inferensi dalam pragmatik

Dalam kehidupan sehari-hari, ketika seseorang menerima sebuah tuturan dari mitra bicaranya, secara otomatis dia melakukan proses interpretasi yang disebut inferensi. Inferensi dalam pragmatik merupakan langkah kognitif yang diambil untuk memahami pesan, baik yang tersurat maupun tersirat, dari setiap tuturan yang diterima. Tanpa proses inferensi, komunikasi menjadi kaku, ambigu, dan rentan terjadi kesalahpahaman.

Misalnya, ketika seseorang mengatakan, “Ani sedang di toko buku Pustaka,” penerima tuturan tersebut secara alami mungkin menyimpulkan bahwa Ani sedang membeli buku. 

Namun, jika kemudian ada informasi tambahan, “Toko itu adalah tempat kerja paruh waktu ketiga untuk Ani tahun ini,” inferensi penerima tutur langsung berubah. Sekarang pendengar menyadari bahwa Ani mungkin tidak sedang membeli buku, melainkan sedang bekerja di toko buku itu. 

Proses mental yang spontan dan dinamis ini disebut inferensi—sebuah mekanisme pragmatik yang sangat penting dalam memahami komunikasi sehari-hari.

Dalam artikel ini, kita akan mengulas lebih dalam tentang inferensi dalam pragmatik, mulai dari definisi, ciri-ciri khususnya, hingga bagaimana inferensi berhubungan dengan jenis penyimpulan lain seperti implikatur dan entailmen. 

Tak hanya itu, kita juga akan melihat bagaimana inferensi dimanfaatkan secara kreatif untuk menciptakan humor dalam percakapan sehari-hari. Mari kita mulai memahami bagaimana pikiran kita bekerja menangkap pesan di balik setiap tuturan!

Definisi Inferensi

Secara etimologis, kata inferensi berakar dari bahasa Latin inferre yang berarti ‘membawa ke dalam’ atau ‘mengantarkan masuk (bringing in)’. Dengan demikian, inferensi dapat dimaknai sebagai proses membawa atau mengantarkan informasi tambahan ke dalam pemahaman seseorang terhadap suatu tuturan atau wacana.

Dalam konteks pragmatik, inferensi adalah proses interpretasi atau penyimpulan yang dilakukan seseorang untuk memperoleh makna implisit atau tambahan dari sebuah tuturan berdasarkan konteks serta pengetahuan yang dimiliki sebelumnya. 

Inferensi tidak hanya melibatkan pemahaman terhadap apa yang eksplisit disampaikan oleh penutur, tetapi juga melibatkan penggalian makna lebih dalam yang tidak langsung disebutkan secara verbal.

Inferensi digunakan oleh penerima tutur untuk mengembangkan atau memperluas informasi eksplisit dari tuturan atau teks. Dalam hal ini, pendengar secara kreatif mengisi “celah-celah makna” dengan pengetahuan latar belakang, asumsi kontekstual, atau pengalaman personal, sehingga tercipta pemahaman yang lebih utuh dan mendalam.

Brown dan Yule (1983) menyoroti bahwa inferensi dalam analisis wacana adalah proses yang diperlukan karena pendengar tidak memiliki akses langsung pada makna yang dimaksudkan oleh penutur. 

Inferensi dalam pragmatik dan analisis wacana, menurut mereka, bersifat tidak formal, longgar, dan bergantung erat pada konteks sosial-budaya. Sebagai contoh, ketika seseorang mendengar kalimat, “Di dapur ada lemari besar dan ketika seseorang masuk, topi dan mantel semuanya ditumpuk begitu saja di lemari tersebut,” penerima tuturan itu secara spontan membuat inferensi bahwa mantel dan topi tersebut milik tamu-tamu yang baru datang ke rumah tersebut. Namun, inferensi ini belum tentu benar walaupun merupakan pilihan inferensi yang paling masuk akal secara sosial dan budaya.

Inferensi Perlu dan Inferensi Mungkin

Renkema (2004) lebih lanjut menjelaskan inferensi sebagai istilah umum untuk segala informasi implisit yang bisa disimpulkan dari suatu wacana. Dia membedakan inferensi berdasarkan tingkat “keharusan” menjadi inferensi perlu (necessary inference) dan inferensi mungkin (possible inference). 

Inferensi perlu adalah inferensi yang wajib dibuat agar sebuah tuturan atau wacana masuk akal. Sebagai contoh, ketika seseorang berkata, “Suami yang marah membanting vas porselen ke dinding. Ia harus membayar 100 dolar lebih untuk menggantinya,” inferensi bahwa vas itu pecah harus dibuat agar kalimat tersebut logis. 

Sebaliknya, dalam kalimat, “Suami yang marah membanting vas porselen ke dinding. Ia sudah marah berhari-hari, tetapi menolak mencari bantuan,” inferensi bahwa vas itu pecah bersifat mungkin (possible inference).

Inferensi ke Depan dan Inferensi ke Belakang

Selain itu, Renkema membagi inferensi berdasarkan arah pemahamannya menjadi inferensi ke depan (forward inference atau elaboratif) dan inferensi ke belakang (backward inference atau bridging). 

Inferensi ke depan dilakukan secara spontan ketika informasi pertama kali didengar atau dibaca, sementara inferensi ke belakang muncul setelah munculnya informasi tambahan yang memerlukan klarifikasi atau pengaitan dengan informasi sebelumnya.

Dalam contoh tuturan,”Ani sedang di toko buku Pustaka. Toko itu adalah tempat kerja paruh waktu ketiga untuk Ani tahun ini,” inferensi spontan setelah mendengar kalimat pertama yang menyatakan Ani sedang membeli buku adalah inferensi ke depan.

Sementara itu, inferensi baru yang muncul setelah mendengar kalimat kedua yang menyatakan bahwa Ani bekerja di toko buku adalah inferensi ke belakang.

Dengan demikian, inferensi dalam pragmatik adalah proses mental yang sangat kompleks, dinamis, fleksibel, serta didasarkan pada konteks, pengalaman pribadi, pengetahuan umum, dan asumsi budaya. Pemahaman inferensi menjadi penting agar komunikasi sehari-hari berjalan efektif dan makna dari setiap tuturan bisa ditangkap secara utuh oleh pendengar.

Ciri-ciri Inferensi dalam Pragmatik

Untuk memahami lebih jauh mengenai inferensi dalam pragmatik, kita perlu mengenali ciri-ciri khusus yang dimiliki oleh proses inferensi ini. Sekurang-kurangnya, ada empat ciri utama, yaitu bahwa inferensi merupakan proses kognitif, bersifat konstruktif dan kreatif, bergantung pada konteks, dan bersifat tidak pasti atau dapat berubah.

Misalnya, saat seseorang mendengar kalimat, “Joni baru saja berangkat ke kampus,” penerima tutur mungkin dalam kognisinya bisa secara konstruktif dan kreatif menyimpulkan bahwa Joni adalah seorang mahasiswa berdasarkan pengetahuan umum bahwa yang biasanya pergi ke kampus adalah mahasiswa. 

Namun, ketika ditambahkan informasi baru bahwa, “Kemarin dia memarahi mahasiswanya yang ketahuan menyontek ketika ujian,” inferensi penerima tutur segera berubah. Informasi tambahan ini membuat penerima tutur menyadari bahwa Joni adalah seorang dosen, bukan mahasiswa. 

Contoh ini menunjukkan dengan jelas bagaimana inferensi merupakan proses kognitif, bersifat konstruktif dan kreatif, bergantung pada konteks, dan tidak selalu pasti benar, karena dapat berubah berdasarkan informasi tambahan yang diperoleh.

Inferensi adalah Proses Kognitif

Sebagai proses kognitif, inferensi berlangsung dalam pikiran manusia. Setiap kali menerima tuturan, seseorang secara otomatis mengolah informasi tersebut secara mental untuk mendapatkan makna tambahan atau implisit. 

Ketika penerima tutur mendengar kalimat, “Joni baru saja berangkat ke kampus,” secara otomatis pikirannya mulai mengolah informasi tersebut untuk mendapatkan makna tambahan. Proses ini spontan dan sering kali tanpa disadari.

Inferensi Bersifat Konstruktif atau Kreatif

Inferensi melibatkan proses konstruksi mental yang melampaui sekadar logika formal. Penerima tutur menggunakan kreativitas, imajinasi, serta pengalaman pribadi dalam membangun pemahaman yang lebih utuh dan kaya terhadap tuturan yang diterima.

Inferensi menghasilkan informasi tambahan yang tidak secara eksplisit disampaikan oleh penutur. Penerima tutur harus menggunakan pengetahuan pribadi atau kontekstual untuk mengisi celah makna yang tidak terucapkan secara verbal.

Misalnya, ketika mendengar kalimat, “Joni baru saja berangkat ke kampus,” secara konstruktif dan kreatif,  penerima tutur mengembangkan tuturan itu dengan informasi bahwa Joni adalah seorang mahasiswa untuk untuk mengisi celah makna yang tidak terucapkan secara verbal tersebut.

Namun, setelah mendengar tambahan tuturan, “Kemarin dia memarahi mahasiswanya yang ketahuan menyontek ketika ujian,” penerima tutur pun kreatif dalam menyesuaikan pemahaman awalnya sehingga terbentuk pemahaman baru bahwa Joni adalah dosen.

Inferensi Bergantung pada Konteks

Konteks tuturan memainkan peran penting dalam proses inferensi. Makna sebuah ucapan bisa sangat bergantung pada situasi atau kondisi saat ucapan itu disampaikan. Sebuah kalimat yang sama dapat menghasilkan inferensi yang berbeda jika disampaikan dalam konteks yang berbeda.

Dalam melakukan inferensi, seseorang memanfaatkan pengetahuan yang telah dimilikinya sebelumnya sebagai konteks, baik berupa pengalaman pribadi maupun informasi sosial dan budaya yang umum dikenal. Pengetahuan ini menjadi dasar dalam melakukan interpretasi atau penyimpulan terhadap tuturan yang didengar.

Informasi awal bahwa Joni berangkat ke kampus memanfaatkan pengetahuan umum bahwa yang pergi ke kampus biasanya mahasiswa, yang kemudian berubah menjadi pengetahuan tentang dosen berdasarkan konteks tambahan.

Inferensi Tidak Selalu Pasti Benar

Karena sifatnya yang interpretatif, inferensi tidak selalu pasti benar. Kesimpulan yang dihasilkan dari inferensi dapat berubah apabila muncul informasi tambahan yang bertentangan atau melengkapi informasi sebelumnya.

Melalui karakteristik ini, inferensi membantu penerima tutur menciptakan pemahaman yang lebih kaya, koheren, dan utuh dalam komunikasi sehari-hari.

Inferensi awal bahwa Joni adalah mahasiswa langsung berubah ketika ada informasi tambahan yang melengkapi atau bertentangan dengan informasi sebelumnya.

Relasi Inferensi dengan Penyimpulan Lain: Implikatur dan Entailmen

Inferensi menjadi dasar bagi berbagai jenis penyimpulan lain dalam pragmatik, seperti implikatur dan entailmen. Ini berarti proses inferensi sering kali menjadi langkah awal sebelum seseorang membuat penyimpulan lain yang lebih formal atau pragmatis. Berikut adalah penjelasan lebih rinci mengenai peran inferensi dalam dua bentuk penyimpulan tersebut.

1. Inferensi sebagai Dasar Implikatur

Implikatur merupakan penyimpulan logis pragmatik yang didasarkan pada konteks percakapan. Sebelum menarik implikatur, pendengar melakukan inferensi awal mengenai maksud atau tujuan dari tuturan penutur. 

Misalnya, ketika seseorang mengatakan, “Ruangan ini gelap sekali,” pendengar secara spontan menginferensikan bahwa penutur mungkin membutuhkan penerangan tambahan. Inferensi ke depan ini kemudian menjadi dasar bagi implikatur bahwa tuturan tersebut merupakan permintaan secara tidak langsung untuk menyalakan lampu.

2. Inferensi sebagai Dasar Entailmen

Entailmen adalah hubungan mutlak antarpernyataan yang menyatakan bahwa kebenaran satu pernyataan secara otomatis menjamin kebenaran pernyataan lainnya. Sebelum memastikan hubungan entailmen antarpernyataan, penerima tutur harus melakukan inferensi ke depan untuk mengidentifikasi dan memastikan hubungan mutlak tersebut. 

Misalnya, kalimat “Budi membeli apel” secara otomatis mengentailmen “Budi membeli buah,” karena apel termasuk dalam kategori buah. Inferensi mengenai kategori ini menjadi dasar bagi hubungan entailmen.

Pemanfaatan Inferensi untuk Menciptakan Wacana Humor

Inferensi tidak hanya berguna dalam komunikasi sehari-hari untuk memahami pesan secara serius, tetapi juga sering digunakan secara kreatif untuk menciptakan efek humor dalam berbagai jenis wacana. 

Humor sering kali muncul ketika terjadi perbedaan mencolok antara inferensi awal yang dibuat mitra tutur dengan informasi tambahan atau punchline yang muncul kemudian. Dengan kata lain, humor terjadi karena adanya proses inferensi yang sengaja dipatahkan oleh penutur.

Dalam wacana humor, inferensi berperan penting dalam menciptakan efek kejutan dan lucu. Berikut ini contoh penggunaannya dalam dua jenis wacana humor: monolog dan dialog.

Inferensi dalam Humor Berbentuk Monolog 

Dalam humor jenis ini, penutur sengaja membuat pendengar melakukan inferensi tertentu melalui kalimat awal (set up), kemudian tiba-tiba mematahkan inferensi tersebut di akhir kalimat (punchline). Contohnya adalah joke sederhana berikut ini:

“Kakekku meninggal dengan tenang saat dia tidur. Tetapi para penumpang dalam bus menjadi panik dan berteriak-teriak.”

Ketika mendengar bagian awal joke tersebut, penerima tutur diharapkan segera menginferensikan bahwa sang kakek meninggal secara alami dan tenang di tempat tidurnya. 

Namun, punchline mematahkan inferensi ini dengan menyatakan bahwa sang kakek ternyata meninggal dalam situasi yang berbeda, yaitu di dalam bus yang sedang berjalan dan ternyata sang kakek adalah sopirnya. Efek lucu muncul akibat perbedaan drastis antara inferensi ke depan dan inferensi ke belakang.

Inferensi dalam Humor Berbentuk Dialog

Selain dalam monolog, inferensi juga efektif digunakan dalam wacana humor berbentuk dialog. Dalam dialog humor, humor muncul karena terjadinya kesalahpahaman akibat pelanggaran prinsip kerja sama dalam komunikasi yang menimbulkan inferensi keliru.

Selain dalam monolog, inferensi juga efektif digunakan dalam wacana humor berbentuk dialog. Dalam dialog humor, humor muncul karena terjadinya kesalahpahaman akibat pelanggaran prinsip kerja sama dalam komunikasi yang menimbulkan inferensi keliru.

Misalnya dalam dialog lucu berikut ini:

Konteks: Warung makan, Ali selesai makan lalu menuju kasir untuk membayar.

Ali: [Sambil menyerahkan uang 20 ribu] “Ini mas. Pesanan atas nama Ali ya.”
Kasir: “Wah nggak ada kembalian nih.”
Ali: “Loh, emang habisnya berapa mas?”
Kasir: “20 ribu.”
Ali: “Lah, kan uang saya 20 ribu juga.”
Kasir: “Iya, makanya nggak ada kembalian. Coba tadi mas Ali ngasih saya 50 ribu. Pasti sekarang ada kembalian 30 ribu.”
Ali: [Dengan muka agak kesal] “Terserahlah mas. Sakarepmu.”

Ketika mendengar tuturan kasir “Wah nggak ada kembalian nih.”, Ali langsung membangun beberapa inferensi:

  • Harga makanannya kurang dari 20 ribu.
  • Kasir kehabisan uang kecil untuk kembalian.
  • Ali perlu menerima uang kembali dari kasir.

Karena inferensi ini, Ali secara refleks bertanya, “Loh, emang habisnya berapa mas?” untuk mengklarifikasi inferensi-inferensinya tersebut. Namun, ternyata kasir sengaja mengecoh Ali dengan inferensi baru, yaitu Ali membayar dengan uang pas. 

Dalam dialog ini, humor tercipta karena kasir sengaja membuat Ali membangun inferensi awal yang keliru untuk kemudian mengejutkannya dengan inferensi baru yang tidak diduga. Kesalahpahaman akibat inferensi yang keliru ini menciptakan situasi lucu, karena bertentangan dengan logika umum dalam transaksi jual beli sehari-hari.

Langkah-Langkah Penciptaan Humor melalui Inferensi

Untuk menciptakan humor dengan memanfaatkan inferensi dalam pragmatik, penutur dapat mengikuti langkah-langkah berikut.

1. Membuat Tuturan yang Mengandung Unsur yang Dapat Dielaborasikan

Penutur harus membuat tuturan yang membuka kemungkinan elaboratif bagi penerima tutur, misalnya kalimat sederhana berikut: “Kakekku meninggal dengan tenang saat dia tidur.” 

Tuturan tersebut mengandung “celah-celah” yang dapat diisi dengan mengelaborasi beberapa aspek seperti tempat dan keadaan meninggalnya sang kakek.

2. Memprediksi Inferensi ke Depan Apa Saja yang Mungkin Diinterpretasikan Mitra Tutur dan Menentukan Mana yang Akan Ditargetkan 

Dari kalimat di atas, mitra tutur mungkin menginferensikan hal-hal berikut:

  • membayangkan bahwa kematian tersebut terjadi di rumah.
  • membayangkan situasi tidur malam atau tidur siang dalam suasana yang damai.
  • menyimpulkan bahwa tidak ada orang lain terganggu atau terlibat dalam kejadian tersebut.
  • membayangkan tidak ada dampak langsung kepada orang lain.

Intinya, sang kakek meninggal secara alami di tempat tidurnya yang nyaman.

Penutur memilih untuk mengeksploitasi inferensi ke depan yang paling umum atau paling kuat di antara mitra tutur, yaitu bahwa sang kakek meninggal secara damai di tempat tidurnya di rumah.

3. Memberikan Inferensi ke Belakang yang Tidak Diduga Mitra Tutur

Penutur kemudian merancang inferensi ke belakang yang tidak terduga, yaitu bahwa kakek meninggal di situasi berbeda yang bertolak belakang dengan inferensi ke depan.

4. Membuat Tuturan yang Mengandung Inferensi ke Belakang Tersebut

Penutur melanjutkan tuturan awal dengan kalimat: “Tetapi para penumpang dalam bus menjadi panik dan berteriak-teriak.”

Dengan langkah ini, penutur berhasil menciptakan humor melalui pematahan inferensi ke depan penerima tutur, menghasilkan efek lucu karena adanya kejutan antara ekspektasi awal dan realitas baru yang tak terduga.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *