bias dalam teks berita

Berita bukanlah fakta murni, melainkan laporan tentang fakta yang sudah melalui seleksi dan penafsiran. Di sinilah bias dalam teks berita muncul, kadang halus, kadang kentara. Hal ini membentuk cara kita memahami realitas. Karena itu, penting bagi kita untuk membaca berita dengan kacamata kritis.

Apakah Berita Selalu Netral?

Setiap hari kita membaca berita, baik melalui portal online, media sosial, maupun siaran televisi. Kita mengandalkan berita untuk mengetahui apa yang terjadi di sekitar kita, mulai dari politik, ekonomi, bencana, hingga hiburan. Namun, pernahkah Anda bertanya: apakah berita yang kita konsumsi benar-benar objektif?

Banyak orang menganggap berita identik dengan fakta. Padahal, dalam kajian media, berita bukanlah fakta itu sendiri, melainkan laporan tentang fakta. Artinya, berita selalu melewati proses seleksi, penulisan, dan penyuntingan yang dipengaruhi oleh perspektif wartawan maupun ideologi media. Dari sinilah potensi bias muncul. Bias tidak selalu berarti berita bohong, melainkan kecenderungan atau keberpihakan tertentu dalam menyajikan informasi.

Memahami bias menjadi keterampilan penting. Dengan kemampuan membaca kritis, kita bisa mengidentifikasi siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana bahasa digunakan untuk membentuk opini publik.

Apa Itu Bias dalam Teks Berita?

Secara sederhana, bias dalam teks berita dapat dipahami sebagai ketidaknetralan dalam penyajian fakta. Wartawan dan redaksi media memilih fakta tertentu, menekankan aspek tertentu, dan mengabaikan aspek lainnya. Akibatnya, peristiwa yang sama bisa digambarkan secara berbeda tergantung media yang memberitakannya.

Bias berbeda dengan opini. Opini bersifat terbuka dan eksplisit, biasanya muncul dalam tajuk rencana atau kolom opini. Sementara itu, bias bekerja lebih halus. Bias terselip dalam struktur berita yang sekilas tampak faktual, padahal sebenarnya memuat sudut pandang tertentu. Karena sifatnya yang tersembunyi inilah, bias jauh lebih berpengaruh terhadap pembaca.

Jenis-Jenis Bias dalam Pemberitaan

Bias dalam teks berita dapat muncul dalam berbagai bentuk. Beberapa di antaranya adalah

  • seleksi fakta,
  • penempatan informasi,
  • pemilihan narasumber,
  • bahasa, dan
  • visual.

1. Bias Seleksi Fakta

Tidak semua fakta bisa dituliskan. Wartawan harus memilih mana yang dimasukkan, mana yang dihilangkan. Misalnya, dalam pemberitaan demo buruh, satu media menonjolkan jumlah peserta yang besar, sementara media lain lebih fokus pada kerusuhan yang terjadi. Keduanya sama-sama benar, tetapi pilihan fakta membentuk makna yang berbeda.

2. Bias Penempatan

Posisi berita dalam media juga menentukan persepsi. Berita yang dijadikan headline tentu dianggap lebih penting daripada berita kecil di halaman belakang. Dalam portal online, penempatan di halaman utama dengan judul mencolok membuat berita terasa lebih mendesak dibanding berita serupa yang ditaruh di kanal lain.

3. Bias Pemilihan Narasumber

Narasumber adalah sumber otoritas dalam berita. Jika wartawan hanya mengutip pernyataan polisi dalam liputan demo, maka suara buruh bisa hilang. Sebaliknya, jika lebih banyak memberi ruang pada serikat buruh, perspektif  yang muncul tentu berbeda.

4. Bias Bahasa

Bahasa adalah senjata utama media. Kata pengunjuk rasa berbeda makna dengan perusuh. Kata pembantaian lebih emosional dibanding konflik. Pilihan kata inilah yang sering kali menunjukkan keberpihakan media.

5. Bias Visual

Dalam media televisi dan online, bias juga hadir melalui gambar. Foto kerumunan massa dengan wajah tegang memberi kesan ancaman, sementara foto yang menyorot buruh berorasi damai bisa menimbulkan simpati.

Studi Kasus: Berita Kenaikan Harga BBM

Bacalah berita dan analisisnya berikut ini.

Presiden Jokowi Sebut Kebijakan Kenaikan Harga BBM Adalah Pilihan Terakhir Pemerintah

JAKARTA, KRjogja.com – Keputusan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pilihan terakhir pemerintah.

Demikian Presiden Joko Widodo, dalam konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Sabtu.(3/9/2022)

“Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian, dan sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran,” kata Presiden Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Dalam konferensi pers tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pertalite dari Rp7.650,00 per liter menjadi Rp10 ribu/liter; solar bersubsidi dari Rp5.150,00/liter menjadi Rp6.800,00/liter; dan pertamax nonsubsidi dari Rp12.500,00/liter menjadi Rp14.500,00/liter yang berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022, pukul 14.30 WIB.

“Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit,” ungkap Presiden.

Pemerintah, menurut Presiden Jokowi, telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia.

“Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN. Akan tetapi, anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun,” kata Presiden.

Nilai subsidi BBM tersebut, kata Presiden Jokowi, juga terus meningkat.

“Dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi,” kata Presiden.

Pemerintah sudah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150 ribu/bulan dan mulai diberikan pada bulan September selama 4 bulan.

Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta/bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp600 ribu.

“Saya juga telah memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum bantuan ojek online dan untuk nelayan,” kata Presiden.

Presiden mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran.

“Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu,” ungkap Presiden.(ati/ant)

Sumber: https://www.krjogja.com/nasional/1242468056/presiden-jokowi-sebut-kebijakan-kenaikan-harga-bbm-adalah-pilihan-terakhir-pemerintah?page=1

1. Apakah teks ini mengandung bias?

Ya, teks ini cenderung mengandung bias pro-pemerintah. Alasannya adalah sebagai berikut.

  • Sumber berita tunggal. Seluruh isi berita hanya mengutip pernyataan Presiden Jokowi dan beberapa menteri. Tidak ada suara dari kelompok lain, seperti buruh, mahasiswa, pengamat ekonomi, atau masyarakat yang terdampak.
  • Perspektif penulis positif. Kenaikan harga BBM ditampilkan sebagai “pilihan terakhir” dan sebagai bentuk tanggung jawab pemerintah untuk melindungi rakyat. Kata-kata yang dipilih menekankan kesulitan pemerintah, bukan kesulitan rakyat.
  • Absennya perspektif alternatif. Tidak ada data atau pandangan yang mempertanyakan klaim pemerintah, misalnya soal efektivitas BLT atau dampak langsung pada harga barang.

2. Contoh penggunaan bahasa yang menunjukkan bias

  • Judul “Presiden Jokowi Sebut Kebijakan Kenaikan Harga BBM Adalah Pilihan Terakhir Pemerintah” menekankan kesan bahwa kebijakan ini adalah langkah yang bijak dan penuh pertimbangan.
  • Kutipan Presiden: “Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu…” membangun legitimasi moral terhadap keputusan yang diambil.
  • Frasa “Pemerintah sudah menyiapkan bantuan…” menegaskan sisi positif pemerintah, tetapi tidak memuat kritik apakah bantuan itu cukup atau efektif.

3. Apa yang hilang dari teks?

  • Suara masyarakat hilang. Tidak ada bagian yang menggambarkan bagaimana tanggapan rakyat kecil, sopir angkot, atau buruh.
  • Tidak ada data perbandingan, misalnya dampak kenaikan BBM sebelumnya, atau komentar dari pihak oposisi/ekonom independen.
  • Konsekuensi langsung dari kenaikan tidak ada. Berita tidak menyinggung risiko inflasi atau naiknya harga kebutuhan pokok.

4. Kesimpulan analisis

Berita ini tidak berimbang karena lebih tepat dibaca sebagai bentuk press release pemerintah yang diterbitkan ulang oleh media tanpa tambahan perspektif lain. Akibatnya, yang muncul adalah penggambaran bahwa pemerintah telah bekerja keras, keputusan ini adalah jalan terakhir, dan kebijakan tersebut demi kepentingan rakyat.

Dengan kata lain, berita ini mengandung bias afirmatif terhadap pemerintah, karena

  1. mengutip dari satu pihak saja;
  2. menggunakan bahasa yang memperkuat legitimasi pemerintah; dan
  3. mengabaikan suara yang berpotensi kritis.

Jenis Teks Berita yang Rawan Mengandung Bias

Jenis-jenis berita tertentu cenderung lebih rawan mengandung bias karena menyangkut kepentingan politik, ekonomi, atau isu-isu yang sensitif di masyarakat. 

1. Berita Politik

Berita politik hampir selalu sarat potensi bias. Karena menyangkut kekuasaan, media bisa saja memilih sudut pandang tertentu, apakah ingin menonjolkan prestasi seorang tokoh politik atau justru memperlihatkan kegagalannya. 

Bias politik juga bisa muncul dari pemilihan narasumber. Apakah hanya pejabat pemerintah yang diberi ruang bicara atau pihak oposisi yang lebih ditonjolkan? Pilihan bahasa juga bisa menjadi alat. Misalnya menyebut suatu aksi sebagai heroik atau sekadar pencitraan.

2. Berita Ekonomi dan Kebijakan Publik

Hal serupa berlaku pada berita ekonomi dan kebijakan publik. Liputan tentang kenaikan harga BBM, tarif listrik, atau bantuan sosial sering kali diwarnai bias ketika media lebih banyak mengutip pernyataan pejabat atau pengusaha, sementara suara rakyat kecil tidak terdengar. 

Sering kali isi berita diarahkan untuk meyakinkan publik bahwa kebijakan tersebut adalah “demi kebaikan bersama,” tanpa mengungkap sisi kritis atau dampak buruk bagi kelompok masyarakat rentan.

3. Berita Konflik Sosial dan Keamanan

Bias juga tampak nyata dalam pemberitaan konflik sosial dan keamanan. Berita tentang demonstrasi buruh, konflik agraria, atau kasus kriminal kerap diberi label dengan kata-kata tertentu, seperti massa disebut perusuh atau demonstran, aksi dijelaskan sebagai bentrokan atau aksi damai

Kata-kata itu tidak netral, karena memberi kesan yang berbeda pada pembaca. Lebih jauh, media sering kali menyoroti kerusuhan di lapangan, sementara akar masalah yang menyebabkan konflik justru tidak digali.

Dalam ranah internasional, bias muncul terutama ketika media meliput negara sahabat atau musuh politik. Liputan tentang Palestina–Israel atau perang Rusia–Ukraina, misalnya, sering dipengaruhi oleh sumber berita yang dipilih. 

Media yang hanya mengutip kantor berita Barat bisa cenderung pro-Israel atau pro-Ukraina, sementara media yang menggunakan sumber Timur bisa memperlihatkan perspektif yang sebaliknya.

4. Berita tentang Isu Gender dan Minoritas

Isu gender dan minoritas juga sangat rawan bias. Pemberitaan tentang pelecehan seksual, LGBT, atau hak-hak kelompok agama dan etnis tertentu kerap dipenuhi stereotipe. Sering kali media tidak memberi ruang bagi narasumber dari kelompok minoritas, dan malah menggunakan bahasa yang mendiskreditkan. Dengan demikian, media tidak hanya memberitakan peristiwa, tetapi juga berperan dalam membentuk stigma sosial.

5. Berita Hiburan

Sekilas berita hiburan dan gaya hidup terlihat ringan, tetapi sebenarnya juga rentan bias. Liputan tentang selebritas bisa lebih menonjolkan gosip negatif atau, sebaliknya, citra positif, tergantung kedekatan media dengan manajemen artis. Di sini terlihat bagaimana kepentingan ekonomi dan relasi personal bisa memengaruhi cara berita disajikan.

6. Berita Bencana

Bahkan berita bencana atau kemanusiaan pun tidak lepas dari bias. Ada media yang lebih memilih menonjolkan penderitaan korban dengan narasi dramatis, tanpa menyinggung tanggung jawab pemerintah. Sebaliknya, ada pula media yang fokus memperlihatkan kecepatan bantuan pemerintah, tetapi mengabaikan fakta keterlambatan distribusi di lapangan.

Semua contoh di atas menunjukkan bahwa berita paling rawan bias adalah berita yang menyangkut kepentingan politik, ekonomi, ideologi, atau isu sensitif lain yang memengaruhi kehidupan publik. Oleh karena itu, kita perlu terus berlatih membaca berita secara kritis, dengan menanyakan bukan hanya apa yang diberitakan, tetapi juga bagaimana berita itu disusun dan untuk kepentingan siapa ia ditulis.

Dampak Bias terhadap Opini Publik

Bias dalam teks berita bukan sekadar masalah teknis jurnalistik, melainkan persoalan yang menyentuh langsung kesadaran masyarakat. Apa yang ditulis dan disiarkan media memiliki daya membentuk cara publik melihat dunia. Ketika bias terjadi, efeknya bukan hanya pada persepsi sesaat, tetapi bisa mengakar menjadi keyakinan kolektif yang sulit diubah.

1. Membentuk Opini Publik

Media adalah salah satu sumber utama informasi masyarakat. Jika media secara konsisten menampilkan buruh sebagai biang kerusuhan dalam setiap aksi demonstrasi, publik lama-kelamaan akan percaya bahwa buruh identik dengan kekacauan. 

Sebaliknya, jika media lebih menonjolkan suara dan tuntutan buruh, publik bisa melihat mereka sebagai pihak yang sah memperjuangkan hak. Dengan kata lain, bias menentukan siapa yang dianggap “pahlawan” dan siapa yang dicap “pengganggu” dalam ruang publik.

2. Mengaburkan Akar Masalah

Bias sering kali membuat inti persoalan tenggelam di balik dramatisasi. Dalam liputan demo, media cenderung lebih suka menyoroti bentrokan dengan aparat, kerusakan fasilitas umum, atau lalu lintas yang macet. 

Akibatnya, akar masalah seperti rendahnya upah minimum, harga kebutuhan pokok yang melonjak, atau kebijakan pemerintah yang tidak adil, justru jarang mendapat sorotan. 

Publik pun lebih sibuk membicarakan “kericuhan” daripada “alasan mengapa orang turun ke jalan.” Inilah yang disebut sebagai distorsi agenda, yaitu media mengarahkan perhatian pada gejala, bukan pada penyebab.

3. Menguatkan Polarisasi

Di era digital, bias media juga memperkuat polarisasi politik dan ideologi. Pembaca cenderung mencari media yang sejalan dengan keyakinan mereka (selective exposure). 

Akibatnya, kelompok masyarakat hidup dalam “gelembung informasi” yang berbeda. Satu kelompok mendapat berita yang memuji pemerintah, kelompok lain mendapat berita yang penuh kritik. 

Lama-kelamaan, perbedaan ini melahirkan jurang pandangan yang makin lebar, bahkan bisa memicu konflik sosial. Bias media, dalam hal ini, tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga meretakkan kohesi sosial.

Dengan kata lain, bias dalam berita berperan besar dalam mengarahkan kesadaran kolektif, bahkan tanpa disadari oleh pembaca. Masyarakat bisa digiring untuk menganggap sesuatu wajar, normal, atau sebaliknya, salah dan berbahaya, hanya karena cara media membingkai fakta. Itulah sebabnya, literasi media kritis menjadi keterampilan penting agar kita tidak menjadi korban bias yang menyesatkan.

Cara Mendeteksi Bias dalam Teks Berita

Membaca berita secara kritis bukanlah hal mudah. Bias media seringkali bekerja halus, menyelinap lewat kata, pilihan narasumber, atau bahkan struktur teks yang sekilas tampak objektif. Namun, dengan latihan, pembaca bisa melatih diri untuk lebih peka. Berikut adalah langkah-langkah yang dapat membantu mendeteksi bias dalam berita.

1. Membandingkan Beberapa Sumber

Jangan pernah hanya mengandalkan satu media. Bacalah liputan tentang peristiwa yang sama dari minimal tiga media berbeda. Dengan begitu, kita akan melihat perbedaan fokus. Ada media yang menonjolkan kericuhan, ada yang menekankan tuntutan, dan ada pula yang menyoroti sisi pemerintah. Perbandingan inilah kunci untuk menemukan bias.

2. Memeriksa Judul dan Isi

Judul berita sering dibuat menarik untuk meraih klik (clickbait). Kadang, judul menggunakan kata-kata sensasional yang memberi kesan dramatis, padahal isi berita biasa saja. Misalnya: judul “Demo Ricuh, Jalan Macet Total” bisa memberi kesan aksi brutal, padahal isi berita lebih banyak membicarakan tuntutan buruh. Perbedaan antara judul dan isi bisa menjadi petunjuk bias.

3. Mengamati Pilihan Kata

Bahasa adalah pintu masuk bias. Kata perusuh memberi citra negatif, sementara demonstran lebih netral. Kata pembantaian jauh lebih emosional dibanding konflik. Dengan memperhatikan istilah yang digunakan, kita bisa menebak ideologi atau kepentingan media. Setiap kata membawa beban makna, dan beban itu bisa mengarahkan emosi pembaca.

4. Meneliti Narasumber

Siapa yang diberi ruang bicara dalam berita? Apakah hanya pejabat pemerintah? Apakah suara masyarakat kecil atau pihak oposisi juga dihadirkan? Ketidakseimbangan narasumber adalah salah satu indikator bias yang paling mudah ditemukan. Misalnya, berita tentang kenaikan BBM yang hanya mengutip Presiden dan menteri, tanpa suara rakyat kecil, jelas condong pro-pemerintah.

5. Menanyakan Pertanyaan Kritis

Bias bisa ditelusuri dengan bertanya:

  • Siapa yang diuntungkan dengan pemberitaan ini?
  • Siapa yang dirugikan atau suaranya dihilangkan?
  • Apa yang ditonjolkan? Apa yang disamarkan?

Pertanyaan sederhana ini membantu pembaca untuk menembus permukaan teks dan melihat ideologi yang bekerja di baliknya.

6. Menyadari Bias Pribadi

Selain bias media, pembaca juga membawa bias pribadi. Kita cenderung percaya pada berita yang sesuai dengan pandangan kita (confirmation bias). Karena itu, penting untuk selalu sadar apakah ketidaknyamanan membaca berita tertentu disebabkan oleh bias media, atau justru karena pandangan pribadi kita yang tidak sejalan?

7. Melihat Konsistensi Liputan

Perhatikan bagaimana media meliput isu yang sama dalam jangka panjang. Apakah selalu menonjolkan sisi tertentu? Misalnya, satu media konsisten menyoroti keberhasilan pemerintah, sementara media lain konsisten menyoroti kelemahan. Pola konsistensi inilah yang menunjukkan arah ideologis sebuah media.

Kesimpulan: Menjadi Pembaca Kritis di Era Informasi

Mendeteksi bias bukan berarti menolak seluruh isi berita. Justru, dengan kesadaran kritis, kita bisa tetap memperoleh informasi, tetapi tidak terjebak dalam bias. Membaca berita dengan cara ini menjadikan kita bukan sekadar konsumen informasi, melainkan penafsir aktif yang mampu membongkar ideologi media.

Dari uraian di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa berita tidak pernah sepenuhnya netral. Teks berita selalu dipengaruhi oleh perspektif wartawan dan ideologi media. Bias muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari seleksi fakta, penempatan, pilihan narasumber, bahasa, hingga visual.

Keterampilan mendeteksi bias ini bukan hanya kegiatan akademis, melainkan juga bekal hidup sebagai warga negara. Dengan kacamata kritis, kita tidak mudah termakan bias media, tidak gampang terseret arus polarisasi, dan mampu melihat realitas dari berbagai sudut.

Maka, tugas kita bukan hanya membaca berita, tetapi juga membaca di balik berita: apa yang disembunyikan, siapa yang diberi suara, dan kepentingan apa yang bermain. Dengan begitu, kita bisa menjadi pembaca kritis yang tidak mudah dimanipulasi oleh bahasa media.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Pix4free | Lembar Kerja: Google Docs

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *