pragmatik dalam linguistik

Pragmatik adalah cabang linguistik yang mengkaji keterkaitan struktur bahasa dengan penggunaannya dalam komunikasi. Berikut dipaparkan hakikat pragmatik dalam linguistik yang meliputi pengertian, tujuan, hasil, dan manfaatnya.

Baca juga: Cabang-Cabang Linguistik

Kata pragmatik dalam bahasa Indonesia merupakan serapan dari kata pragmatics dalam bahasa Inggris. Pragmatics sendiri diadaptasi dari kata pragmatikos dalam bahasa Yunani yang berarti ‘berkaitan dengan fakta’.

Kata pragmatikos berasal dari bentuk pragma yang berarti ‘perbuatan’ dan berakar dari prattein yang berarti ‘berbuat’ atau ‘melakukan’ (Online English Oxford Living Dictionary. t.t.).

Menurut Charles Morris (1938: 6), pragmatik merupakan salah satu cabang semiotika—ilmu yang mengkaji tanda—selain semantik dan sintaksis.

Semantik mengkaji hubungan antara tanda dengan maknanya. Sintaksis mempelajari hubungan tanda yang satu dengan tanda yang lain. sementara itu, pragmatik membahas hubungan antara tanda dengan penggunaannya.

Berkaitan dengan pemahaman tersebut, dalam linguistik, pragmatik merupakan cabang linguistik yang mengkaji penggunaan bahasa (language in use).

Sesuatu yang dapat digunakan mengandaikan memiliki fungsi. Artinya pragmatik juga membahas bahasa yang memiliki fungsi untuk menyampaikan suatu tujuan.

Oleh karena itu, pragmatik memandang suatu penggunaan bahasa selalu berorientasi pada tujuan (Leech, 1993: 20).

Bahasa yang digunakan juga berarti bahasa tersebut berkaitan dengan aspek-aspek di luar bahasa seperti penggunanya, penerimanya, dan situasi yang melingkupinya.

Hal tersebut kemudian dikenal dengan sebutan konteks. Oleh sebab itu, pragmatik dikenal pula sebagai cabang linguistik yang mengkaji bahasa yang terikat dengan konteks.

Pragmatik lahir sebagai ketidakpuasan para ahli bahasa terhadap perkembangan linguistik pada tahun 1960an, yaitu tata bahasa transformasi yang dipelopori oleh Chomsky.

Pada masa itu, linguistik dianggap seperti ilmu pasti atau eksakta. Satuan kebahasaan yang diteliti dan “diagung-agungkan” adalah kalimat. Makna—apalagi makna yang terikat konteks—kurang diperhatikan pada masa itu (periksa Leech, 1993: 1—3).

Ketidakpuasan tersebut seperti mendapat dukungan dari para ahli filsafat seperti Wittgenstein, Austin, Searle, dan Grice.

Wittgenstein berpendapat bahwa jika ingin memahami makna bahasa, lihatlah pada penggunaannya (Lyons, 1995).

Austin (1962) dalam karyanya yang terkenal berjudul How to Do Things with Words mengenalkan konsep tentang tindak tutur (speech act) yang kemudian dilanjutkan oleh Searle (1969) yang merumuskan jenis-jenis ilokusi.

Grice (1975) kemudian melengkapinya dengan mengenalkan konsep implikatur dan prinsip kerja sama.

Para linguis akhirnya meneruskan pemikiran-pemikiran ahli filsafat tersebut dan menerbitkan banyak buku tentang pragmatik.

Misalnya, Leech (1983) menulis The Principles of Pragmatics dan Yule (1996) menulis Pragmatics.

Di Indonesia Kaswanti Purwo (1990) menulis Pragmatik dan Pengajaran Bahasa: Menyibak Kurikulum 1984 dan Wijana (1996) menulis Dasar-Dasar Pragmatik.

Posisi pragmatik dalam linguistik

Pragmatik dalam linguistik dapat ditunjukkan dalam gambar berikut.

Posisi Pragmatik dalam Linguistik

Berdasarkan gambar di atas, pragmatik merupakan salah satu cabang linguistik yang bersifat makro. Artinya, pragmatik mengkaji bahasa secara eksternal.

Dalam gambar di atas tampak juga bahwa pragmatik merupakan cabang linguistik interdisipliner.

Menurut Fraser (1983: 30), pragmatik disebut sebagai linguistik komunikasi.

Dengan demikian pragmatik dapat disebut sebagai cabang linguistik yang bersinggungan dengan ilmu komunikasi.

Kajian pragmatik berbeda dengan kajian linguistik mikro seperti sintaksis dan semantik.

Sintaksis (dan juga morfologi sebagai bagian dari linguistik struktural) mengkaji bentuk bahasa.

Semantik menelaah makna bahasa. Sementara itu, pragmatik membahas penggunaan bahasa. 

Pragmatik dan linguistik struktural

Linguistik struktural dipelopori oleh Saussure melalui catatan kuliah yang diterbitkan murid-muridnya.

Dalam buku tersebut dijelaskan bahwa ada dikotomi antara langue dan parole. Langue merupakan sistem bahasa tertentu.

Langue inilah yang dikaitkan dengan fakta sosial buah pemikiran Emile Durkeim. Sementara itu, parole merupakan realiasi bahasa perorangan.

Menurut Saussure, linguistik hanya mengkaji langue. Parole dianggap terlalu sulit untuk diteliti secara linguistis (Leech, 1993).

Hal tersebut dapat dipahami mengingat Saussure menginginkan linguistik sebagai ilmu yang otonom.

Sebelumnya, pada era Tata Bahasa Tradisional, linguistik dipandang sebagai bagian dari filsafat dengan mengkaji perilaku kata yang kemudian melahirkan konsep tentang kelas kata.

Setelah itu, linguistik terpengaruh biologi yang mengkaji asal-usul makhluk hidup melalui teori evolusi.

Lahirlah aliran Linguistik Historis Komparatif yang mencoba menemukan kekerabatan antarbahasa dan bahasa proto.

Saussure melihat dua hal tersebut bukanlah linguistik secara otonom.

Linguistik harus mengkaji bahasa sebagai objek kajiannya, bukan dari segi perilakunya seperti Tata Bahasa Tradisional, bukan pula dari segi perubahanya seperti Linguistik Historis Komparatif.

Linguistik mengkaji bahasa sebagai bahasa, bahasa sebagai sebuah sistem yang otonom sehingga melahirkan Linguistik Struktural.

Pemikiran Saussure merupakan pintu baru bagi linguistik.

Namun, teori Saussure ini akhirnya berkembang secara kaku dan berpuncak pada Tata Bahasa Transformasi buah pemikiran Chomsky.

Linguistik struktural benar-benar hanya mengkaji struktur bahasa tanpa melihat aspek lain di luar struktur tersebut.

Pragmatik berbeda dengan linguistik struktural. Perbedaannya terletak pada cara mengkaji bahasa.

Pragmatik mengkaji bahasa dari segi eksternal, yaitu maksud; sedangkan linguistik struktural mengkaji bahasa dari segi internal, yaitu bentuk dan struktur.

Dengan kata lain, pragmatik mengkaji bagaimana bahasa digunakan; linguistik struktural mengkaji bagaimana bahasa itu dibentuk (Parker, 1986: 11).

Misalnya, tuturan berupa kalimat Adi menendang bola dan Bola ditendang Adi menurut kajian sintaksis dipandang sebagai satuan gramatikal yang memiliki bentuk berbeda.

Kalimat pertama berbentuk kalimat aktif dengan pola S-P-O dan kalimat kedua berbentuk kalimat pasif dengan pola S-P-PEL.

Sementara itu, dalam pragmatik, kedua kalimat tersebut ditelaah dari segi fungsinya.

Kalimat pertama digunakan untuk menonjolkan pelaku (Adi), sedangkan kalimat kedua digunakan untuk menonjolkan sasaran (bola).

Pragmatik dan semantik

Pragmatik sering dicampuradukkan dengan semantik karena keduanya dianggap sama-sama mengkaji makna bahasa, padahal keduanya berbeda.

Perbedaannya terletak pada pelibatan konteks ketika menelaah makna bahasa.

Pragmatik mengkaji makna bahasa yang terikat konteks; sedangkan semantik  mengkaji makna bahasa yang bebas konteks.

Leech (1993: 8) menyebutkan dalam semantik akan dikatakan, “What does x mean?”.

Sementara itu, dalam pragmatik akan dikatakan, “What do you mean by x?”.

Sebagai contoh, seorang ibu berkata kepada anaknya “Kamarmu rapi sekali.”

Pada kenyataannya, kamar anaknya berantakan. Dalam kasus tersebut, kata rapi oleh semantik diartikan sebagai keadaan yang teratur.

Sementara itu, pragmatik melibatkan konteks untuk mengartikan kata rapi dalam tuturan tersebut sehingga rapi diartikan sebagai keadaan tidak teratur.

Pragmatik dan analisis wacana

Objek kajian pragmatik adalah satuan kebahasaan berupa wacana. Dalam linguistik wacana dapat dipandang dari tiga pendekatan analisis wacana, yaitu analisis wacana formal, analisis wacana sosiologis empiris, dan analisis wacana kritis (Subagyo, 2009).

Analisis wacana formal

Analisis wacana formal memandang wacana sebagai satuan kebahasaan terbesar. Tata bahasa transformatif yang dicetuskan Chomsky hanya melihat kalimat sebagai satuan kebahasaan tertinggi.

Hal tersebut menimbulkan ketidakpuasan para linguis lain yang memandang bahwa di atas kalimat masih ada satuan kebahasaan yang lebih besar.

Hal tersebut terlacak dari munculnya tulisan-tulisan tentang wacana (discourse) seperti Harris (1952) melalui karya berjudul “Discourse Analysis”.

Analisis wacana formal masih bersifat struktural. Artinya, pendekatan ini menguraikan wacana dari segi struktur dan hubungan antarkomponen dalam struktur tersebut.

Pendekatan ini pun sering disebut hypersyntax, macrosyntax, atau text syntax.

Dengan demikian hal yang dikaji dalam analisis wacana formal meliputi struktur wacana, topik wacana, kohesi dan koherensi antar komponen dalam struktur wacana, status informasi dalam wacana, dan urgensi informasi dalam wacana (Baryadi, 2002).

Analisis wacana sosiologis empiris

Analisis wacana dengan pendekatan sosiologis empiris memandang wacana sebagai bahasa yang digunakan (language in use). Wacana dalam pendekatan ini terikat dengan konteks.

Dengan demikian wacana tidak harus berupa kumpulan kalimat seperti dalam pendekatan formal. Satu kata saja asalkan memiliki konteks yang jelas sudah dapat dikatakan sebagai sebuah wacana.

Oleh karena itu, dibedakanlah konsep antara kalimat dengan tuturan. Kalimat merupakan maujud abstrak yang tersimpan dalam pikiran manusia.

Dalam konsep Saussure kalimat merupakan langue atau fakta sosial.

Sementara itu, tuturan merupakan maujud konkret yang benar-benar terjadi atau terealisasi dalam komunikasi.

Dalam konsep Saussure, tuturan merupakan parole atau wujud nyata bahasa secara perorangan.

Karena terjadi dalam komunikasi, tuturan terikat konteks, sementara kalimat bebas konteks dan dikaji dalam sintaksis.

Sebagai contoh, dengan memahami konteks akan diketahui bahwa ketiga tuturan berikut mungkin memiliki maksud yang sama.

  • Budi, kapurnya habis.
  • Budi, bisakah kamu mengambil kapur?
  • Budi, ambilkan kapur!

Analisis wacana dengan pendekatan sosiologis empiris akhirnya melahirkan cabang linguistik pragmatik dan sosiolinguistik.

Banyak ahli linguistik yang akhirnya menggabungkan kajian pragmatik dan sosiolinguistik dalam satu wadah bernama sosiopragmatik.

Walaupun demikian, keduanya tetap bisa dibedakan berdasarkan penekanannya.

Pragmatik menekankan maksud dari suatu penggunaan bahasa; sedangkan sosiolinguistik menekankan variasi dari suatu penggunaan bahasa.

Analisis wacana kritis

Pendekatan ketiga adalah analisis wacana kritis. Analisis wacana kritis merupakan lanjutan dari analisis wacana dengan pendekatan sosiologis empiris.

Analisis wacana dengan pendekatan sosiologis empiris memandang wacana dengan paradigma konstruktivisme yang memandang analisis wacana sebagai pisau bedah untuk menelaah maksud-maksud tersembunyi di balik penggunaan bahasa (Eriyanto, 2001: 5).

Sementara itu, analisis wacana kritis lebih sensitif daripada itu. Analisis wacana kritis memandang analisis wacana sebagai tindakan sosial (social practice) yang mampu memengaruhi tatanan sosial secara tidak seimbang seperti memarginalkan pihak tertentu (Fairclough, 1995).

Analisis wacana kritis memandang sebuah wacana sebagai sarana yang melibatkan kekuasaan untuk menciptakan ketidaksetaraan sosial.

Pengertian wacana menurut tiga pendekatan analisis

Pengertian wacana dengan ketiga sudut pandang di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut.

 FORMALSOSIO-EMPIRISKRITIS
WACANASatuan gramatikal terbesar. 
Satuan gramatikal di atas kalimat.
Satuan gramatikal yang terdiri atas dua kalimat atau lebih.
Language in use.
Penggunaan bahasa.
Bahasa yang terikat konteks.
Social practice.
Tindakan sosial.
Penggunaan bahasa yang mengandung ideologi/ melibatkan kekuasaan. 

Ruang lingkup, tujuan, hasil, dan manfaat pragmatik

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa ruang lingkup pragmatik meliputi fungsi komunikatif bahasa, konteks pemakaian bahasa, tindak berbahasa, dan makna kontekstual bahasa.

Berikut dijabarkan satu per satu ruang lingkup pragmatik tersebut.

Fungsi komunikatif bahasa berkaitan dengan konsep bahasa yang digunakan (language in use). Sesuatu yang bisa digunakan diandaikan memiliki fungsi.

Demikian pula dengan bahasa. Bahasa yang digunakan dalam komunikasi mengemban berbagai macam fungsi.

Pembahasan tentang fungsi bahasa membuka khazanah baru dalam linguistik yang sebelumnya beraliran struktural menjadi fungsional.

Kajian fungsionalisme dalam linguistik mengaitkan bahasa dengan hal lain di luar bahasa yang kemudian disebut dengan konteks.

Bahasa yang digunakan terikat pada konteks pemakaiannya. Konteks menentukan fungsi apa yang diemban bahasa dalam komunikasi.

Bahasa dalam kajian pragmatik dipandang sebagai sarana yang dapat digunakan untuk bertindak. Sebelumnya, orang berpikir bahwa berbahasa hanya sebatas berkata-kata.

Namun, akhirnya disadari bahwa bahasa dapat digunakan untuk tindakan lain selain berkata-kata saja. Itulah konsep tindak berbahasa atau tindak tutur.

Penggunaan bahasa yang terikat konteks juga memungkinkan lahirnya makna yang juga terikat konteks. Dalam tindak berbahasa, ada pesan yang terkatakan atau tersurat ada pula pesan yang tidak terkatakan tetapi terpahami atau pesan tersirat.

Pragmatik juga menelaah makna-makna terikat konteks tersebut sehingga lahirlah konsep-konsep tentang deiksis, referensi, praanggapan, implikatur, entailmen, dan inferensi.

Tujuan pragmatik adalah membongkar maksud di balik penggunaan bahasa dan mendeskripsikan pola-pola penggunaan bahasa.

Hasil kajian pragmatik meliputi deskripsi makna kontekstual sebuah penggunaan bahasa dan strategi-strategi untuk menciptakan makna-makna kontekstual tersebut.

Hal itu dapat dimanfaatkan untuk merumuskan kaidah penggunaan bahasa yang efektif.

Hasil tersebut dapat digunakan oleh para penutur bahasa sebagai rambu-rambu berkomunikasi secara verbal supaya setiap maksud yang diintensikan penutur dapat tersampaikan secara lancar kepada penerima tuturan.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Thesaurus.plus

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *