dari makna tidak selalu diucapkan secara eksplisit, tetapi secara implisit diisi oleh mitra tutur berdasarkan konteks.

Contoh:

(21)
A: “Jam berapa keretamu?”
B: “10.30.”

Ketika mendengar jawaban si B, si A akan mengekspansi ujaran itu menjadi: “Kereta saya berangkat pada pukul 10.30”, lalu memperkayanya dengan pengetahuan kontekstual (hari apa, siang atau malam, dll.). Ini adalah eksplikatur, bukan implikatur, karena prosesnya terjadi melalui pelengkapan struktur semantik, bukan penalaran tersirat.

Sebaliknya, implikatur tidak bisa diperoleh melalui penyempurnaan makna literal saja. Implikatur muncul dari penalaran pragmatis yang memperhitungkan tujuan komunikasi dan prinsip kerja sama. 

Misalnya:

(22)
A: “Yuk, ikut nonton bareng teman-teman!”
B: “Aku harus menjaga keponakan.”
Implikatur: “Aku tidak bisa ikut nonton.”

Ketika mendengar jawaban si B, si A akan menarik sebuah implikatur bahwa si B tidak akan ikut nonton. Padahal, tidak ada struktur kalimat yang secara literal mengatakan “Aku tidak ikut nonton”. Namun, si A menyimpulkannya karena masuk akal dengan pola berikut.

A mengajak B nonton bareng dan B mengatakan sebuah kegiatan lain, yaitu menjaga keponakan → berarti B akan melakukan aktivitas lain tersebut yang merupakan sebuah keharusan → berarti B tidak bisa ikut nonton.

Makna tersebut disimpulkan dari logika kontekstual dan prinsip kerja sama, bukan dari bahasa literal. Itulah implikatur.

3.5.2 Implikatur vs. Presuposisi

Implikatur dan presuposisi atau praanggapan sama-sama berada dalam ranah makna implisit, yaitu makna yang tidak secara langsung diucapkan oleh penutur, tetapi tetap dapat ditafsirkan oleh mitra tutur. Namun, keduanya berakar pada mekanisme pragmatis dan semantis yang sangat berbeda.

Baca juga: Praanggapan dalam Pragmatik

Presuposisi adalah prasyarat pragmatik yang harus dianggap benar agar suatu tuturan dapat diproses secara wajar. Presuposisi bersifat lebih stabil dan biasanya melekat pada struktur kalimat atau pilihan leksikal tertentu. Sebuah tuturan dapat memuat satu atau lebih presuposisi, dan presuposisi tersebut tetap bertahan bahkan di bawah negasi. 

Contoh:

(23)
Tuturan: “Tono berhenti merokok.”
Presuposisi: Tono sebelumnya pernah merokok. → Bahkan jika kalimatnya dinyatakan negatif, “Tono tidak berhenti merokok,” presuposisi itu tetap berlaku.

(24)
Tuturan: “Ir. Sukarno adalah presiden pertama Republik Indonesia.”
Presuposisi: Republik Indonesia memiliki presiden pertama dan orang itu bernama Ir. Sukarno. Bahkan jika kalimat ini dinegasikan (“Ir. Sukarno bukan presiden pertama RI”), presuposisi tentang keberadaan presiden pertama tetap bertahan.

(25)
Tuturan: “Di mana Sule kuliah bidang seni?”
Presuposisi: Sule pernah kuliah di bidang seni. → Tuturan ini memuat asumsi bahwa kegiatan kuliah sudah atau sedang berlangsung.

Sebaliknya, implikatur adalah konsekuensi pragmatis dari tuturan dalam konteks tertentu. Implikatur muncul dari proses inferensi yang dilakukan mitra tutur berdasarkan prinsip kerja sama. Implikatur bersifat lebih lentur, sangat bergantung pada konteks, dan dapat dibatalkan tanpa kontradiksi.

Contoh:

(26)
A: “Ayok makan dulu.”
B: “Saya sudah makan.”
Implikatur: B menolak ajakan A untuk makan.

Dalam konteks ajakan makan, tuturan B bisa mengimplikasikan penolakan. Namun, jika ditambahkan, “...tapi saya masih mau menemani,” implikatur tersebut batal secara alami.

Contoh lain:

(27)
A: “Jam berapa sekarang?”
B: “Tukang sayur sudah lewat.”
Implikatur: Jam 9. 

Penutur menyiratkan waktu dengan menyebut peristiwa yang menjadi patokan umum, yaitu jam biasa tukang sayur lewat.

Dengan kata lain:

  • Presuposisi mendahului tuturan: atau menjadi prasyarat makna.
  • Implikatur menyusul tuturan: atau merupakan hasil penafsiran berupa penarikan kesimpulan.

Perbedaan ini dapat dirangkum sebagai berikut:

AspekPresuposisiImplikatur
Posisi dalam strukturMendahului tuturan (prasyarat makna)Menyusul tuturan (hasil inferensi)
Sumber maknaStruktur kalimat / leksikal tertentuPrinsip kerja sama + konteks
Status tersuratTidak tersurat, tetapi tetap melekatTidak tersurat, kontekstual
Tahan terhadap negasiYaTidak
Dapat dibatalkan?Tidak mudah dibatalkanYa, tanpa kontradiksi

Pemahaman yang cermat atas perbedaan ini penting untuk membedakan apakah suatu makna tersembunyi muncul karena asumsi dasar tuturan, atau karena penafsiran pragmatis dalam interaksi.

3.5.3 Implikatur vs. Entailmen

Perbedaan antara implikatur dan entailmen terletak pada kepastian dan keterkaitannya dengan konteks. Implikatur adalah konsekuensi yang fleksibel, bergantung pada situasi dan bisa dibantah atau diperjelas. Sementara itu, entailmen adalah konsekuensi mutlak, yang tidak tergantung pada konteks dan selalu benar jika tuturan asalnya benar. 

Pemahaman yang tepat tentang keduanya sangat penting dalam analisis pragmatik untuk menafsirkan makna dalam komunikasi yang lebih kompleks dan untuk memahami bagaimana penutur menyampaikan informasi, baik secara langsung maupun tidak langsung.

Meskipun implikatur dan entailmen sering kali terkait dengan makna yang diturunkan dari tuturan, keduanya memiliki karakteristik yang sangat berbeda dalam cara keduanya dipahami. Perbedaan ini sangat penting untuk dipahami dalam analisis pragmatik karena memengaruhi bagaimana kita menafsirkan informasi dalam percakapan dan teks.

3.5.3.1 Kepastian Makna

Implikatur adalah konsekuensi logis yang bersifat tidak mutlak dan tergantung pada konteks percakapan. Implikatur bisa bersifat fleksibel, yang artinya makna yang terkandung dalam tuturan bisa saja berubah tergantung pada situasi atau penjelasan lebih lanjut. Hal ini memungkinkan pernyataan yang mengandung implikatur untuk dibantah atau diperjelas dengan konteks tambahan.

Contoh:

(28)
A: “Jalan-jalan ke mal, yuk!”
B: "Aku nggak punya uang."

Implikatur yang bisa muncul adalah: "Aku tidak bisa ikut jalan-jalan ke mal." Namun, implikatur ini bisa dibantah. Mungkin saja orang yang mengatakan ini memiliki uang untuk ke bioskop tetapi tidak ingin pergi karena alasan lain, seperti kesibukan atau pilihan pribadi.

Sebaliknya, entailmen adalah konsekuensi mutlak yang pasti menyertai suatu tuturan. Jika suatu kalimat benar, maka entailmen yang terkandung di dalamnya juga pasti benar, tanpa ada pengecualian. Entailmen tidak bisa dibantah karena ia adalah kebenaran logis yang otomatis mengikuti dari tuturan itu sendiri.

Contoh:

(29)
"Kain membunuh Habel."
||- Habel mati.

Keadaan mati adalah konsekuensi mutlak dari tindakan membunuh. Oleh karena itu, makna ‘Habel mati’ merupakan entailmen yang dapat disimpulkan dari tuturan “Kain membunuh Habel”. 

3.5.3.2 Ketergantungan pada Konteks

Implikatur bergantung pada konteks percakapan. Artinya, untuk memahami makna implikatur secara tepat, kita harus memperhatikan situasi, hubungan sosial, atau latar belakang percakapan. Makna implikatur bisa saja berubah atau tidak jelas tanpa konteks yang cukup.

Contoh:

(30)
A: Roni masuk kantor nggak, ya?”
B: Tadi aku dengar musik klasik di salah satu komputer.”
Implikatur: “Roni masuk kantor.”

Implikatur dari tuturan B di atas bisa dipahami dengan mengetahui lebih lanjut tentang hubungan antara A, B, dan Roni. Hal itu akan lebih jelas jika kita mengetahui bahwa kebiasaan Roni ketika berada di kantor, yaitu suka mendengarkan musik klasik sebelum mulai bekerja. Jika konteks ini tidak ada, implikatur bisa saja disalahpahami.

Di sisi lain, entailmen tidak bergantung pada konteks untuk dipahami. Entailmen adalah kebenaran logis yang terikat pada struktur kalimat itu sendiri, dan tidak perlu pengetahuan lebih lanjut tentang situasi percakapan.

Contoh:

(31)
"Maman tiba di Jakarta."
||- Maman sampai di suatu tempat.

Pernyataan ini pasti benar secara logis, terlepas dari siapa yang menyampaikan atau siapa yang mendengarnya. Entailmen ini berlaku secara universal, tanpa memerlukan konteks tambahan.

3.5.3.3 Pemakaian dalam Komunikasi Sehari-hari

Implikatur sering muncul dalam percakapan sehari-hari yang lebih informal. Karena bersifat tidak mutlak dan bergantung pada konteks, implikatur memungkinkan adanya fleksibilitas dalam pemahaman makna. Dalam percakapan, penutur sering kali mengandalkan implikatur untuk menyampaikan pesan secara tidak langsung atau menghindari pernyataan yang terlalu langsung.

Contoh:

(32)
A: "Awas, Rocky datang!"
B: "Sembunyikan rokok kalian!" 

Implikatur ini jelas dalam konteks percakapan informal yang memperlihatkan bahwa Rocky mungkin akan meminta rokok dari teman-temannya, yang lebih dikenal oleh kelompok tersebut atau bisa jadi Rocky adalah orang yang tidak suka melihat rokok. 

Entailmen, di sisi lain, lebih sering digunakan dalam konteks formal seperti logika, hukum, atau argumen ilmiah. Pernyataan-pernyataan yang mengandung entailmen memiliki konsekuensi mutlak yang harus diterima sebagai bagian dari struktur argumen yang lebih besar.

Contoh:

(33)
"Puput membeli rumah."
||- Puput mempunyai rumah.

Dalam konteks hukum atau kontrak, entailmen ini tidak bisa dibantah. Jika Puput membeli rumah, sudah pasti bahwa ia sekarang memiliki rumah, dan ini adalah kebenaran yang berlaku dalam semua situasi, tidak tergantung pada konteks atau penjelasan tambahan.

4. Jenis-Jenis Implikatur

Dalam teori Grice dan pengembangannya, implikatur dibagi ke dalam dua kategori utama, yaitu implikatur percakapan (conversation implicature) dan implikatur konvensional (conventional implicature). Pembagian ini didasarkan pada sumber kemunculan implikatur: apakah berasal dari konteks percakapan dan prinsip kerja sama (implikatur percakapan), ataukah berasal dari makna konvensional yang melekat pada ekspresi tertentu (implikatur konvensional). 

Adapun implikatur percakapan–yang sebenarnya adalah topik utama dalam pembahasan Grice–masih dapat dibedakan menjadi dua, yaitu implikatur percakapan umum (generalized conversational implicature, GCI) dan implikatur percakapan khusus (particularized conversational implicature, PCI).

4.1 Implikatur Percakapan

Grice memperkenalkan konsep implikatur sebagai kunci untuk memahami bagaimana makna dalam percakapan tidak selalu hadir secara eksplisit, melainkan dapat tersirat melalui strategi kerja sama yang rasional antarpenutur. Dari sinilah lahir istilah yang kini menjadi fondasi pragmatik modern: implikatur percakapan (conversational implicature). 

Implikatur percakapan adalah jenis implikatur yang muncul dalam konteks percakapan atau dialog antara dua pihak. Implikatur ini terjadi secara tidak langsung dan tergantung pada konteks percakapan. Terkadang, implikatur percakapan bisa dipahami hanya dengan melihat struktur wacana, tetapi dalam kasus tertentu, pemahaman terhadap situasi komunikasi menjadi kunci untuk menafsirkan maksud yang terkandung dalam tuturan.

Dalam pengembangannya, implikatur percakapan dibedakan menjadi dua jenis utama, yaitu implikatur percakapan umum (generalized conversational implicature, GCI) dan implikatur percakapan khusus (particularized conversational implicature, PCI).

4.1.1 Implikatur Percakapan Umum

Implikatur percakapan umum merujuk pada makna tersirat yang secara umum diasumsikan oleh mitra tutur, tanpa memerlukan konteks percakapan yang sangat spesifik. Artinya, ketika seorang penutur mengucapkan suatu ekspresi tertentu, mitra tutur akan menarik kesimpulan tertentu karena bentuk tuturan itu sendiri memang secara tipikal menimbulkan implikasi. Jadi, implikatur percakapan umum adalah jenis implikatur yang bisa dipahami tanpa harus memperhatikan konteks situasi percakapan secara mendalam.

Dengan demikian, implikatur percakapan umum adalah jenis implikatur yang dapat dipahami tanpa memerlukan konteks percakapan yang sangat spesifik. Makna tersirat yang ditimbulkan oleh suatu tuturan sudah dapat disimpulkan secara umum, hanya berdasarkan bentuk ekspresi itu sendiri dan prinsip kerja sama Grice.

Contoh:

(34)
A: "Saya berharap kamu membawakan saya roti dan keju."
B: "Ah, saya hanya membawa roti."
Implikatur: B tidak membawa keju.

Tanpa mengetahui lebih jauh konteks antara A dan B, kita tetap bisa menyimpulkan bahwa B tidak membawa keju karena jika ia membawa keduanya, ia akan menyebutkannya. Karena ia hanya menyebut “roti”, kita menganggap ia sengaja tidak menyebut keju karena memang tidak membawanya.

Perhatikan contoh lain berikut.

(35)
A: "Apakah kamu mengundang Billa dan Ani?"
B: "Aku mengundang Billa saja."
Implikatur: B tidak mengundang Ani.

Ucapan “Billa saja” menyiratkan eksklusi terhadap Ani. Tanpa harus mengetahui relasi personal mereka atau latar belakangnya, si A tetap dapat memahami bahwa Ani tidak diundang.

Implikatur percakapan umum juga mencakup apa yang disebut oleh Yule (1996) sebagai implikatur berskala (scalar implicature), yaitu implikasi yang muncul karena penggunaan ekspresi kuantitatif atau tingkat tertentu pada skala makna.

Skala makna ini bisa berupa:

  • semua > banyak > beberapa
  • selalu > sering > kadang-kadang

Contoh:

(36)
A: "Apakah semua temanmu ikut ke pesta itu?"
B: "Hanya beberapa saja."
Implikatur: Tidak semua teman B ikut ke pesta itu.

Karena B tidak menggunakan “semua” atau “banyak”, A dapat menyimpulkan bahwa sebagian besar mungkin tidak ikut. Jika semua ikut, ia pasti menyatakannya secara eksplisit.

Perhatikan contoh lain berikut.

(37)
A: "Rico benar-benar selalu bisa diandalkan ya?"
B: "Tapi kadang-kadang dia suka eror."
Implikatur: Rico tidak selalu bisa diandalkan.

Dengan mengatakan “kadang-kadang”, B secara tidak langsung menyangkal klaim bahwa Rico “selalu” bisa diandalkan. Penggunaan ekspresi dengan nilai skala yang lebih rendah memunculkan inferensi bahwa ekspresi dengan nilai lebih tinggi tidak berlaku.

Implikatur percakapan umum seperti ini sering digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyampaikan penolakan, pembatasan, atau klarifikasi tanpa harus menyatakan secara eksplisit.

4.1.2 Implikatur Percakapan Khusus

Berbeda dengan implikatur percakapan umum, implikatur percakapan khusus merupakan jenis implikatur yang baru bisa dipahami jika mitra tutur mengetahui konteks percakapan secara lebih spesifik. Artinya, makna tersirat tidak bisa ditarik secara langsung dari bentuk tuturan itu sendiri, melainkan harus dibantu oleh informasi latar belakang, hubungan antarpenutur, atau situasi sosial tertentu.

Contoh:

(38)
Tuti: "Budi di mana, Ton?"
Anton: "Chico di kantin, Tut."
Implikatur: Budi (mungkin) di kantin juga karena di mana ada Chico, biasanya di situ ada Budi.

Makna tersirat ini hanya dapat dipahami jika mitra tutur mengetahui bahwa Budi dan Chico biasanya selalu bersama. Tanpa pengetahuan tersebut, jawaban Anton akan tampak tidak relevan.

Perhatikan juga contoh berikut.

(39)
A: "Kamu dan anakmu mau ke mana?"
B: "Ke er es."
Implikatur: B mau ke rumah sakit, tapi menyamarkannya karena anaknya tidak mau jika tahu akan diajak ke sana.

B sengaja mengeja "RS" secara fonetik agar anaknya tidak menyadari. Pemahaman tentang konteks psikologis dan strategi orang tua sangat diperlukan agar makna ini bisa dipahami.

Selain itu, terkadang menyatakan implikatur juga bisa dengan pertanyaan retoris seperti contoh berikut.

(40)
A: "Vegetarian itu makan hamburger nggak ya?"
B: "Apakah ayam punya bibir?"
Implikatur: Vegetarian tidak makan hamburger.

Jawaban B berupa pertanyaan retoris yang jawabannya diketahui semua orang: ayam tidak punya bibir, yang artinya “tidak”. Karena hamburger berbahan daging, pertanyaan itu menyiratkan penolakan secara tidak langsung.

Dalam semua contoh di atas, makna tersirat tidak muncul secara otomatis, melainkan baru bisa dipahami ketika mitra tutur mengetahui konteks sosial dan relasional yang melandasi pertukaran tuturan tersebut.

Implikatur percakapan khusus memperlihatkan bahwa bahasa bekerja dalam jaringan makna yang sangat bergantung pada pengetahuan bersama, keakraban sosial, dan asumsi pragmatis yang terikat pada situasi tertentu.

4.2 Implikatur Konvensional

Implikatur konvensional adalah jenis implikatur yang tidak tergantung pada konteks percakapan spesifik, melainkan lebih pada makna yang sudah diterima secara umum dalam masyarakat atau budaya tertentu. Artinya, implikatur ini bisa dipahami oleh penutur bahasa tanpa memerlukan pengetahuan lebih lanjut tentang konteks situasi atau hubungan antara penutur dan mitra tutur. Sebaliknya, implikatur konvensional muncul karena adanya struktur gramatikal atau pilihan kata tertentu yang membawa makna tertentu, yang secara sosial atau budaya sudah disepakati dan dipahami bersama oleh penutur bahasa tersebut.

Implikatur konvensional sering kali berkaitan dengan stereotip sosial, anggapan umum, atau persepsi budaya yang berkembang dalam masyarakat. Dalam hal ini, penutur dan mitra tutur memahami makna implikatur karena mereka berbagi pengetahuan tentang nilai-nilai, norma sosial, atau pragmatik budaya yang berlaku di masyarakat tempat mereka hidup.

Berikut adalah penjelasan lebih lanjut tentang contoh- contoh implikatur konvensional yang telah disebutkan:

Contoh:

(41)
Tuturan: Tarigan orang Batak, tetapi tidak pandai bernyanyi.
Implikatur: Orang Batak biasanya pandai bernyanyi.

Pada contoh ini, implikatur konvensional timbul karena adanya stereotip budaya yang menyatakan bahwa orang Batak terkenal pandai bernyanyi. Dalam masyarakat Indonesia, ada anggapan umum bahwa orang Batak memiliki kemampuan bernyanyi yang baik, dan ini adalah stereotip budaya yang sudah melekat dalam banyak percakapan. 

Dalam kalimat ini, meskipun si penutur menyatakan bahwa Tarigan tidak pandai bernyanyi, tetap ada implikatur bahwa secara umum orang Batak diharapkan bisa bernyanyi dengan baik. Hal ini terjadi tanpa perlu adanya konteks percakapan yang lebih luas atau pengetahuan tentang situasi antara penutur dan mitra tutur.

Perhatikan pula contoh berikut.

(42)
Tuturan: Meskipun kuliah di Fakultas Sastra, Wawan tidak bisa menulis puisi.
Implikatur: Mahasiswa Sastra (seharusnya) bisa menulis puisi.

Implikatur ini muncul karena adanya asumsi umum tentang mahasiswa Fakultas Sastra yang seharusnya memiliki kemampuan dalam bidang sastra, termasuk dalam menulis puisi. Dalam budaya akademik atau masyarakat pada umumnya, ada keyakinan bahwa mahasiswa sastra—khususnya di Indonesia—dianggap memiliki keterampilan dasar dalam menulis karya sastra, termasuk puisi. Jadi, walaupun yang disampaikan dalam kalimat adalah bahwa Wawan tidak bisa menulis puisi, implikatur yang timbul adalah bahwa seharusnya mahasiswa sastra bisa menulis puisi, berdasarkan stereotip atau harapan yang ada terhadap jurusan tersebut.

Perhatikan juga contoh berikut.

(43)
Tuturan: Paul tidak kaya raya, tetapi dia bahagia.
Implikatur: Orang yang tidak kaya tidak bahagia.

Kalimat ini mengandung implikatur konvensional yang berkaitan dengan pandangan sosial umum bahwa kekayaan sering kali dikaitkan dengan kebahagiaan. Dalam banyak budaya, ada anggapan bahwa orang kaya lebih cenderung bahagia, sementara orang yang tidak kaya sering dipersepsikan tidak bahagia. Dalam contoh ini, kalimat yang menyatakan bahwa Paul tidak kaya, tetapi bahagia, memunculkan implikatur bahwa secara umum, orang yang tidak kaya biasanya dianggap tidak bahagia. Ini adalah contoh bagaimana stereotip sosial atau anggapan budaya yang sudah mapan menghasilkan makna implikatur yang lebih luas, meskipun kenyataannya tidak semua orang setuju dengan pandangan tersebut.

Dalam ketiga contoh di atas, implikatur yang dihasilkan tidak berasal dari konteks percakapan spesifik, melainkan lebih dipengaruhi oleh anggapan atau norma sosial yang berlaku secara umum. Ini menunjukkan bahwa implikatur konvensional sering kali berhubungan dengan stereotip sosial atau nilai-nilai budaya yang telah mengakar di masyarakat.

Implikatur semacam ini dapat sangat bervariasi tergantung pada budaya, lingkungan sosial, dan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat tertentu. Misalnya, stereotip budaya Batak yang menganggap orang Batak pandai bernyanyi mungkin tidak berlaku di luar Indonesia, atau dalam budaya yang tidak mengenal stereotip tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun implikatur konvensional sering kali berakar pada stereotip, anggapan umum, atau pemahaman sosial, ini tidak selalu mencerminkan kenyataan atau pandangan yang objektif. Oleh karena itu, implikatur konvensional dapat memperlihatkan ketegangan antara persepsi sosial yang sudah berkembang dan kenyataan yang ada. Namun demikian, makna yang muncul dari implikatur konvensional sering kali diterima begitu saja dalam percakapan sehari-hari, meskipun mungkin tidak selalu benar atau tidak berlaku dalam setiap situasi.

Implikatur konvensional menunjukkan bagaimana makna yang dibawa oleh tuturan bisa dipengaruhi oleh norma budaya, stereotip, dan asumsi sosial yang berlaku di masyarakat. Penutur dan mitra tutur bisa memahami implikatur ini karena mereka berbagi pemahaman yang sama tentang bagaimana kata-kata atau struktur kalimat tertentu berhubungan dengan norma sosial yang lebih besar.

5. Pengabaian Maksim (Flouting the Maxims) sebagai Cara Menghasilkan Implikatur

Salah satu cara paling khas munculnya implikatur percakapan adalah melalui mekanisme yang oleh Grice disebut sebagai flouting the maxims, yang dapat diterjemahkan sebagai pengabaian maksim. Dalam situasi ini, penutur secara sengaja dan terang-terangan melanggar salah satu maksim percakapan, namun mitra tutur tetap menganggap bahwa penutur kooperatif dan memiliki maksud tertentu di balik pelanggaran tersebut. Justru karena pelanggaran itu terlihat jelas, mitra tutur terdorong untuk mencari makna tersirat sebagai pelurusan atas kejanggalan dalam tuturan.

Baca juga: Ketidakpatuhan terhadap Prinsip Kerja Sama

5.1 Pengabaian terhadap Masing-Masing Maksim

Setiap maksim dalam prinsip kerja sama dapat diabaikan untuk menghasilkan implikatur. Pelanggaran semacam ini bukanlah bentuk kegagalan komunikasi, melainkan strategi retoris yang memperkaya makna dan daya ungkap. Berikut ini adalah penjelasan dan contoh pengabaian terhadap masing-masing maksim.

5.1.1 Pengabaian Maksim Kuantitas

Maksim kuantitas menuntut penutur untuk memberikan informasi secukupnya, tidak kurang dan tidak lebih dari yang diperlukan. Pengabaian terhadap maksim ini terjadi dalam dua bentuk, yaitu memberikan terlalu sedikit informasi (under-informative) dan memberikan terlalu banyak informasi (over-informative).

Dalam kedua kasus tersebut, penutur menyampaikan informasi yang secara literal tidak cukup atau terlalu banyak, tetapi secara implisit justru menyiratkan sesuatu yang tersembunyi.

5.1.1.1 Terlalu Sedikit Informasi 

Dalam kasus terlalu sedikit informasi, penutur tidak memberikan keterangan sebanyak yang diharapkan, padahal secara situasional ia diyakini memiliki akses terhadap informasi tersebut. Akibatnya, mitra tutur menangkap adanya “kejanggalan” dalam tuturan tersebut. Karena tetap diasumsikan bahwa penutur bersikap kooperatif, kejanggalan itu justru memicu inferensi makna tersirat: penutur sengaja memilih menyampaikan sedikit sebagai sinyal bahwa ia enggan atau tidak bisa menyatakan sesuatu secara langsung.

Contoh berikut, yang dikemukakan oleh Grice, menggambarkan dengan sangat jelas bagaimana pengabaian maksim kuantitas ini dapat menghasilkan implikatur percakapan yang kuat meskipun ujarannya secara literal sangat terbatas.

(44)
Konteks: Alex menulis surat rekomendasi untuk Mr. Bond yang melamar pekerjaan sebagai dosen filsafat.
Alex: “Kemampuan bahasa Inggris Mr. Bond sangat baik, dan kehadirannya di kelas tutorial selalu teratur.”

Surat tersebut hanya memuat dua informasi minimal yang sangat netral dan tidak menyentuh kualitas intelektual atau kecakapan filsafat Mr. Bond.  Jika Alex benar-benar mendukung Mr. Bond, ia seharusnya menyertakan informasi lebih substansial. Karena dia tidak melakukannya, pembaca menyimpulkan bahwa Alex sebenarnya tidak menilai Mr. Bond layak, tetapi enggan mengatakannya secara langsung.

Jadi dapat disimpulkan:

  • Implikatur: Mr. Bond tidak memiliki kompetensi filsafat yang cukup.
  • Maksim yang dilanggar: Kuantitas — informasi terlalu sedikit dan disengaja.
  • Alasan inferensi: Jika Alex tidak tahu lebih banyak, ia tak akan menulis surat sama sekali. Karena ia tahu dan tetap minim bicara, ia sengaja menyiratkan makna negatif secara implisit.

Contoh lain: 

(45)
A: “Bagaimana menurutmu Andi sebagai ketua panitia?”
B: “Dia selalu datang tepat waktu ke rapat.”
Implikatur: B tidak ingin memuji kemampuan kepemimpinan Andi, mungkin karena B menganggap Andi kurang kompeten.

Grice juga menyebutkan bahwa beberapa bentuk pengabaian ekstrem terhadap maksim kuantitas pertama dapat muncul dalam bentuk tautologi, yakni pernyataan yang secara logis benar tetapi secara praktis tidak memberikan informasi apa-apa.

Contoh:

(46)
“War is war.”
“Laki-laki ya laki-laki.”
“Anak-anak ya begitu.”

Kalimat-kalimat tersebut secara literal benar, tetapi sama sekali tidak informatif. Namun, karena pelanggarannya mencolok, mitra tutur terdorong untuk mencari makna tambahan.

Implikatur:

  • “Perang tetaplah perang. Pada akhirnya, rakyat biasalah yang akan menjadi korban.” 
  • “Laki-laki ya laki-laki.” → Perilaku laki-laki itu memang tidak bisa diubah, atau wajar jika menyebalkan.
  • “Anak-anak ya begitu.” → Jangan terlalu marah, karena kenakalan mereka sudah biasa.

Dengan demikian, meskipun secara literal kalimat tersebut tidak menyampaikan informasi baru, namun secara implisit menyampaikan sikap penutur terhadap suatu keadaan.

5.1.1.2 Terlalu Banyak Informasi 

Grice juga memberi contoh tentang pengabaian terhadap maksim kuantitas, yaitu ketika penutur memberikan informasi lebih banyak dari yang dibutuhkan.

Jika pada kasus sebelumnya penutur memberikan terlalu sedikit informasi, dalam bentuk pelanggaran yang berlawanan, penutur justru menyampaikan informasi secara berlebihan—melebihi apa yang ditanyakan atau dibutuhkan dalam konteks percakapan. Secara prinsip, maksim kuantitas tidak hanya meminta cukupnya informasi, tetapi juga melarang pemberian informasi yang tidak perlu.

Dalam banyak kasus, pemberian informasi secara berlebihan ini bukan tanpa maksud. Justru, kelimpahan informasi yang tidak proporsional dapat menyiratkan sesuatu yang tidak dinyatakan secara langsung — misalnya keraguan tersembunyi, pembelaan yang terlalu ngotot, atau usaha untuk menyembunyikan ketidakyakinan di balik sikap meyakinkan.

Contoh berikut memperlihatkan bagaimana tuturan yang terlalu detail dan berulang justru mengimplikasikan adanya ketidakpastian atau kontroversi, meskipun secara literal penutur sedang menyatakan kepastian.

(47)
A: “Apakah kasus yang menimpa Harto benar?”
B: “Ya, itu benar. Bahkan sudah pasti benar. Saya punya bukti dari ini dan itu...”

Jika B terlalu berlebihan dalam menegaskan jawabannya, A bisa curiga bahwa sebenarnya B tidak terlalu yakin, atau kasus yang menimpa Harto adalah hal yang kontroversial.

Contoh lain:

(48)
A: “Kamu yakin dia jujur?”
B: “Tentu saja! Dia itu orang paling jujur yang aku kenal. Sumpah, aku tahu semua riwayatnya, aku kenal keluarganya, dan dia itu nggak pernah bohong dari kecil!”
Implikatur: B mungkin justru merasa tidak yakin atau sedang menutupi sesuatu.

Pengabaian terhadap maksim kuantitas seperti ini dapat membuat mitra tutur berpikir: “Kalau memang yakin, kenapa harus terlalu banyak alasan?”

5.1.2 Pengabaian Maksim Kualitas

Maksim kualitas mengharuskan penutur untuk mengatakan hal yang benar dan berdasar bukti. Ketika penutur secara sengaja mengatakan sesuatu yang tidak benar secara literal, namun dengan maksud menyiratkan makna lain, ia telah melakukan pengabaian terhadap maksim kualitas. Bentuk-bentuk gaya bahasa seperti ironi, metafora, meiosis, dan hiperbola merupakan cara umum melakukan pengabaian ini.

5.1.2.1 Ironi 

Salah satu bentuk paling menonjol dari pelanggaran maksim kualitas adalah ironi. Ironi adalah gaya bahasa yang menyampaikan makna yang berlawanan dengan apa yang dikatakan secara literal.

Dalam ironi, penutur secara sengaja mengatakan sesuatu yang bertentangan dengan kenyataan, atau bahkan bertentangan dengan apa yang ia sendiri yakini. Namun, karena ironi disampaikan dalam konteks yang cukup transparan, mitra tutur tidak menafsirkan maknanya secara literal.

Ironi bekerja dengan memanfaatkan kontras antara tuturan dan fakta situasi sehingga mitra tutur terdorong untuk mencari makna alternatif yang lebih sesuai dengan kenyataan dan maksud penutur. Karena itulah, ironi menjadi strategi yang efektif untuk menyampaikan kritik, sindiran, atau penolakan dengan cara yang tidak konfrontatif secara langsung, tetapi tetap jelas bagi mereka yang memahami konteksnya.

Contoh berikut memperlihatkan bagaimana sebuah pernyataan yang tampaknya positif justru menyiratkan evaluasi yang negatif, dan bagaimana pelanggaran terhadap maksim kualitas melahirkan implikatur percakapan secara efektif.

(49)
Konteks: Tentang seseorang yang baru saja berkhianat.
Tuturan: "Yudi adalah teman yang baik!"
Implikatur: Yudi adalah teman yang buruk. 

Mitra tutur menyimpulkan implikatur ini karena penutur mengucapkan sesuatu yang jelas-jelas bertentangan dengan kenyataan dan maksudnya bukan untuk dipahami secara literal.

5.1.2.2 Metafora 

Bentuk lain dari pelanggaran maksim kualitas yang menghasilkan implikatur percakapan adalah metafora. Dalam metafora, penutur menyamakan dua hal yang secara literal berbeda, namun memiliki kesamaan makna secara konseptual atau emosional. Karena makna literal dari metafora biasanya tidak masuk akal jika ditafsirkan secara harfiah, mitra tutur menyimpulkan bahwa penutur sedang menyampaikan makna lain yang lebih dalam — yakni makna kiasan atau perbandingan emosional.

Pengabaian maksim kualitas terjadi karena penutur mengucapkan sesuatu yang secara literal tidak benar, tetapi tidak bermaksud menipu. Justru, dari ketidakbenaran literal itulah mitra tutur terdorong untuk menafsirkan makna tersirat yang sesuai dengan konteks dan relasi antarpenutur.

Contoh berikut menunjukkan bagaimana ungkapan metaforis digunakan untuk menyampaikan afeksi dengan cara yang lebih puitis dan menyentuh, tanpa harus mengatakan secara langsung.

(50)
Tuturan: "Kamu adalah gula dalam secangkir kopiku."
Implikatur: Kamu adalah sumber kebahagiaan atau kenikmatan dalam hidupku. 

Makna literalnya tidak masuk akal sehingga mitra tutur menyimpulkan bahwa ini adalah ungkapan metaforis yang menyatakan afeksi.

5.1.2.3 Meiosis 

Meiosis, atau yang juga dikenal sebagai understatement, adalah gaya bahasa yang mengecilkan sesuatu untuk memberikan kesan sebaliknya. Dalam meiosis, penutur meremehkan atau mengecilkan fakta yang sebenarnya lebih serius atau ekstrem, sehingga justru menyiratkan makna yang berlawanan: bahwa keadaan sesungguhnya lebih parah daripada yang diungkapkan.

Strategi ini sering digunakan untuk menyampaikan sesuatu secara halus, sopan, atau tidak menimbulkan kepanikan, terutama dalam situasi yang sensitif atau emosional. Ketika mitra tutur menyadari bahwa deskripsi penutur terlalu ringan dibandingkan dengan kenyataan, muncullah implikatur bahwa penutur sebenarnya ingin menyampaikan sesuatu yang lebih besar, tapi tidak secara eksplisit.

Contoh berikut memperlihatkan bagaimana kalimat sederhana yang tampak ringan justru menyiratkan situasi yang jauh lebih berat — sebuah efek pragmatis yang khas dari meiosis.

(51)
Konteks: Tentang orang yang pingsan setelah bekerja selama 48 jam tanpa henti.
Tuturan: "Dia agak lelah." 
Implikatur: Dia sangat lelah. 

Pernyataan “agak lelah” terdengar terlalu ringan jika dibandingkan dengan kenyataan bahwa orang tersebut pingsan karena kelelahan ekstrem. Penutur secara mencolok melanggar maksim kualitas (karena tidak sepenuhnya benar secara literal) dan juga kuantitas (karena informasi yang diberikan terlalu sedikit). Justru karena pernyataan itu terlalu meremehkan, mitra tutur menyimpulkan makna yang lebih serius — yaitu bahwa kondisi orang tersebut sangat parah.

5.1.2.4 Hiperbola 

Berkebalikan dari meiosis, bentuk pengabaian maksim kualitas yang lain adalah hiperbola, yakni gaya bahasa yang melebih-lebihkan fakta secara ekstrem untuk menimbulkan efek emosional atau penekanan tertentu. Dalam hiperbola, penutur mengatakan sesuatu yang secara literal tidak masuk akal atau tidak benar secara faktual, tetapi tetap bisa dipahami karena konteks sosial dan budaya memungkinkan kita mengenali maksud yang tersembunyi.

Hiperbola sering digunakan dalam komunikasi sehari-hari, humor, promosi, atau retorika emosional. Pelanggaran terhadap maksim kualitas terjadi karena penutur mengucapkan sesuatu yang ia sendiri tidak percayai secara literal, tetapi ingin menyampaikan sikap evaluatif atau ekspresif yang lebih kuat.

Contoh berikut menunjukkan bagaimana ungkapan hiperbolik dapat menyiratkan makna yang tetap dapat dipahami oleh mitra tutur sebagai penilaian positif, meskipun secara literal tidak benar.

(52)
Tuturan: "Semua cewek di sini tergila-gila pada Agus."
Implikatur: “Agus sangat populer di sekolah, atau banyak orang menyukainya.”

Pernyataan bahwa “semua cewek di sini” menyukai Agus jelas berlebihan dan tidak dimaksudkan secara literal. Mitra tutur tidak memahami kalimat itu sebagai fakta mutlak, melainkan sebagai bentuk penekanan terhadap tingginya popularitas Agus. Karena makna literalnya tidak realistis, mitra tutur menyimpulkan bahwa penutur hanya ingin menyampaikan bahwa Agus sangat digemari. Pengabaian terhadap maksim kualitas terlihat jelas di sini, tetapi tetap dipahami sebagai strategi retoris untuk menyampaikan makna secara lebih ekspresif.

5.1.3 Pengabaian Maksim Hubungan

Maksim hubungan menuntut agar tuturan tetap relevan terhadap topik. Pengabaian terhadap maksim ini dapat menghasilkan implikatur jika penutur mengatakan sesuatu yang tampak tidak relevan namun sebenarnya menyiratkan hubungan dengan topik.

Contoh:

(53)
A: “Kamu bisa bantu aku pindahan akhir pekan ini?”
B: “Aduh, anak-anak minta diajak ke kebun binatang dari minggu lalu.”
Implikatur: B tidak bisa atau tidak mau membantu.

Karena enggan menolak secara langsung, B memilih mengatakan hal tersebut. Si A yang menyadari hal itu memahami bahwa B memberi alasan yang secara literal tidak menjawab permintaan, tetapi menyiratkan penolakan melalui pengalihan perhatian pada kegiatan lain.

 Jawaban B tampak tidak relevan dengan pertanyaan A, tapi justru karena tidak relevan, A terdorong menyimpulkan makna tersembunyi: “B tidak bersedia membantu karena sudah punya rencana dengan keluarga.”

Penutur kadang secara sengaja mengatakan sesuatu yang tampaknya tidak relevan untuk menyampaikan sikap tertentu — misalnya penolakan halus, kritik tidak langsung, atau pengalihan topik karena topik semula dianggap tidak pantas.

Contoh:

(54)
A: “Bu Tati itu cerewet dan suka ikut campur, ya.”
B: “Eh, kamu udah lihat harga cabai naik lagi hari ini?”
Implikatur: “Jangan membahas hal itu.” 

B tidak ingin melanjutkan topik tentang Bu Tati karena menganggapnya tidak pantas, tidak sopan, atau berpotensi menimbulkan konflik. Jadi meskipun jawaban B tampak tidak relevan secara literal, kita memahami bahwa ia sengaja mengalihkan pembicaraan sebagai bentuk teguran halus.

Alih-alih langsung mengatakan “Jangan ngomongin orang,” B menggunakan strategi tidak langsung dengan melompat ke topik yang sangat berbeda (harga cabai). Karena kita mengasumsikan B adalah peserta percakapan yang kooperatif, kita terdorong untuk mencari makna di balik ketidakterkaitan itu. Oleh karenanya, muncullah implikatur: topik sebelumnya tidak pantas untuk dilanjutkan maka hentikan.

5.1.4 Pengabaian Maksim Cara

Maksim cara berkaitan dengan bagaimana sesuatu dikatakan, bukan apa yang dikatakan. Grice merumuskan maksim ini dengan empat subprinsip, yaitu

  1. hindari kekaburan (obscurity);
  2. hindari ambiguitas (ambiguity);
  3. jadilah singkat (brevity); dan
  4. jadilah teratur (orderliness).

Dengan kata lain, penutur yang mematuhi maksim ini diharapkan menyampaikan tuturan secara jelas, langsung, dan terstruktur. Namun, ketika penutur secara mencolok melanggar prinsip-prinsip ini — misalnya dengan berbicara secara kabur, ambigu, atau bertele-tele — dan mitra tutur tetap menganggap penutur kooperatif, maka muncul kebutuhan untuk menafsirkan pelanggaran tersebut. Dari sinilah implikatur percakapan bisa timbul.

5.1.4.1 Ambiguitas

Ambiguitas terjadi ketika sebuah tuturan mengandung dua makna atau lebih, dan penutur tidak menjelaskan secara eksplisit makna mana yang dimaksud. Jika ambiguitas ini disengaja, mitra tutur terdorong untuk menggali makna tersirat.

Contoh:

(55)
Blake (penyair): “I sought to tell my love, love that never told can be.”
Implikatur: Cinta yang tak bisa diungkapkan, atau cinta akan rusak jika diungkapkan.

Kata love bisa berarti ‘perasaan cinta itu sendiri’ (I sought to tell my [feeling of] love), atau ‘orang yang dicintai’ (I sought to tell my lover).

Sementara itu, frasa love that never told can be juga bisa dimaknai sebagai ‘cinta yang tak bisa diungkapkan’ atau ‘cinta yang lenyap atau rusak kalau diungkapkan’.

Jadi, ada beberapa pembacaan literal yang valid, dan Blake tidak menentukan mana yang dia maksud. Pembaca harus menafsirkan sendiri berdasarkan konteks puisi atau emosi personal.

Contoh lain dapat ditemukan dalam percakapan sehari-hari berikut.

(56)
A:
“Robert memang karyawan teladan di sini. Dia seperti ular.”
B: “Maksudnya?”
A: “Banyak bisanya.”
B: “Ah, bisa aja kamu. Iya sih, dia memang ahli dalam banyak hal.”

Pada contoh di atas, kata ular dapat menimbulkan dua kemungkinan penafsiran literal berikut.

  • Ular sebagai metafora berkonotasi negatif — simbol dari kelicikan, tipu daya, atau pengkhianatan.
  • Ular sebagai hewan yang memiliki bisa (racun) — makna denotatif yang dipakai dalam permainan kata.

Kata bisa sendiri juga ambigu secara leksikal, karena dapat merujuk pada:

  • bisa sebagai racun ular,
  • atau bisa sebagai kemampuan atau kecakapan (misalnya dalam ungkapan “bisa apa saja”).

A tidak menjelaskan secara eksplisit makna mana yang dimaksud, tetapi membiarkan mitra tutur menafsirkan maksudnya melalui konteks dan respons dialogis. Ambiguitas ini bersifat disengaja dan digunakan sebagai strategi retoris untuk menyampaikan pujian secara jenaka.

Implikatur yang dapat disimpulkan: Robert adalah karyawan yang serbabisa, sangat terampil, dan menguasai banyak hal. Namun, makna tersebut tidak disampaikan secara langsung, melainkan melalui tuturan yang ambigu dan terbuka untuk lebih dari satu tafsir literal.

5.1.4.2 Ketidakjelasan (Obscurity)

Ketidakjelasan adalah bentuk pengabaian terhadap maksim cara yang terjadi ketika penutur sengaja menggunakan bahasa yang kabur, rumit, atau tidak langsung dipahami oleh semua peserta tutur, meskipun sebenarnya ada cara yang lebih sederhana dan jelas untuk mengatakannya.

Kekaburan ini bukan karena ketidaksengajaan atau ketidakmampuan menyampaikan maksud, melainkan strategi retoris atau pragmatis. Tujuannya bisa bermacam-macam: menyembunyikan makna dari pihak ketiga, menyampaikan kritik atau tuduhan secara implisit, menghindari konflik, atau menjaga etika dan kesopanan.

Cara ini dapat menggunakan istilah teknis, abstrak, atau eufemistik. Selain itu, ketidakjelasan disampaikan dalam struktur yang kompleks dan tidak langsung. Biasanya hal ini dimaksudkan agar hanya sebagian mitra tutur memahami makna sebenarnya, sementara yang lain (misalnya anak-anak, lawan politik, atau media) tidak menyadari pesan tersembunyi.

Contoh:

(57)
Konteks: Orang tua (kepada pasangan, di depan anak).
Ayah:
“Mungkin sudah waktunya mempertimbangkan opsi institusi edukasi berbasis boarding.”
Ibu: “Setuju.”
Implikatur: Sebaiknya anak kita dimasukkan ke pesantren.

Orang tua sedang membicarakan rencana memasukkan anak ke pesantren atau sekolah berasrama, tetapi tidak ingin si anak mengetahui rencana itu secara langsung. Kalimat disusun dengan istilah yang abstrak dan teknis agar anak tidak memahami dan bereaksi negatif. Kekaburan istilah (institusi edukasi berbasis boarding) digunakan untuk menyembunyikan maksud sebenarnya dari pihak ketiga (anak).

Contoh lain:

(58)
Konteks: Politisi dalam wawancara.
Politisi: “Kita mencurigai adanya entitas-entitas nonformal yang secara sistematis mengintervensi struktur distribusi.”
Implikatur: Ada mafia.

Politisi sebenarnya ingin menyampaikan bahwa ada mafia distribusi, calo, atau bahkan korupsi, tetapi ia menghindari pernyataan langsung agar tidak menimbulkan polemik hukum atau serangan balik. Kalimat pun disusun dengan bahasa teknokratik, yang menyamarkan tuduhan tapi tetap dapat dipahami oleh mitra tutur yang cukup peka.

Contoh lain:

(59)
Kepala perusahaan: “Perusahaan akan melakukan restrukturisasi sumber daya manusia dalam rangka efisiensi operasional.”
Implikatur: Akan terjadi pemutusan hubungan kerja (PHK). 

Kata PHK dihindari karena memiliki konotasi negatif dan dapat menimbulkan kecemasan. Istilah restrukturisasi SDM digunakan untuk menyamarkan tindakan yang tidak populer.

5.1.4.3 Bertele-tele (Failure to Be Brief or Succinct)

Bertele-tele adalah pelanggaran terhadap salah satu prinsip dalam maksim cara, yakni jadilah ringkas dan langsung ke intinya. Dalam percakapan kooperatif, kita mengharapkan penutur langsung menyampaikan inti informasi dengan bahasa yang efisien. Namun, terkadang penutur sengaja memperpanjang, mengelaborasi, atau mengaburkan jawaban untuk menyampaikan sikap tertentu secara tidak langsung.

Tuturan bertele-tele bisa menghasilkan implikatur. Grice menjelaskan bahwa jika seseorang bisa menyampaikan sesuatu dengan singkat tapi malah memilih jalur panjang yang tidak efisien, ada alasan komunikatif tertentu di balik pilihan itu. Dalam konteks pengabaian maksim, pilihan untuk bertele-tele bukan karena tidak tahu caranya berbicara singkat, tetapi karena:

  • ingin menghindari kejujuran yang menyakitkan;
  • ingin menyampaikan sindiran secara halus;
  • ingin bersikap netral dalam situasi sensitif; dan
  • ingin menyembunyikan penolakan atau kritik di balik keambiguan gaya tutur.

Dengan kata lain, panjangnya tuturan itu sendiri menjadi sinyal bahwa ada makna tersirat yang perlu dicari oleh mitra tutur.

Grice memberi contoh berikut.

(60)
A: “Miss X sang ‘Home Sweet Home’.”
B: “Miss X produced a series of sounds corresponding closely with the score...”
Implikatur: Miss X tidak menyanyi dengan baik, tetapi B tidak ingin menyatakannya secara langsung.

B bisa saja cukup berkata: “Tidak terlalu bagus.” Tapi ia memilih jawaban yang panjang, kaku, dan teknis untuk menyiratkan evaluasi negatif secara sarkastik.

Contoh lain:

(61)
A: “Gimana pendapatmu tentang presentasi Nita tadi?”
B: “Ya... dia menyampaikan semua poin sesuai dengan slide yang ditampilkan, meskipun waktunya agak mepet dan mungkin bisa lebih... terstruktur.”
Implikatur: Presentasi Nita tidak baik.

B sebenarnya menganggap presentasi Nita buruk atau kurang menarik, tetapi menggunakan bahasa normatif dan berputar-putar sebagai bentuk kritik halus.

Contoh lain:

(62)
A:
“Apakah kamu cocok kerja di tempat itu?”
B: “Saya... banyak belajar di sana. Pengalaman yang sangat... mendewasakan. Banyak tantangan yang... luar biasa.”
Implikatur: Saya tidak cocok.

B tidak merasa cocok atau tidak bahagia bekerja di sana, tetapi tidak ingin mengatakannya secara eksplisit. Tuturan panjang dengan jeda dan istilah normatif menjadi penanda ketidakjujuran literal yang disengaja.

5.2 Mekanisme Inferensi Pengabaian Maksim dalam Implikatur 

Dalam teori Grice, implikatur percakapan bukanlah sekadar makna tersembunyi yang “ditebak” begitu saja, melainkan hasil dari proses inferensi logis yang sangat terstruktur — terutama ketika penutur sengaja mengabaikan maksim percakapan secara mencolok (flouting the maxims).

Grice percaya bahwa komunikasi manusia berbasis pada asumsi kooperatif, yaitu bahwa para peserta tutur saling bekerja sama untuk menjaga kelancaran, kejelasan, dan efektivitas pertukaran informasi. Oleh karena itu, ketika ada sesuatu yang tampaknya “aneh” dalam percakapan, kita tidak langsung menuduh penutur ngawur, melainkan berusaha menafsirkan apa makna tersembunyi di balik keanehan itu.

Penting untuk ditekankan bahwa, pengabaian maksim dalam hal ini bukanlah tanda bahwa komunikasi gagal. Sebaliknya, pengabaian (flouting the maxims) justru merupakan strategi linguistik yang memungkinkan penutur menyampaikan makna secara tidak langsung, sering kali digunakan untuk menjaga kesopanan, menyampaikan sindiran, atau menghindari konflik, dan memberikan ruang bagi kreativitas, humor, dan ketajaman ekspresi.

Oleh karena itu, implikatur percakapan lahir dari “ketegangan” antara apa yang tampak sebagai pelanggaran, dan kepercayaan bahwa penutur tetap bersikap kooperatif. Ketegangan inilah yang kemudian “ditebus” oleh mitra tutur melalui proses inferensial yang cerdas dan terasah secara sosial.

Berikut ini mekanisme inferensial yang dijelaskan Grice.

  1. Penutur mengatakan sesuatu yang tampak melanggar maksim.
  2. Mitra tutur menyadari pelanggaran itu, tetapi tetap mengasumsikan bahwa penutur bersikap kooperatif.
  3. Karena itu, mitra tutur terdorong untuk mencari makna tersirat dengan prinsip kerja sama.
  4. Makna tersirat itulah yang disebut sebagai implikatur percakapan.

5.2.1. Penutur Mengucapkan Sesuatu yang Secara Literal Tampak Melanggar Maksim

Pengabaian dimulai ketika penutur secara sadar mengatakan sesuatu yang secara permukaan tidak sesuai dengan harapan komunikatif, misalnya:

  • terlalu sedikit informasi (melanggar maksim kuantitas),
  • ucapan yang jelas-jelas tidak benar (melanggar maksim kualitas),
  • ucapan yang tampaknya tidak relevan (melanggar maksim relevansi),
  • kalimat yang kabur, ambigu, atau bertele-tele (melanggar maksim cara).

Contoh:

(63)
A: “Kamu mau datang ke ulang tahun Rani?”
B: “Besok aku harus bangun pagi.”

Secara literal, jawaban B tidak menjawab pertanyaan. Tampak melanggar maksim relevansi.

5.2.2. Mitra Tutur Tetap Mengasumsikan Bahwa Penutur Kooperatif

Alih-alih langsung menganggap B “tidak nyambung” atau “tidak mau jawab,” A — sebagai mitra tutur yang rasional — mengaktifkan Prinsip Kerja Sama: “Oh, pasti dia tetap bermaksud menjawab, hanya saja tidak secara langsung.”

Inilah titik awal munculnya inferensi pragmatik. Kita tidak langsung menolak keanehan dalam tuturan, tapi berusaha memahami asumsi bahwa penutur tetap kooperatif.

5.2.3. Mitra Tutur Terdorong Mencari Makna Tersirat yang Menjelaskan Pengabaian Tersebut

Karena ucapan B tampaknya tidak relevan, A mulai bertanya-tanya:

“Kenapa dia tidak langsung bilang ‘iya’ atau ‘tidak’?”
“Kenapa dia malah ngomong soal bangun pagi?”

Dari sini, mitra tutur melakukan inferensi kontekstual, menggabungkan informasi dunia nyata, pengetahuan bersama (common ground), dan logika percakapan:

  • Kalau seseorang harus bangun pagi, dia mungkin tidak ingin begadang atau pulang larut.
  • Ulang tahun biasanya berlangsung malam.
  • Oleh karena itu, besar kemungkinan dia menolak ajakan itu.

5.2.4. Makna yang Diinferensikan Itulah yang Disebut Implikatur Percakapan

Dalam contoh di atas, implikatur dari kalimat “Besok aku harus bangun pagi” adalah:
“Aku tidak akan datang ke ulang tahun Rani.”

Namun, B tidak menyatakan itu secara eksplisit. Justru pengabaian maksim hubungan yang mencolok itulah yang memicu munculnya makna implisit ini.

6. Penutup: Implikatur dalam Fungsi Sosial (Antara Ketegasan dan Kehalusan)

Salah satu alasan mengapa implikatur begitu penting dalam komunikasi sehari-hari adalah karena ia memungkinkan penutur untuk menyampaikan makna secara tidak langsung—dan karenanya, lebih halus, tidak frontal, dan tidak mudah dibantah secara eksplisit. Hal ini memberi keuntungan strategis dalam berbagai konteks sosial.

Implikatur memainkan peran penting dalam menjaga kehalusan dan keharmonisan komunikasi interpersonal, khususnya dalam situasi sosial yang sensitif. Melalui implikatur, penutur dapat menyampaikan maksud yang sebenarnya tanpa harus mengungkapkannya secara eksplisit. 

Salah satu contohnya terlihat dalam strategi menyampaikan kritik secara halus. Alih-alih mengatakan “Kamu tidak cocok jadi pemimpin”—yang berpotensi menyinggung lawan bicara—seorang penutur bisa memilih ungkapan seperti, “Kamu terlalu jujur untuk dunia politik.” 

Meskipun makna yang dimaksud tetap tersampaikan, yaitu bahwa lawan bicara dianggap tidak cocok menjadi politisi, bentuk penyampaiannya terasa lebih diplomatis dan tidak mudah dibantah secara langsung.

Dalam konteks penolakan, implikatur juga memungkinkan penutur untuk menjaga kesopanan. Misalnya, ketika seseorang mengajak makan siang dengan berkata, “Mau makan siang bareng?”, respons seperti “Aku sudah makan, kok” akan menyiratkan penolakan tanpa perlu secara eksplisit mengucapkan kata “tidak”. Dengan demikian, maksudnya tetap sampai, tetapi hubungan sosial tetap terjaga karena tidak menimbulkan kesan penolakan yang keras.

Implikatur pun sering digunakan sebagai sarana menyindir tanpa menuduh langsung. Sebuah komentar seperti, “Wah, meja ini bersih banget... kayak belum pernah dipakai kerja,” mungkin terdengar seperti pujian pada permukaan, tetapi sebenarnya menyiratkan bahwa orang yang bersangkutan malas atau tidak produktif. Makna tersirat ini bekerja secara implisit dan tidak diucapkan secara lugas, sehingga penutur dapat menghindari tuduhan konfrontatif.

Selain itu, implikatur juga berperan dalam menjaga muka dan memperkuat hubungan sosial. Karena makna yang disampaikan tidak langsung, respons negatif dari mitra tutur dapat dengan mudah dinetralisasi. Penutur masih memiliki ruang untuk mundur dari makna tersirat yang ditangkap mitra tutur, misalnya dengan mengatakan, “Lho, aku tidak bilang begitu kok. Mungkin kamu salah paham.” Kemampuan untuk menghindari tanggung jawab penuh atas makna tersirat ini dikenal dalam pragmatik sebagai deniability, yaitu fitur komunikasi yang memberi celah bagi penutur untuk berdalih atau melindungi diri dari dampak sosial yang tidak diinginkan.

Dengan demikian, implikatur bukan hanya alat linguistik untuk menyampaikan makna, melainkan juga strategi sosial yang memungkinkan komunikasi berjalan lebih lembut, adaptif, dan efisien dalam menjaga relasi antarmanusia.

Jadi, implikatur bukan hanya mekanisme inferensi dalam bahasa, tetapi juga seni berstrategi dalam komunikasi yang memungkinkan penutur untuk:

  • menyampaikan makna dengan sopan;
  • menjaga harmoni sosial;
  • menghindari konflik langsung; dan
  • menyiratkan hal-hal sensitif dengan elegan.

Memahami sisi sosial implikatur ini penting agar kita tidak hanya paham teori, tetapi juga bisa membaca strategi bahasa dalam praktik kehidupan nyata.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Tentang Penulis