Bahasa bukan hanya sarana komunikasi, tetapi juga alat kekuasaan. Melalui bahasa, ideologi disebarkan, kebijakan dilegitimasi, dan bahkan ketidaksetaraan bisa dipelihara. Inilah titik berangkat dari Analisis Wacana Kritis (AWK), atau dalam literatur internasional dikenal sebagai Critical Discourse Analysis (CDA).
Pendekatan ini tidak puas hanya dengan membaca teks apa adanya. AWK berusaha menyingkap apa yang tersirat di balik teks, yaitu ideologi, relasi kuasa, dan kepentingan tertentu. Dengan AWK, kita dilatih untuk melihat bahasa sebagai praktik sosial, bukan sekadar rangkaian kata.
Pengertian dan Latar Belakang Analisis Wacana Kritis
Analisis Wacana Kritis memandang wacana sebagai praktik sosial yang tak pernah netral. Setiap teks lahir dalam konteks sosial, politik, budaya, dan historis tertentu. Karena itu, bahasa dipahami bukan hanya sebagai sarana penyampai informasi, tetapi juga sebagai alat untuk mempertahankan atau menantang kekuasaan.
Akar AWK dapat ditelusuri ke tahun 1970-an lewat linguistik kritis yang dipelopori Roger Fowler dan rekan-rekannya, berangkat dari teori linguistik sistemik Halliday. Gelombang berikutnya terjadi pada tahun 1991 ketika para ahli seperti Teun A. van Dijk, Norman Fairclough, Gunther Kress, Theo van Leeuwen, dan Ruth Wodak menginisiasi simposium di Amsterdam. Peristiwa ini dianggap sebagai titik resmi lahirnya CDA sebagai aliran akademik.
AWK juga terinspirasi dari aliran Frankfurt, yang sejak awal abad ke-20 menaruh perhatian pada peran media dalam menyebarkan propaganda, khususnya pada era Nazi di Jerman. Sejak saat itu, AWK berkembang sebagai pendekatan kritis lintas disiplin—menggabungkan linguistik, sosiologi, politik, hingga kajian budaya.
Prinsip-Prinsip Dasar dalam Analisis Wacana Kritis
Agar efektif, AWK berpegang pada sejumlah prinsip yang menjadi fondasi untuk memahami bagaimana bahasa bekerja dalam kaitannya dengan kekuasaan dan ideologi. Prinsip-prinsip ini tidak hanya bersifat teoretis, tetapi juga dapat dilihat dalam praktik sehari-hari melalui teks media, pidato politik, maupun interaksi sosial.
1. Mengatasi Masalah Sosial
AWK selalu berangkat dari persoalan sosial, terutama yang berkaitan dengan ketidakadilan, diskriminasi, atau dominasi. Misalnya, ketika media menggambarkan buruh sebagai “biang kerusuhan” dalam demonstrasi, analisis kritis membantu kita melihat bahwa label itu memperkuat stigma dan menutupi alasan aksi mereka. Dengan begitu, AWK menjadi alat untuk membaca realitas sosial secara lebih adil.
2. Kekuasaan dalam Wacana
Bahasa tidak pernah lepas dari relasi kuasa. Kata-kata, struktur kalimat, bahkan urutan informasi bisa dipakai untuk meneguhkan otoritas kelompok dominan. Contohnya, ketika pemerintah menyebut kenaikan BBM sebagai “pilihan terakhir demi rakyat kecil,” frasa itu mengandung strategi legitimasi. Ia membuat kebijakan terasa bijak, meski ada kelompok masyarakat yang jelas dirugikan.
3. Keterkaitan Wacana, Masyarakat, dan Budaya
Wacana selalu terkait dengan konteks budaya dan sosial. Di Indonesia, berita tentang isu LGBT sering dipengaruhi nilai budaya mayoritas yang konservatif, sehingga representasi media lebih banyak bernuansa negatif. Namun, seiring berkembangnya wacana hak asasi manusia, pemberitaan juga bisa berubah. Ini menunjukkan wacana dan budaya saling membentuk.
4. Ideologi dalam Wacana
Setiap teks memuat ideologi tertentu, meski tidak selalu eksplisit. Misalnya, dalam berita tentang reshuffle kabinet, media tertentu bisa menonjolkan narasi “darah segar untuk stabilitas,” sementara media lain lebih kritis dengan menyebut “bagi-bagi jabatan.” Dua framing berbeda itu menunjukkan ideologi yang melatarbelakangi redaksi masing-masing.
5. Wacana Bersifat Historis
Tidak ada wacana yang muncul begitu saja. Ia selalu dipengaruhi sejarah dan intertekstualitas. Pemberitaan tentang Papua, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari sejarah panjang konflik politik dan relasi pusat–daerah. Setiap berita hari ini membawa jejak wacana sebelumnya, baik berupa stereotipe maupun narasi nasionalisme.
6. Hubungan Teks dengan Masyarakat Bersifat Tidak Langsung
Pengaruh teks pada masyarakat terjadi melalui kognisi—yakni bagaimana pembaca menafsirkan teks sesuai pengalaman sosialnya. Sebagai contoh, berita tentang korupsi pejabat bisa ditafsirkan berbeda: sebagian orang melihatnya sebagai bukti sistem yang bobrok, sebagian lain menganggapnya sekadar kasus individu. Interpretasi ini membentuk opini publik yang beragam.
7. Interpretasi dan Penjelasan
AWK tidak hanya menafsirkan isi teks, tetapi juga menjelaskan mengapa teks disusun dengan cara tertentu. Misalnya, analisis bisa menunjukkan bahwa pilihan istilah “demonstrasi anarkis” bukan kebetulan, melainkan strategi untuk melemahkan legitimasi aksi protes. Dengan begitu, AWK membantu mengungkap logika ideologis di balik berita.
8. Wacana sebagai Aksi Sosial
Bahasa bukan sekadar alat komunikasi; ia juga sebuah tindakan sosial. Pidato seorang presiden yang menyatakan “kita sedang perang melawan narkoba” bukan hanya kalimat retoris, tetapi juga tindakan politik yang memberi legitimasi pada kebijakan represif. Begitu pula, kampanye media dengan slogan “Cinta Produk Indonesia” adalah upaya wacana untuk memengaruhi perilaku konsumsi masyarakat.
Ranah Kajian Analisis Wacana Kritis
Tidak semua teks berita layak atau relevan untuk dikaji dengan Analisis Wacana Kritis (AWK). AWK lebih tepat digunakan pada teks yang berhubungan dengan isu sosial, politik, dan ideologi, bukan pada berita-berita ringan seperti jadwal konser musik, cuaca, atau skor pertandingan olahraga. Berikut beberapa ranah kajian yang sesuai, lengkap dengan contoh nyata di Indonesia.
1. Ketidakadilan Gender
Hal ini berkaitan dengan cara media menampilkan perempuan dalam peran stereotip atau bagaimana wacana feminis melawan dominasi patriarki. Media sering kali menggambarkan perempuan secara stereotip, misalnya sebagai sosok yang emosional, lemah, atau sekadar pelengkap. Contoh bisa dilihat dalam pemberitaan tentang kontes kecantikan Miss World 2013 di Indonesia: sebagian media menyorot ajang ini sebagai promosi budaya, sementara lainnya mengkritik sebagai eksploitasi tubuh perempuan. AWK dapat dipakai untuk melihat bagaimana bahasa media ikut melanggengkan atau menantang dominasi patriarki.
2. Wacana Media
Berita bisa dipakai untuk membingkai realitas, menonjolkan atau menyembunyikan sisi tertentu dari suatu peristiwa. Media tidak hanya melaporkan fakta, tetapi juga membingkai realitas. Contoh: demo buruh kerap diberitakan berbeda. Media A menekankan soal lalu lintas macet dan jumlah massa, Media B memberi ruang pada suara serikat buruh, sedangkan Media C menyoroti bentrokan dengan aparat. Analisis wacana kritis membantu membongkar pilihan kata, struktur teks, dan sikap yang mengarahkan opini publik.
3. Wacana Politik
Bahasa politik sering sarat retorika. Contoh nyata adalah reshuffle kabinet. Media tertentu menggambarkannya sebagai “darah segar demi stabilitas,” sementara lainnya menulis “bagi-bagi jabatan.” Perbedaan sikap ini menunjukkan ideologi redaksi sekaligus relasi kuasa yang coba diteguhkan melalui bahasa.
4. Etnosentrisme dan Rasisme
Kasus konflik Ambon 1999 diliput berbeda. Republika menulisnya sebagai “pembantaian,” sedangkan Kompas dan Suara Pembaruan menyebutnya “konflik” atau “pertikaian.” Pilihan istilah ini tidak netral, melainkan terkait cara media membingkai identitas etnis dan agama. AWK membantu melihat bagaimana stereotip etnis diproduksi atau dilawan lewat teks media.
5. Dominasi dalam Institusi
Bahasa birokrasi, hukum, atau pendidikan sering digunakan untuk mempertahankan hierarki. Misalnya, dalam regulasi pemerintah, istilah “masyarakat tidak berhak” atau “kewajiban warga” lebih sering muncul dibanding “hak warga negara.” Pilihan bahasa ini menunjukkan relasi kuasa yang lebih menekankan kontrol daripada pemberdayaan.
Kesimpulan: AWK sebagai Alat Baca Kritis
Analisis Wacana Kritis adalah alat intelektual untuk membongkar hubungan antara bahasa, kekuasaan, dan ideologi. Melalui AWK, kita diajak untuk:
- Menyadari bahwa bahasa tidak netral.
- Melihat bagaimana media dan politik menggunakan bahasa untuk memengaruhi masyarakat.
- Melatih diri membaca berita, pidato, atau iklan dengan sikap kritis.
Dengan kemampuan ini, kita tidak hanya menjadi konsumen teks, tetapi juga pembaca kritis yang mampu menyingkap kepentingan di balik bahasa. Inilah bekal penting bagi seorang sarjana bahasa, sastra, dan budaya Indonesia untuk berkontribusi pada masyarakat yang lebih adil dan reflektif.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik
