pilihan kata dalam analisis wacana kritis

Pilihan kata dalam teks berita tidak hanya membangun makna literal, tetapi juga menyimpan ideologi tersembunyi yang memengaruhi opini pembaca. Dalam analisis wacana kritis, setiap diksi yang dipilih mengungkapkan lebih dari sekadar informasi. Kosakata yang dipilih mencerminkan pengalaman, membangun hubungan sosial, dan mengekspresikan pandangan tertentu. 

Artikel ini akan mengupas bagaimana pilihan kata berperan sebagai peranti analisis wacana kritis. Bagaimana menggunakan diksi dengan fitur nilai eksperiental, relasional, dan ekspresif untuk membongkar ideologi di balik teks berita? 

1. Pilihan Kata dalam Analisis Wacana Kritis

Pilihan kata adalah elemen mendasar dalam komunikasi verbal yang tidak hanya berfungsi sebagai penyusun kalimat, tetapi juga sebagai medium penyampaian makna yang kompleks. 

Dalam kajian linguistik, kata dianggap sebagai unit terkecil yang membawa makna, tetapi dalam konteks wacana, pilihan kata memiliki pengaruh yang jauh lebih luas. 

Setiap kata yang dipilih oleh penulis atau pembicara tidak pernah netral—ia selalu membawa nilai tertentu, baik itu nilai ideologis, sosial, maupun emosional.

a. Pilihan Kata sebagai Sarana Menciptakan Frame

Dalam konteks analisis wacana kritis, pilihan kata tidak hanya mencerminkan gagasan penulis tetapi juga ideologi yang melatarinya. 

Pilihan kata dapat digunakan untuk membangun atau mendekonstruksi realitas sosial, menciptakan bias, atau bahkan memperkuat kekuasaan. 

Sebagai contoh, penggunaan kata seperti “pejuang kebebasan” dibandingkan dengan “pemberontak” dapat menggambarkan bagaimana ideologi tertentu dipromosikan atau dikaburkan.

Selain itu, pilihan kata memainkan peran penting dalam membentuk hubungan sosial antarpartisipan dalam komunikasi. 

Van Dijk (1988) menyatakan bahwa kata-kata tertentu dapat menunjukkan status, posisi, atau hubungan kekuasaan antara pembicara dan pendengar. 

Misalnya, istilah seperti “bapak presiden” dibandingkan dengan “pemimpin” memuat nuansa relasi yang berbeda dalam konteks sosial-politik.

Maka, mempelajari pilihan kata dalam wacana tidak hanya membantu kita memahami teks secara mendalam, tetapi juga membuka wawasan tentang bagaimana bahasa digunakan sebagai alat untuk menciptakan, mempertahankan, atau menantang struktur sosial dan kekuasaan yang ada.

b. Fitur Nilai dalam Pilihan Kata

Dengan mengacu pada teori-teori dari tokoh seperti Fairclough (1989) dan Fowler (1991), artikel ini akan menjelaskan bagaimana pilihan kata dapat dianalisis dari tiga perspektif utama, yaitu:

  1. Nilai eksperiental, yang berhubungan dengan pengetahuan dan pengalaman penulis terhadap dunia sosial dan alam.
  2. Nilai relasional, yang mengacu pada hubungan sosial antara partisipan dalam teks.
  3. Nilai ekspresif, yang mencerminkan evaluasi atau sikap penulis terhadap suatu fenomena.

Melalui pembahasan ini, pembaca diharapkan dapat memahami bagaimana diksi tidak hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, tetapi juga sebagai peranti analitis yang dapat mengungkapkan ideologi tersembunyi dan bias dalam teks berita maupun wacana lainnya. 

Artikel ini juga diharapkan menjadi referensi penting bagi mereka yang ingin mendalami analisis wacana kritis, baik sebagai praktisi media, akademisi, maupun pembaca yang kritis terhadap teks yang mereka konsumsi.

2. Konsep Dasar Pilihan Kata

a. Pengertian Pilihan Kata

Pilihan kata, atau sering disebut diksi, adalah proses seleksi kata yang paling tepat dan sesuai untuk menyampaikan makna dalam konteks tertentu. 

Menurut Keraf (1984), kata merupakan satuan kebahasaan dasar yang membentuk komunikasi verbal. Kata-kata tidak hanya membawa makna literal, tetapi juga menyiratkan nuansa emosional, sosial, dan ideologis yang lebih luas. 

Dalam pandangan Sarwoko (2007), pilihan kata bukan sekadar aktivitas memilih-milih kata, tetapi juga berkaitan erat dengan tujuan komunikatif, pengaruhnya terhadap pembaca, serta informasi yang ingin disampaikan oleh penghasil teks.

Dalam teori linguistik sistemik fungsional yang dikembangkan oleh Halliday, kosakata memainkan peran penting dalam membentuk struktur ideasional. 

Struktur ini mencerminkan bagaimana bahasa digunakan untuk merepresentasikan pengalaman dunia, baik sosial maupun alam. 

Pilihan kata menentukan bagaimana objek, proses, dan hubungan disusun untuk membentuk makna dalam suatu teks. Sebagai contoh, dalam teks berita, pemilihan kata seperti “mengundurkan diri” dibandingkan dengan “dipecat” menunjukkan perbedaan signifikan dalam penggambaran sebuah peristiwa meskipun mengacu pada kejadian yang sama.

Dengan demikian, pemahaman terhadap pilihan kata tidak hanya penting untuk analisis linguistik, tetapi juga untuk memahami bagaimana bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan atau menyembunyikan makna tertentu dalam berbagai konteks wacana.

b. Pilihan Kata sebagai Representasi Budaya dan Ideologi

Pilihan kata tidak pernah netral. Fitur lingual yang satu ini selalu mencerminkan budaya, ideologi, dan kekuasaan. 

Fowler (1991) menegaskan bahwa bahasa tidak hanya menjadi alat komunikasi, tetapi juga sebuah medium yang menyimpan peta sosial dan budaya. 

Kata-kata yang digunakan dalam teks memuat pandangan dunia tertentu yang sesuai dengan konteks budaya dan ideologi dari penghasil teks. 

Misalnya, istilah seperti “pahlawan nasional” dibandingkan dengan “militan” tidak hanya berbeda secara semantik, tetapi juga mengungkapkan nilai ideologis yang mendasarinya.

Dalam konteks media massa, Richardson (2007) menunjukkan bahwa pilihan kata memiliki peran krusial dalam membangun bias dan framing sebuah peristiwa. 

Misalnya, dalam pemberitaan konflik, penggunaan istilah “korban sipil” dibandingkan dengan “kerugian akibat operasi militer” menciptakan sudut pandang yang berbeda terhadap peristiwa yang sama. 

Pilihan kata seperti ini tidak hanya membentuk persepsi pembaca tetapi juga mencerminkan agenda ideologis media.

Pilihan kata juga menunjukkan hubungan kekuasaan antara pembicara, penulis, dan audiens. Dalam wacana politik, misalnya, penggunaan istilah seperti “reformasi” atau “kudeta” dapat menandakan posisi pembicara dalam dinamika kekuasaan. 

Oleh karena itu, analisis pilihan kata dalam teks bukan hanya soal memahami makna literal, tetapi juga soal menggali hubungan kompleks antara budaya, ideologi, dan kekuasaan yang tersembunyi di balik teks tersebut.

Pemahaman akan representasi budaya dan ideologi dalam pilihan kata memberikan wawasan penting bagi pembaca untuk memahami bagaimana bahasa digunakan secara strategis dalam membangun atau melawan narasi tertentu dalam wacana.

3. Nilai dalam Pilihan Kata 

Fairclough (1989) menjelaskan bahwa pilihan kata dalam teks memuat tiga nilai utama: eksperiental, relasional, dan ekspresif

Ketiga nilai ini mencerminkan bagaimana kata-kata dapat berfungsi untuk merepresentasikan pengalaman, membangun hubungan sosial, dan mengekspresikan sikap penulis terhadap suatu fenomena. 

Analisis terhadap nilai-nilai ini memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana bahasa digunakan untuk menciptakan, memengaruhi, atau menantang makna dalam wacana.

a. Nilai Eksperiental

Nilai eksperiental dalam pilihan kata berkaitan dengan representasi pengalaman sosial dan alam penulis teks. Kata-kata tertentu dapat merefleksikan cara pandang penghasil teks terhadap dunia, baik dalam hal fakta objektif maupun subjektivitas pengalaman. 

Sebagai contoh, dalam teks berita, peristiwa demonstrasi mahasiswa dapat diberi label yang berbeda-beda, seperti “aksi damai”, “aksi kebrutalan”, atau “aksi unjuk rasa”.

Ketiga label ini membawa konotasi yang berbeda. “Aksi damai” menggambarkan demonstrasi sebagai kegiatan yang positif dan berlandaskan hak asasi. 

Sebaliknya, “aksi kebrutalan” mencerminkan pandangan negatif, mengesankan tindakan yang merusak dan melawan hukum. 

Sementara itu, “aksi unjuk rasa” cenderung netral, menggambarkan peristiwa tanpa memberikan penilaian moral tertentu.

Pilihan kata yang berfitur eksperiental sangat relevan dalam melabeli peristiwa di teks berita. Melalui kata-kata ini, media dapat memengaruhi bagaimana pembaca memahami suatu kejadian. 

Oleh karena itu, nilai eksperiental dalam pilihan kata bukan hanya tentang merepresentasikan fakta, tetapi juga tentang membentuk cara pandang pembaca terhadap realitas sosial.

b. Nilai Relasional

Nilai relasional dalam pilihan kata berkaitan dengan hubungan sosial yang diciptakan atau diimplikasikan antara partisipan dalam teks. 

Kata-kata tertentu dapat menunjukkan status sosial, kekuasaan, atau hubungan antarpartisipan. 

Misalnya, istilah “penguasa” dibandingkan dengan “pelayan masyarakat” menunjukkan relasi yang sangat berbeda. “Penguasa” menggambarkan posisi otoritas yang dominan, sementara “pelayan masyarakat” menonjolkan tanggung jawab dan kesetaraan.

Dalam teks berita, hubungan relasional ini sering muncul dalam konteks wacana politik, di mana diksi seperti “reformis” atau “radikal” dapat digunakan untuk menggambarkan aktor politik tertentu. 

Penggunaan istilah-istilah ini tidak hanya mencerminkan hubungan sosial yang diinginkan oleh penghasil teks, tetapi juga dapat memengaruhi bagaimana pembaca melihat hubungan antara aktor-aktor yang terlibat dalam sebuah peristiwa.

Analisis nilai relasional dalam pilihan kata sangat penting untuk memahami bagaimana bahasa digunakan untuk membangun hierarki sosial dan hubungan kekuasaan dalam wacana.

c. Nilai Ekspresif

Nilai ekspresif dalam pilihan kata mencerminkan evaluasi atau sikap penulis terhadap fenomena tertentu. Kata-kata yang dipilih dapat menyiratkan perasaan, pandangan, atau opini tertentu, baik secara positif maupun negatif. 

Misalnya, kata “hebat” dan “berlebihan” dapat digunakan untuk mengevaluasi fenomena yang sama, tetapi dengan konotasi yang sangat berbeda.

Dalam konteks teks berita, nilai ekspresif sering muncul dalam penggunaan kata sifat atau adjektiva untuk memberikan penilaian terhadap peristiwa atau tokoh. 

Contohnya, seorang politisi mungkin digambarkan sebagai “berwibawa” (positif) atau “otoriter” (negatif), tergantung pada sikap ideologis media yang melaporkannya.

Nilai ekspresif ini sangat memengaruhi persepsi pembaca, karena pilihan kata yang digunakan dapat memperkuat atau melemahkan opini tertentu dalam benak audiens. 

Dalam analisis wacana kritis, nilai ekspresif membantu mengungkap bagaimana bahasa digunakan secara strategis untuk memengaruhi sikap pembaca terhadap isu tertentu.

d. Pilihan Kata Tidak Netral

Ketiga nilai dalam pilihan kata menurut Fairclough—eksperiental, relasional, dan ekspresif—menunjukkan bahwa bahasa tidak pernah netral. 

Pilihan kata tidak hanya merepresentasikan pengalaman, tetapi juga membangun hubungan sosial dan mengekspresikan sikap tertentu. 

Analisis terhadap nilai-nilai ini membantu pembaca memahami bagaimana bahasa dapat digunakan untuk menciptakan bias, membentuk hubungan kekuasaan, dan memengaruhi persepsi publik. 

Dalam konteks wacana berita, memahami nilai-nilai ini menjadi kunci untuk membaca teks secara kritis dan sadar ideologi.

4. Studi Kasus: Bagaimana Pilihan Kata Mewarnai Berita tentang Kenaikan Harga BBM

Berikut contoh teks berita yang akan dianalisis.

Presiden Jokowi Sebut Kebijakan Kenaikan Harga BBM Adalah Pilihan Terakhir Pemerintah

JAKARTA, KRjogja.com – Keputusan untuk menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) adalah pilihan terakhir pemerintah.

Demikian Presiden Joko Widodo, dalam konferensi pers di Istana Merdeka Jakarta, Sabtu.(3/9/2022)

“Ini adalah pilihan terakhir pemerintah, yaitu mengalihkan subsidi BBM sehingga harga beberapa jenis BBM yang selama ini mendapat subsidi akan mengalami penyesuaian, dan sebagian subsidi BBM akan dialihkan untuk bantuan yang lebih tepat sasaran,” kata Presiden Jokowi didampingi Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati, Menteri Sosial Tri Rismaharini, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif, dan Menteri Sekretaris Negara Pratikno.

Dalam konferensi pers tersebut, Menteri ESDM Arifin Tasrif mengumumkan kenaikan harga BBM bersubsidi pertalite dari Rp7.650,00 per liter menjadi Rp10 ribu/liter; solar bersubsidi dari Rp5.150,00/liter menjadi Rp6.800,00/liter; dan pertamax nonsubsidi dari Rp12.500,00/liter menjadi Rp14.500,00/liter yang berlaku sejak Sabtu, 3 September 2022, pukul 14.30 WIB.

“Mestinya uang negara itu harus diprioritaskan untuk memberikan subsidi kepada masyarakat yang kurang mampu dan saat ini pemerintah harus membuat keputusan dalam situasi yang sulit,” ungkap Presiden.

Pemerintah, menurut Presiden Jokowi, telah berupaya sekuat tenaga untuk melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia.

“Saya sebetulnya ingin harga BBM di dalam negeri tetap terjangkau dengan memberikan subsidi dari APBN. Akan tetapi, anggaran subsidi dan kompensasi BBM pada tahun 2022 telah meningkat tiga kali lipat dari Rp152,5 triliun menjadi Rp502,4 triliun,” kata Presiden.

Nilai subsidi BBM tersebut, kata Presiden Jokowi, juga terus meningkat.

“Dan lagi lebih dari 70 persen subsidi justru dinikmati oleh kelompok masyarakat yang mampu yaitu pemilik mobil-mobil pribadi,” kata Presiden.

Pemerintah sudah menyiapkan bantuan langsung tunai (BLT) BBM sebesar Rp12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga yang kurang mampu sebesar Rp150 ribu/bulan dan mulai diberikan pada bulan September selama 4 bulan.

Pemerintah juga menyiapkan anggaran sebesar Rp9,6 triliun untuk 16 juta pekerja dengan gaji maksimum Rp3,5 juta/bulan dalam bentuk bantuan subsidi upah yang diberikan sebesar Rp600 ribu.

“Saya juga telah memerintahkan kepada pemerintah daerah untuk menggunakan 2 persen dana transfer umum sebesar Rp2,17 triliun untuk bantuan angkutan umum bantuan ojek online dan untuk nelayan,” kata Presiden.

Presiden mengatakan bahwa pemerintah berkomitmen agar penggunaan subsidi yang merupakan uang rakyat harus tepat sasaran.

“Subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu,” ungkap Presiden.(ati/ant)

Sumber: https://www.krjogja.com/nasional/1242468056/presiden-jokowi-sebut-kebijakan-kenaikan-harga-bbm-adalah-pilihan-terakhir-pemerintah?page=1

Berdasarkan analisis pilihan kata dalam teks berita, frame yang dapat disimpulkan mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi

Hal ini terlihat dari bagaimana teks menggunakan diksi tertentu untuk membangun narasi yang menggambarkan kebijakan kenaikan harga BBM sebagai langkah yang tidak hanya terpaksa tetapi juga diperlukan demi keadilan dan efisiensi. 

a. Nilai Eksperiental

Nilai eksperiental mencerminkan bagaimana pengalaman atau realitas sosial direpresentasikan melalui pilihan kata. 

Dalam teks ini, nilai eksperiental berkontribusi pada frame mendukung kebijakan melalui representasi pengalaman pemerintah dan konteks ekonomi.

Pilihan kata dalam teks ini mencerminkan pengalaman pemerintah, khususnya Presiden Joko Widodo, dalam menghadapi situasi ekonomi yang sulit akibat gejolak harga minyak dunia.

  • Kata-kata yang menggambarkan keterpaksaan keputusan:
    Frasa seperti “pilihan terakhir” dan “situasi yang sulit” merepresentasikan pengalaman pemerintah yang harus menghadapi gejolak harga minyak dunia dan beban subsidi yang besar.
    Pilihan kata ini membangun narasi bahwa keputusan tersebut diambil dengan penuh pertimbangan dan bukan keputusan yang gegabah.
    Penggambaran pengalaman ini mendukung narasi bahwa kebijakan tersebut adalah langkah rasional yang tak terhindarkan.
  • Penggunaan eufemisme untuk realitas kebijakan:
    Kata “penyesuaian harga” menggantikan “kenaikan harga” untuk meredam kesan negatif dan mengubah persepsi pembaca terhadap kebijakan. Pilihan ini mencerminkan sudut pandang pemerintah yang ingin mengurangi dampak negatif dari kebijakan tersebut di mata masyarakat. Ini membantu membingkai kebijakan sebagai sesuatu yang lebih netral dan perlu.

Pilihan kata-kata ini memberikan kesan bahwa pemerintah berusaha keras dan mengambil langkah dengan pertimbangan matang, menciptakan narasi bahwa tindakan ini tidak dapat dihindari.

b. Nilai Relasional

Nilai relasional mengacu pada hubungan sosial yang dibangun melalui pilihan kata, baik antara pemerintah dan masyarakat maupun antara kelompok sosial yang berbeda.

Hal ini terlihat dalam kata-kata yang digunakan untuk menggambarkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat, serta hubungan antarpartisipan dalam wacana

  • Hubungan pemerintah dengan rakyat kecil:
    Frasa seperti “subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu” dan “uang negara harus diprioritaskan” menciptakan relasi yang menunjukkan pemerintah sebagai pihak yang peduli dan melayani rakyat kecil.
    Frasa “melindungi rakyat dari gejolak harga minyak dunia” menunjukkan relasi pemerintah yang berusaha mengayomi rakyat dengan mengatasi dampak eksternal terhadap ekonomi nasional.
    Diksi ini menegaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk melindungi masyarakat rentan sehingga memperkuat legitimasi keputusan.
  • Pembedaan kelompok masyarakat:
    Frasa “lebih dari 70 persen subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu” menciptakan relasi hierarkis yang membedakan kelompok mampu dan tidak mampu. Hal ini menunjukkan bahwa kebijakan bertujuan untuk mengoreksi ketidakadilan.
    Diksi ini mendukung narasi bahwa kebijakan kenaikan harga BBM adalah langkah untuk menyeimbangkan distribusi subsidi.

Relasi yang dibangun di sini adalah relasi atas-bawah. Pemerintah ditempatkan sebagai pihak yang memiliki otoritas untuk mengatur, tetapi sekaligus menunjukkan kepedulian.

c. Nilai Ekspresif

Nilai ekspresif mencerminkan evaluasi atau sikap pemerintah terhadap situasi dan kebijakan tersebut.

  • Evaluasi positif terhadap kebijakan pemerintah:
    Frasa seperti “subsidi tepat sasaran” dan “bantuan langsung tunai” menunjukkan sikap positif pemerintah terhadap langkah-langkah mitigasi yang diambil.
    Evaluasi positif ini memperkuat framing bahwa kebijakan kenaikan harga BBM bersifat adil dan proaktif.
  • Evaluasi negatif terhadap subsidi sebelumnya:
    Frasa “subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu” mengevaluasi bahwa kebijakan subsidi sebelumnya tidak adil dan harus diperbaiki.
    Penekanan pada ketidakadilan sebelumnya mendukung narasi bahwa perubahan kebijakan ini diperlukan untuk menciptakan keadilan sosial.

d. Kesimpulan

Ketiga nilai pilihan kata tersebut berkontribusi secara signifikan dalam membangun frame mendukung kenaikan harga BBM bersubsidi:

  1. Nilai eksperiental: Menyediakan konteks yang menunjukkan keterpaksaan pemerintah mengambil kebijakan tersebut.
  2. Nilai relasional: Menegaskan hubungan pemerintah dengan rakyat kecil dan menunjukkan bahwa kebijakan ini diarahkan untuk menciptakan keadilan sosial.
  3. Nilai ekspresif: Menciptakan evaluasi positif terhadap kebijakan pemerintah saat ini dan evaluasi negatif terhadap sistem subsidi sebelumnya.

Melalui kombinasi ketiga nilai ini, teks berita berhasil membangun frame yang mendukung kebijakan dengan cara yang terlihat rasional, empatik, dan berbasis keadilan sosial.

5. Dampak Pilihan Kata terhadap Teks dan Pembaca

Pilihan kata dalam teks berita memiliki pengaruh besar terhadap cara pembaca memahami, menafsirkan, dan merespons informasi. 

Kata-kata yang dipilih secara strategis tidak hanya membangun makna literal, tetapi juga menyisipkan pandangan dunia tertentu dan membentuk persepsi publik terhadap suatu isu. 

Dalam konteks analisis wacana kritis, dampak kosakata dapat dilihat dari bagaimana diksi menciptakan ideologi tersembunyi dan mengarahkan opini pembaca.

a. Menciptakan Ideologi Tersembunyi

Pilihan kata dalam teks berita sering kali menyisipkan ideologi tertentu, baik secara eksplisit maupun implisit. 

Ideologi ini mencerminkan pandangan dunia penghasil teks, yang dapat berupa keyakinan politik, nilai-nilai sosial, atau kepentingan ekonomi.

Dalam frasa “pilihan terakhir pemerintah”, kata “pilihan terakhir” menciptakan ideologi yang menggambarkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dan bijaksana, yang hanya mengambil keputusan sulit setelah mempertimbangkan semua opsi lain. 

Ideologi ini menyiratkan bahwa kebijakan kenaikan harga BBM adalah tindakan yang tidak terhindarkan, sehingga pembaca diarahkan untuk menerima keputusan tersebut sebagai sesuatu yang wajar.

Penggunaan kata-kata seperti “penyesuaian harga” alih-alih “kenaikan harga” merupakan contoh eufemisme yang secara ideologis mengurangi kesan negatif terhadap kebijakan. 

Ideologi tersembunyi di balik kata-kata ini adalah bahwa pemerintah sedang melakukan tindakan yang terkontrol dan positif, meskipun dampaknya bagi masyarakat mungkin terasa berat.

Pilihan kata semacam ini dapat digunakan untuk menormalisasi pandangan tertentu, membingkai ulang realitas, atau bahkan mengaburkan fakta yang tidak menguntungkan bagi pihak tertentu. 

Dalam analisis wacana kritis, memahami ideologi tersembunyi menjadi langkah penting untuk mengidentifikasi kekuasaan yang bekerja di balik teks.

b. Membentuk Persepsi Publik

Pilihan kata tidak hanya menciptakan ideologi tersembunyi, tetapi juga secara langsung memengaruhi cara pembaca menilai suatu isu. 

Diksi yang dipilih dapat digunakan untuk membangun citra positif atau negatif terhadap tokoh, kebijakan, atau peristiwa tertentu, sehingga mengarahkan opini publik.

i. Mengubah Persepsi melalui Framing

Dalam teks berita, frasa seperti “subsidi harus lebih menguntungkan masyarakat yang kurang mampu” membangun persepsi bahwa kebijakan pemerintah berorientasi pada keadilan sosial. 

Kata “lebih menguntungkan” memberikan kesan positif terhadap kebijakan pemerintah meskipun dampaknya berupa kenaikan harga BBM.

ii. Dampak pada Opini Pembaca

Kata-kata seperti “uang rakyat harus tepat sasaran” membentuk persepsi bahwa subsidi sebelumnya tidak efisien atau adil. 

Dengan demikian, pembaca diarahkan untuk menerima bahwa perubahan kebijakan ini adalah langkah yang perlu untuk mengatasi ketidakadilan tersebut.

iii. Pembingkaian Emosi Pembaca

Pilihan kata juga dapat membangkitkan emosi tertentu. Frasa “dalam situasi yang sulit” membangun empati pembaca terhadap pemerintah, sementara “70 persen subsidi dinikmati oleh kelompok masyarakat mampu” menciptakan kesan ketidakadilan yang perlu diperbaiki.

c. Alat Mendeteksi Bias

Pilihan kata adalah alat yang sangat kuat dalam membentuk teks berita dan mengarahkan pembaca. 

Nilai ideologi yang tersembunyi di balik diksi dapat memengaruhi cara pembaca memahami isu, sementara framing yang cermat dapat membangun opini publik yang mendukung sudut pandang tertentu. 

Analisis kritis terhadap pilihan kata memungkinkan pembaca untuk membaca teks secara lebih sadar, mengidentifikasi bias, dan mempertanyakan narasi yang disampaikan. 

Dalam konteks ini, pilihan kata bukan hanya soal estetika bahasa, tetapi juga alat untuk menciptakan pengaruh sosial dan politik yang mendalam.

6. Penutup dan Refleksi

a. Ringkasan 

Pilihan kata dalam teks bukan sekadar soal estetika atau gaya penulisan, melainkan elemen yang sarat makna, ideologi, dan hubungan sosial. 

Dalam analisis wacana kritis, diksi berfungsi sebagai peranti untuk mengungkap bagaimana realitas direpresentasikan, hubungan sosial dibangun, dan sikap ideologis disisipkan ke dalam teks.

Konsep nilai eksperiental, relasional, dan ekspresif menurut Fairclough menunjukkan bahwa setiap kata membawa dimensi makna yang lebih dalam, merefleksikan pandangan dunia penghasil teks, serta memengaruhi cara pembaca memahami suatu isu. 

Melalui analisis kritis terhadap pilihan kata, kita dapat mengungkap ideologi tersembunyi, bias, dan strategi framing yang digunakan untuk membentuk persepsi publik.

Sebagai contoh, dalam pemberitaan tentang kebijakan kenaikan harga BBM, frasa seperti “pilihan terakhir” dan “penyesuaian harga” tidak hanya menyampaikan informasi, tetapi juga membangun narasi yang menempatkan pemerintah sebagai pihak yang bertanggung jawab dalam menghadapi situasi sulit. Dengan demikian, pilihan kata menjadi alat penting dalam memengaruhi opini publik.

b. Refleksi untuk Pembaca

Dalam era informasi yang semakin kompleks, menjadi pembaca yang kritis adalah keterampilan yang sangat berharga. Berikut adalah beberapa langkah praktis yang dapat diambil.

  1. Perhatikan Kata-Kata yang Dipilih Secara Strategis
    Amati bagaimana kata-kata tertentu digunakan untuk menggambarkan peristiwa, tokoh, atau kebijakan. Misalnya, apakah kata-kata tersebut cenderung netral, positif, atau negatif?
  2. Kenali Ideologi yang Tersembunyi
    Tanyakan pada diri sendiri: Apakah ada agenda atau pandangan dunia tertentu yang coba disisipkan melalui pilihan kata? Siapa yang diuntungkan atau dirugikan oleh narasi ini?
  3. Bandingkan Berbagai Sumber
    Bacalah pemberitaan dari berbagai media untuk melihat bagaimana perbedaan pilihan kata menciptakan framing yang berbeda terhadap isu yang sama.
  4. Pahami Konteks Sosial dan Politik
    Pilihan kata sering kali mencerminkan dinamika sosial dan politik. Memahami konteks ini akan membantu mengidentifikasi bias atau framing yang lebih halus.

c. Sebuah Ajakan

Pilihan kata adalah cerminan kekuasaan bahasa yang bekerja di balik teks. Sebagai pembaca yang sadar, kita memiliki tanggung jawab untuk tidak hanya mengonsumsi informasi secara pasif, tetapi juga mempertanyakan, menganalisis, dan mendekonstruksi makna yang tersembunyi di balik kata-kata. 

Dengan keterampilan analisis wacana kritis, kita dapat menjadi pembaca yang lebih tanggap terhadap manipulasi bahasa dan lebih mampu mengambil posisi yang bijak dalam berbagai isu.

Mari jadikan analisis kritis terhadap pilihan kata sebagai kebiasaan, karena di dalam bahasa terdapat kekuatan yang mampu membentuk dunia—baik secara nyata maupun persepsi kita terhadapnya.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *