Analisis Wacana Kritis (AWK) atau Critical Discourse Analysis (CDA) merupakan pendekatan mutakhir dalam kajian wacana. AWK dilahirkan untuk membongkar ideologi, kekuasaan, ketidaksetaraan, ketimpangan, dan berbagai macam kepentingan lain di balik penggunaan bahasa.
AWK memandang wacana sebagai sebuah praktik sosial. Wacana dipahami sebagai representasi ideologi yang di dalamnya melibatkan kekuasaan. Artinya, wacana merupakan sebuah tindakan yang dapat memengaruhi tatanan masyarakat karena memiliki kekuasaan tersebut.
Munculnya analisis wacana kritis
AWK sebagai sebuah aliran dapat dikatakan mulai muncul pada akhir abad XX dalam sebuah simposium kecil di Amsterdam pada tahun 1991 yang diprakarsai oleh Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, Gunther Kress, Theo van Leeuwen, dan Ruth Wodak (Wodak dan Meyer, 2010: 3). Sebelum itu, AWK sebenarnya sudah dimulai melalui aliran linguistik kritis yang berkembang di Amerika dan Australia pada akhir 1970-an dengan pelopor Roger Fowler dkk. yang mengikuti pemikiran Halliday.
AWK adalah sebuah tipe analisis wacana yang utamanya mengkaji penyalahgunaan kekuasaan sosial, dominansi, dan ketidakadilan yang direproduksi dalam teks dan percakapan dalam konteks sosial dan politik. Dengan kata lain, AWK ingin melawan ketidaksetaraan sosial (van Dijk, 2001: 352).
AWK terinspirasi dari aliran Frankfurt sebelum Perang Dunia II (Agger 1992 dan Rasmussen 1996 dalam van Dijk, 2001: 352). Kala itu di Jerman sedang berlangsung proses propaganda besar-besaran Hitler. Media dipenuhi oleh prasangka, retorika, dan propaganda. Media menjadi alat dari pemerintah untuk mengontrol publik, menjadi sarana pemerintah untuk mengobarkan semangat perang. Dari situ, aliran Frankfurt melahirkan aliran kritis yang mengasumsikan adanya kekuatan-kekuatan yang berbeda dalam masyarakat yang mengontrol proses komunikasi (Eriyanto, 2001: 23).
Prinsip dasar analisis wacana kritis
Ada beberapa syarat dalam wacana yang harus dipenuhi supaya kajian kritis dapat efektif (Wodak, 1996: 17–20; Titscher dkk., 2000: 146; van Dijk, 2001: 353). Pertama, AWK berhubungan dengan dan mengkaji masalah sosial. AWK adalah analisis yang bersifat linguistik dan semiotik atas proses-proses dan permasalahan sosial dan kultural. Oleh karena itu, AWK bersifat interdisipliner.
Kedua, relasi kekuasaan tidak tersambung dengan baik. AWK mengkaji kekuasaan dalam wacana dan atas wacana. Ketiga, wacana mengangkat masyarakat dan budaya. Budaya dan masyarakat secara dialektis berhubungan dengan wacana: masyarakat dan budaya dibentuk oleh wacana dan sekaligus menyusun wacana. Setiap penggunaan bahasa mereproduksi dan mentransformasi masyarakat dan budaya, termasuk relasi kekuasaan.
Keempat, wacana mengandung ideologi. Ideologi merupakan cara tertentu untuk mewakili dan membangun masyarakat yang mereproduksi kekuasaan yang tidak seimbang, hubungan dominasi, dan eksploitasi. Untuk memastikannya, teks perlu dianalisis guna meneliti interpretasi, penerimaan, dan efek sosialnya.
Kelima, wacana bersifat historis dan hanya bisa dipahami terkait dengan konteksnya. Makna suatu wacana tergantung pada penggunaannya dalam situasi tertentu. Wacana tidak hanya tertanam dalam suatu ideologi, sejarah, atau budaya tertentu, namun juga berhubungan dengan wacana-wacana lain. Artinya, wacana dalam AWK bersifat intertekstual.
Keenam, ada hubungan antara teks dengan masyarakat. Hubungan tersebut bersifat tidak langsung, namun terwujud melalui perantara, seperti kognisi. Ketujuh, analisis wacana bersifat interpretatif dan eksplanatif. Analisis kritis menyiratkan adanya suatu metodologi sistematis dan hubungan antara teks dan kondisi sosial, ideologi, dan relasi kekuasaan. Interpretasi senantiasa bersifat dinamis dan terbuka bagi konteks dan informasi baru.
Terakhir, wacana merupakan bentuk dari aksi sosial. AWK dipahami sebagai sebuah disiplin ilmu ilmiah sosial yang eksplisit atas fokus perhatiannya dan cenderung menerapkan penemuannya pada masalah praktis.Van Dijk (2001) menyebutkan bahwa penggunaan bahasa, wacana, dan interaksi verbal merupakan level mikro (micro-level) dari keadaan sosial. Sementara itu, kekuasaan, dominansi, dan ketidakadilan antara kelompok sosial merupakan bagian dari level makro (macro-level) dalam analisis. AWK secara teoretis menjembatani “jurang” antara pendekatan mikro dan makro tersebut. Setidaknya, ada lima ranah yang dapat dikaji dengan AWK, yaitu ketidakadilan gender, wacana media, wacana politik, etnosentrisme dan rasisme, serta dominasi kelompok dalam institusi dan bidang tertentu.
Analisis wacana kritis vs pragmatik
Jika dikaitkan dengan pendekatan dalam kajian wacana yang lain, AWK merupakan kelanjutan dari analisis wacana pragmatik dan sosiolinguistik. Kedua model analisis wacana terakhir itu termasuk dalam analisis wacana pendekatan sosiologis empiris.
Baik AWK maupun pragmatik sama-sama melibatkan konteks dalam kajiannya. Keduanya memandang wacana sebagai bahasa yang terikat konteks. Hanya saja, seperti yang dijelaskan di atas AWK juga melibatkan kekuasaan dan ideologi. AWK tidak hanya memandang wacana sebagai bahasa yang digunakan, tetapi juga bahasa yang digunakan untuk memengaruhi tatanan masyarakat. Singkatnya, pragmatik hanya memandang wacana sebagai tindakan berbahasa, sementara AWK memandang wacana sebagai tindakan sosial.
Sebagai contoh, misalnya dua tuturan yang disampaikan oleh dua media massa yang berbeda berikut.
- Polisi menembaki para mahasiswa yang sedang melakukan demonstrasi.
- Para mahasiswa yang tengah melakukan demonstrasi tertembak.
Dalam pragmatik, tuturan (1) dipandang sebagai tuturan yang menonjolkan polisi dan merupakan jawaban dari pertanyaan, “Siapa yang menembaki para mahasiswa?” Sementara itu, tuturan (2) dipandang sebagai tuturan yang menonjolkan para mahasiswa dna merupakan jawaban dari pertanyaan, “Apa yang dialami para mahasiswa?” Dengan kata lain, pragmatik hanya membedah fungsi dari setiap tuturan.
Sementara itu, dalam AWK, hasil kajian pragmatik di atas ditafsirkan lebih lanjut dengan melibatkan kepentingan tertentu. Kedua tuturan tersebut tidak lahir begitu saja, melainkan ada motif kepentingan yang menentukan bentuk kebahasaan yang tertuturkan.
Dengan mengatakan tuturan (1), media tersebut merepresentasikan polisi sebagai pelaku yang kejam. Media itu punya kepentingan untuk menyalahkan polisi yang secara tidak manusiawi menembaki para mahasiswa.
Di sisi lain, dengan menyampaikan tuturan (2), media itu merepresentasikan para mahasiswa korban yang tidak sengaja kena tembak. Hal itu terungkap melalui pemilihan verba tertembak yang berarti ‘tidak sengaja ditembak’. Media itu punya kepentingan untuk melindungi atau menyembunyikan pelaku penembakan, yaitu polisi.
Simpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, AWK merupakan kajian wacana yang tidak bersifat positivistik atau bersifat netral. Sesuai namanya, AWK merupakan kajian wacana yang kritis yang selalu menaruh “kecurigaan” terhadap sebuah penggunaan bahasa. Ketika berwacana, orang memiliki kepentingan dan kepentingan itu berkaitan dengan kekuasaan dan ideologi.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: