creative brief

Dalam dunia copywriting dan periklanan, creative brief adalah dokumen ringkas yang berisi arahan strategis untuk tim kreatif dalam merancang sebuah iklan atau konten. Creative brief menjadi “kompas” yang menuntun proses kreatif agar tidak melenceng dari tujuan komunikasi. Tanpa creative brief, ide iklan rawan berjalan ke mana-mana, sekadar kreatif tetapi tidak efektif.

Creative brief tidak perlu panjang, justru harus singkat, padat, dan jelas. Fungsinya seperti peta jalan yang memberi tahu: siapa audiensnya, apa yang ingin kita katakan, dan bagaimana cara mengatakannya.

Biasanya, creative brief disusun oleh account planner atau strategist yang berhubungan langsung dengan klien. Namun, dalam banyak kasus, sering kali tim kreatif juga ikut merumuskannya karena klien belum terbiasa dengan konsep ini.

  • Yang menyusun: account planner atau strategist, bisa juga bersama tim kreatif.
  • Yang menggunakan: tim kreatif (copywriter, art director, desainer, videografer).

Fungsi Creative Brief dalam Copywriting

Creative brief ibarat kompas atau penunjuk arah bagi tim kreatif. Tanpa arahan yang jelas, ide iklan bisa saja tampak keren, tetapi melenceng dari tujuan komunikasi dan gagal menyasar audiens yang tepat. Berikut beberapa fungsi penting creative brief dalam praktik copywriting.

1. Mengarahkan Ide Kreatif

Creative brief memastikan tim kreatif, baik copywriter maupun art director, tahu persis apa pesan utama yang ingin disampaikan dan siapa audiens yang harus disapa. Dengan begitu, ide tidak melebar ke arah yang tidak relevan. 

Misalnya, sebuah UMKM usaha laundry mencatat dalam brief bahwa targetnya adalah mahasiswa kos di Jogja yang sibuk kuliah dan organisasi. Dari sini copywriter akan tahu, tone iklan harus santai dan relatable, bukan formal atau korporat. Art director juga tahu bahwa visualnya sebaiknya menampilkan mahasiswa kos, bukan keluarga muda di rumah mewah.

2. Menjaga Konsistensi Brand

Iklan yang baik bukan hanya kreatif, tetapi juga konsisten dengan identitas brand dan tujuan pemasaran. Creative brief menjadi pengingat agar semua ide tetap berada di jalur yang sama. Tanpa konsistensi, audiens bisa bingung mengenai citra brand

Misalnya, ada sebuah kedai kopi lokal yang ingin diposisikan sebagai “ramah mahasiswa, santai, dan bersahabat.” Jika tidak ada brief, bisa saja tim kreatif membuat iklan dengan gaya formal seperti kafe premium. Akibatnya, pesan melenceng dari positioning awal. Dengan brief, semua pihak sepakat bahwa gaya komunikasinya harus hangat dan down-to-earth.

3. Menghemat Waktu dan Biaya

Brief yang jelas membuat proses kreatif lebih efisien. Tim tidak perlu berulang kali “coba-coba” karena jalurnya sudah ditentukan. Hal ini sangat penting dalam konteks UMKM atau proyek mahasiswa yang waktu dan anggarannya sering kali terbatas. 

Contoh: jika dalam brief sudah disebutkan media yang dipilih adalah Instagram carousel dan reels, tim kreatif tidak perlu membuang waktu membuat konsep untuk billboard atau TVC. Fokus langsung diarahkan ke format digital yang sudah disepakati.

4. Menjadi Dasar Evaluasi

Creative brief juga berfungsi sebagai tolak ukur evaluasi. Ketika ide sudah dieksekusi, hasilnya bisa dibandingkan dengan apa yang tertulis di brief. Apakah pesan utamanya tersampaikan? Lalu, apakah target audiens terwakili dengan tepat? Kemudian, apakah tone of voice sesuai? 

Misalnya, sebuah iklan radio untuk produk herbal diminta agar terdengar meyakinkan tapi tetap bersahabat. Jika hasil akhir iklannya justru terlalu bombastis atau menyerupai iklan obat generik di pasar malam, jelas itu melenceng dari brief. Dengan adanya brief, klien dan tim kreatif punya dasar objektif untuk menilai.

Singkatnya …

Creative brief adalah jembatan antara strategi pemasaran dengan eksekusi kreatif. Brief menyatukan harapan klien dengan karya tim kreatif, sekaligus menghindarkan keduanya dari miskomunikasi. Dengan brief yang kokoh, copywriter tidak lagi bekerja dalam ruang kosong, melainkan dalam kerangka yang jelas, terarah, dan terukur.

Perbedaan Creative Brief, Brand Brief, dan Campaign Brief

Dalam praktik copywriting maupun periklanan, istilah brief sering muncul dalam berbagai bentuk. Jika tidak dipahami dengan jelas, kita bisa bingung membedakan dokumen mana yang bersifat strategis, mana yang operasional. Oleh karena itu, penting untuk menegaskan perbedaan di antara brand brief, campaign brief, dan creative brief, serta brand guideline.

1. Brand Brief

Brand brief adalah dokumen yang berisi gambaran besar identitas dan arah sebuah brand. Di dalamnya biasanya memuat visi, misi, nilai inti (core values), positioning, hingga target pasar secara umum. Fungsinya lebih strategis dan jangka panjang, bukan untuk satu iklan tertentu, tetapi untuk keseluruhan arah komunikasi brand.

Contohnya, brand brief sebuah kedai kopi lokal mungkin mencantumkan positioning sebagai “kopi ramah mahasiswa dengan suasana santai.” Dokumen ini tidak menyebutkan detail iklan, tetapi memberikan kerangka umum agar semua komunikasi merek tetap konsisten.

2. Campaign Brief

Campaign brief lebih sempit daripada brand brief, tetapi tetap bersifat strategis. Isinya adalah panduan untuk sebuah kampanye pemasaran tertentu, misalnya “Kampanye Ramadan” atau “Kampanye Back to School.” 

Dalam dokumen ini tercantum tujuan spesifik kampanye (misalnya meningkatkan penjualan 30% selama bulan Ramadan), target audiens yang dituju, channel yang digunakan (TV, radio, media sosial), serta pesan utama yang ingin disampaikan.

Jadi, campaign brief menjembatani visi besar brand dengan kebutuhan jangka menengah—yaitu kampanye yang berjalan dalam periode tertentu.

3. Creative Brief

Creative brief adalah dokumen paling praktis dan operasional yang berfungsi menuntun tim kreatif dalam merancang satu output iklan atau konten tertentu. Dokumen ini biasanya merujuk langsung pada kebutuhan spesifik: poster, iklan radio 30 detik, video televisi, atau reels Instagram. Elemen yang tercantum di dalamnya jauh lebih konkret, seperti key message, USP, tone of voice, dan deliverables.

Dengan demikian, creative brief adalah “turunan” dari brand brief dan campaign brief. Creative brief mengambil arah besar dari keduanya, lalu memadatkannya menjadi arahan operasional yang jelas bagi copywriter dan desainer.

4. Brand Guideline

Selain ketiga dokumen di atas, ada pula istilah brand guideline. Ini bukan brand brief, melainkan dokumen manual yang berisi aturan teknis penggunaan identitas visual dan verbal sebuah brand. Brand guideline biasanya mencakup logo (versi warna & monokrom), palet warna, tipografi, tone of voice, bahkan contoh caption media sosial.

Jika brand brief lebih strategis dan konseptual, brand guideline lebih teknis dan visual. Singkatnya:

  • brand brief → identitas & strategi brand (visi, misi, positioning);
  • brand guideline → aturan teknis konsistensi (logo, warna, tone, gaya visual).

Keduanya sama-sama penting, tetapi berfungsi di level berbeda.

Jadi, …

  • Brand brief → dokumen strategis jangka panjang (identitas brand).
  • Campaign brief → dokumen strategis jangka menengah (satu kampanye).
  • Creative brief → dokumen operasional jangka pendek (satu output iklan/konten).
  • Brand guideline → aturan teknis konsistensi identitas brand.
DokumenFokus & FungsiIsi UtamaCakupan WaktuContoh
Brand BriefIdentitas & strategi besar brand. Menjadi fondasi semua aktivitas komunikasi.Visi, misi, value, positioning, target pasar umum.Jangka panjang (strategis)Kedai kopi: “Visi: jadi pilihan utama mahasiswa Jogja. Positioning: ramah & santai.”
Campaign BriefPanduan strategis untuk satu kampanye tertentu.Tujuan kampanye, target audiens, pesan utama, channel, periode kampanye.Jangka menengah (periode kampanye)Kampanye Ramadan: “Tujuan: naikkan penjualan 30%. Target: keluarga muda.”
Creative BriefArahan praktis untuk membuat satu output iklan/konten.Latar belakang produk, tujuan iklan, audiens spesifik, insight, pesan utama, USP, tone, media.Jangka pendek (per iklan/konten)Poster IG: “Headline: Ngopi asik, dompet aman. Audiens: mahasiswa 18–24.”
Brand GuidelineAturan teknis menjaga konsistensi identitas brand di semua media.Logo (versi warna & hitam putih), palet warna, tipografi, tone of voice, contoh visual.Berkelanjutan (operasional teknis)Manual visual: aturan logo, warna hijau pastel, font sans-serif ramah.

Isi Creative Brief: Dari Analisis ke Strategi Kreatif

Sebuah creative brief adalah peta arah bagi tim kreatif yang menjembatani hasil riset brand dan audiens yang sudah dilakukan, lalu mengubahnya menjadi strategi komunikasi yang jelas, fokus, dan inspiratif.

Dokumen ini biasanya singkat, cukup satu hingga dua halaman, tetapi berisi informasi yang mampu memicu ide. Setiap elemen di dalamnya harus membantu tim kreatif memahami: siapa brand-nya, siapa audiensnya, apa masalahnya, dan apa yang ingin dikatakan.

Berikut adalah delapan komponen utama creative brief yang disusun berdasarkan alur berpikir strategis.

1. Brand Identity

Elemen pertama creative brief adalah identitas dasar brand, siapa mereka dan bagaimana mereka ingin tampil di mata publik. Bagian ini mencakup nama brand, logo, warna, tipografi, tagline, dan nilai-nilai (value) yang ingin ditonjolkan. Semua unsur visual dan verbal ini harus membentuk karakter yang konsisten.

Contoh:

  • Nama: Laundry Express
  • Tagline: “Bersih Cepat, Wangi Tahan Lama”
  • Logo: Bentuk gelembung sabun dengan huruf melengkung
  • Warna utama: Biru muda dan putih (#6EB5FF, #FFFFFF)
  • Tipografi: Sans-serif, modern, mudah dibaca
  • Nilai/value: Kecepatan, kebersihan, kepercayaan

Elemen-elemen ini penting bukan hanya untuk aspek estetika, tetapi juga agar ide kreatif nantinya selaras dengan karakter brand. Misalnya, Laundry Express yang bernuansa modern dan cepat tentu membutuhkan tone visual yang ringan dan bersih, bukan mewah atau vintage.

2. Brand Image

Jika brand identity adalah “siapa kita”, brand image adalah “apa yang orang pikirkan tentang kita.” Bagian ini menjelaskan persepsi publik terhadap brand saat ini: apakah brand sudah dikenal? Apakah dianggap murah, premium, ramah, atau kaku?

Persepsi ini bisa berbeda dengan identitas yang diinginkan brand. Maka, tugas tim kreatif adalah menjembatani keduanya: menggeser brand image menuju posisi ideal.

Contoh:
Laundry Express dikenal sebagai laundry murah untuk mahasiswa.
Namun, citra itu kadang membuat orang menganggap kualitasnya “biasa saja.”
Kampanye baru ingin memperkuat image: murah, tapi tetap premium dan profesional.

Bagian ini memberi arah bagi pesan kreatif: bukan hanya menonjolkan harga, tapi juga menegaskan kualitas pelayanan.

3. USP dan Brand Positioning

Setiap brand harus punya alasan yang membedakannya dari kompetitor. Di sinilah kita menuliskan Unique Selling Proposition (USP), atau keunggulan utama yang menjadi “daya tarik jual.” Lalu, brand positioning menunjukkan bagaimana brand ingin dipersepsikan dibanding pesaing di benak konsumen.

Formulanya sederhana:
[Nama brand] adalah [kategori produk] untuk [target audiens] yang [kebutuhan utama], dengan [nilai pembeda].

Contoh:
Laundry Express adalah jasa laundry untuk mahasiswa sibuk yang ingin hasil cepat dan wangi tahan lama, dengan harga yang tetap bersahabat.

Dengan rumusan ini, ide kreatif yang muncul akan selalu punya pijakan yang jelas: apa keunggulan utamanya dan siapa yang perlu tahu.

4. Buyer Persona

Bagian ini berisi profil audiens utama yang dituju iklan. Buyer persona disusun berdasarkan riset demografis dan psikologis, bukan hanya siapa mereka secara fisik, tapi juga apa yang mereka pikirkan, rasakan, dan lakukan.

Aspek DemografisAspek Psikologis
Usia, jenis kelamin, tempat tinggal, profesi, pendapatan, status keluargaKeinginan, masalah/pain point, kekhawatiran, gaya hidup, media yang digunakan

Contoh Persona:

Nama: Dina, 20 tahun
Profesi: Mahasiswi rantau di Yogyakarta
Masalah: Sering kehabisan pakaian bersih karena malas mencuci di kost.
Keinginan: Ingin tampil rapi dan wangi tanpa repot.
Kekhawatiran: Takut harga laundry mahal atau hasilnya tidak bersih.
Gaya hidup: Aktif di Instagram, suka promo dan tips hemat mahasiswa.

Persona ini membantu tim kreatif berbicara dengan manusia nyata, bukan “target pasar” abstrak. Setiap ide iklan nantinya harus menjawab kebutuhan atau kekhawatiran si “Dina” ini.

5. Insight Konsumen

Ini ibarat jantung dari creative brief. Insight berarti pemahaman mendalam tentang motivasi emosional di balik perilaku konsumen. Isi insight bukan fakta, tapi makna di balik fakta.

Misalnya:

Fakta: Mahasiswa menunda mencuci sampai pakaian habis.
Insight: Mereka menunda bukan karena malas semata, tapi karena mencuci dianggap pekerjaan merepotkan yang menghabiskan waktu belajar atau bersantai.

Insight yang baik bersifat spesifik, emosional, dan memberi arah solusi kreatif.

Contoh Insight:
“Mahasiswa ingin terlihat rapi tanpa harus mengorbankan waktu produktif mereka.”

Dari insight ini, tim kreatif bisa memunculkan ide kampanye bertema: “Karena waktu kamu berharga, biar kami yang urus cucianmu.”

Dengan demikian, insight adalah temuan psikologis atau “kebenaran kecil” tentang audiens yang bisa menjadi pintu masuk ide kreatif. Insight inilah yang membuat iklan terasa relevan dan dekat dengan kehidupan nyata audiens.

Jadi, insight adalah titik temu antara kebutuhan emosional audiens dengan solusi yang ditawarkan brand. Dalam creative brief, insight berfungsi sebagai jembatan antara “what the brand wants to say” dengan “what the audience cares about.”

Tanpa insight, pesan iklan mudah jatuh menjadi normatif: “Produk ini murah, bagus, dan berkualitas.” Tapi dengan insight, pesan bisa lebih menyentuh dan relevan.

Insight yang baik setidaknya memiliki 3 ciri, yaitu tidak terlalu umum, emosional, dan mampu mengarahkan solusi kreatif. Ini adalah kunci agar insight tidak berhenti sebagai data mentah, tetapi benar-benar berfungsi sebagai jantung dari sebuah creative brief.

a. Tidak Terlalu Umum

Insight yang terlalu umum tidak akan memberi arah yang tajam bagi tim kreatif. Kalimat seperti “Orang ingin hidup sehat” memang benar, tetapi terlalu luas dan bisa berlaku untuk siapa saja. Jika digunakan dalam brief, pernyataan semacam ini tidak membantu dalam menciptakan ide yang unik. 

Insight yang bagus harus lebih spesifik dan relevan dengan konteks audiens tertentu. Misalnya, “Orang ingin tetap bisa main dengan cucu tanpa cepat capek”. Kalimat ini jauh lebih fokus karena menggambarkan kebutuhan emosional spesifik dari kelompok usia lanjut. Dari insight semacam ini, ide kreatif bisa diarahkan ke pesan tentang kebugaran, keceriaan, dan keintiman hubungan keluarga.

b. Emosional, Bukan Hanya Rasional

Insight tidak berhenti pada angka atau logika belaka, melainkan menyentuh lapisan emosional audiens. Jika hanya rasional, contohnya “Skincare lokal lebih murah”, pesan tersebut sekadar membandingkan harga. Ini mungkin benar, tapi belum tentu menyentuh hati audiens. 

Insight yang baik justru menangkap perasaan di balik perilaku konsumen. Contoh yang lebih kuat adalah “Aku ingin tetap glowing meski budget pas-pasan.” Kalimat ini mengandung aspirasi dan emosi: keinginan untuk percaya diri, tampil cantik, tetapi tetap realistis dengan keterbatasan finansial. Dengan insight seperti ini, ide iklan dapat diarahkan pada narasi “cantik itu bisa terjangkau,” yang lebih kuat resonansinya di mata audiens.

c. Mengarahkan Solusi Kreatif

Ciri penting lain dari insight yang bagus adalah kemampuannya memberi arah bagi solusi kreatif. Insight tidak hanya berhenti pada pemahaman, tetapi juga membuka jalan untuk ide-ide segar. Misalnya, jika insightnya adalah “Mahasiswa sering menunda laundry sampai baju habis karena malas mencuci sendiri”, arah kreatifnya bisa berupa kampanye yang menekankan kemudahan dan kecepatan layanan laundry

Dari insight ini, tim kreatif bisa langsung membayangkan konten lucu tentang mahasiswa panik karena kehabisan pakaian, atau promosi “cuci kilat selesai 1 hari” yang sesuai dengan kebutuhan nyata audiens. Insight yang baik seperti “kompas” yang menuntun ke arah pesan yang tepat dan strategi komunikasi yang efektif.

6. Objectives/Tujuan

Objectives bukan sekadar “pesan yang ingin disampaikan”, melainkan “apa yang ingin dicapai”.
Pesan-pesan seperti

  • “Memberi tahu audiens bahwa ada promo 12/12,”
  • “Menjelaskan bahwa celana jeans Levi’s cocok untuk semua gender,”
  • “Menginformasikan bahwa HIT adalah obat nyamuk paling murah,”

menjelaskan apa yang ingin dikatakan secara eksplisit dalam iklan, bukan apa yang ingin dicapai dari komunikasi tersebut.

Sebuah iklan dibuat karena brand ingin menciptakan perubahan tertentu pada audiensnya,  entah perubahan dalam pengetahuan, sikap, atau perilaku.

Dengan demikian, pertanyaan kunci yang perlu diajukan adalah: “Setelah menonton atau melihat iklan ini, apa yang seharusnya audiens ketahui, rasakan, atau lakukan?”

Iklan yang baik tidak berhenti di “memberitahu,” tetapi bergerak ke tahap “memengaruhi.”
Oleh karena itu, dalam perumusan objectives, dikenal tiga tingkatan perubahan audiens:

  1. awareness objective, yaitu membuat audiens menyadari keberadaan brand atau nilai tertentu. Contoh, audiens tahu bahwa HIT adalah obat nyamuk termurah.
  2. attitude objective, yaitu menanamkan atau mengubah persepsi terhadap brand. Contoh, audiens percaya bahwa Levi’s bukan hanya untuk pria, tapi simbol kebebasan berekspresi semua gender.
  3. action objective, yaitu mendorong tindakan konkret dari audiens. Contoh, audiens tertarik mencoba promo 12.12 Shopee.

Dengan membedakan ketiganya, tim kreatif dapat menyusun ide yang tidak hanya menarik, tapi juga efektif untuk mencapai perubahan tertentu pada target audiens.

Dari Kampanye ke Strategi

Perbedaan antara objective kampanye dan objective kreatif bisa dilihat dari sudut pandang tujuannya. Jika objective kampanye menjawab pertanyaan, “Apa yang ingin dikatakan?”, objective kreatif menjawab, “Efek apa yang diinginkan dari komunikasi ini?”

Contohnya, mari bandingkan dua versi berikut:

BrandApa yang Ingin Dikatakan?Efek Apa yang Diinginkan dari Komunikasi Ini?
Shopee 12.12“Memberitahu promo diskon 12.12.”“Meningkatkan rasa antusias dan urgensi menjelang 12.12 agar pengguna membuka aplikasi lebih awal.”
Levi’s“Menjelaskan bahwa jeans Levi’s cocok untuk semua gender.”“Membangun persepsi bahwa Levi’s adalah simbol kebebasan berekspresi lintas gender.”
HIT“Menginformasikan bahwa HIT paling murah.”“Meyakinkan keluarga muda bahwa perlindungan dari nyamuk tidak harus mahal.”

Versi kedua lebih strategis karena berbicara tentang perubahan sikap dan persepsi, bukan sekadar transfer informasi.

Karakter Objectives yang Baik

Sebuah objective dalam creative brief idealnya memenuhi tiga kriteria, yaitu spesifik, terukur, dan berakar pada insight konsumen.

Pertama, objectives harus spesifik. Objectives menyebut dengan jelas perubahan yang diinginkan (misalnya: meningkatkan awareness, mengubah persepsi (attitude), mendorong tindakan (action).

Kedua, objectives harus terukur. Bila memungkinkan, efek objectives bisa diamati atau diukur (misalnya: kenaikan engagement atau peningkatan recall brand).

Ketiga, objectives berakar pada insight konsumen. Artinya, tujuan iklan harus merupakan respons terhadap kebutuhan emosional atau motivasi audiens, bukan sekadar arahan promosi.

Dengan prinsip ini, objectives bukan hanya target komunikasi, melainkan arah bagi seluruh tim kreatif dalam mengembangkan ide, tone, dan format pesan.

Agar lebih mudah dipahami, bayangkan sebuah brand lokal bernama Laundry Express. Objectives dari iklan tentang Laundry Express menjawab pertanyaan, “Perubahan apa yang diharapkan setelah audiens melihat iklan ini?”

Bukan hanya memberi tahu produk, tapi mengarahkan perubahan awareness, attitude, atau action.

Jenis TujuanContoh
AwarenessMahasiswa tahu bahwa ada Laundry Express di sekitar kampus.
AttitudeMahasiswa percaya bahwa Laundry Express cepat dan tepercaya.
ActionMahasiswa mencoba layanan Laundry Express minimal sekali.

Tujuan ini menjadi dasar evaluasi efektivitas iklan: apakah pesan berhasil mengubah cara berpikir atau perilaku audiens?

Singkatnya, objectives dalam creative brief adalah rumusan strategis tentang efek komunikasi yang diinginkan terhadap audiens. Objectives menjelaskan perubahan yang hendak dicapai, baik pada level kesadaran (awareness), sikap (attitude), maupun tindakan (action), dan menjadi jembatan antara insight konsumen dengan pesan kreatif yang akan dikembangkan.

7. Key Message/Pesan Utama

Key message adalah kalimat inti yang ingin ditanamkan ke benak audiens setelah melihat iklan. Kalimat ini harus singkat, padat, dan bernilai emosional.

Contoh:
“Laundry Express — Cepat, Bersih, dan Ramah Mahasiswa.”

Key message inilah yang nantinya akan “diterjemahkan” menjadi berbagai bentuk copywriting: headline, caption, jingle, atau slogan kampanye.

Kalimat ini bukan slogan baru, tapi core idea yang menjadi benang merah di semua materi komunikasi brand.

8. Media dan Deliverables

Bagian terakhir menjelaskan bagaimana dan di mana pesan disampaikan. Creative brief harus mencantumkan media utama, format konten, dan output konkret (deliverables) yang diharapkan.

Contoh:

  • Media: Baliho, papan pengumuman, majalah kampus, radio lokal, TV lokal, media sosial
  • Deliverables: poster, iklan display, iklan radio, TVC, dan reels Instagram 

Dengan kejelasan ini, tim kreatif bisa menyesuaikan gaya pesan dengan platform.

Keterkaitan Antarunsur

Setiap elemen dalam creative brief membentuk rantai logis yang utuh. Brand identity menunjukkan siapa kita, brand image dan positioning menunjukkan bagaimana kita ingin dilihat. Buyer persona dan insight menunjukkan siapa yang diajak bicara. Objectives menentukan arah komunikasi dan key message menjadi inti pesannya. Media & deliverables menjelaskan bagaimana pesan itu diwujudkan.

Cara Membuat Creative Brief

Menyusun creative brief bukan sekadar mengisi template, melainkan proses berpikir sistematis untuk menerjemahkan strategi pemasaran menjadi arahan praktis bagi tim kreatif. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan agar creative brief menjadi dokumen yang kuat dan bisa memicu ide-ide iklan yang relevan.

1. Riset Klien & Produk

Langkah pertama adalah memahami siapa klien dan apa produk atau layanan yang ditawarkan. Riset ini mencakup sejarah brand, visi, misi, serta keunggulan produknya. Dengan memahami konteks pasar, tim kreatif tidak akan salah arah. 

Misalnya, sebelum membuat iklan untuk sebuah UMKM warung bakso, kita perlu tahu apa keunikan bakso tersebut dibandingkan pesaing—apakah ukurannya jumbo, kuahnya pedas, atau topping-nya bervariasi.

2. Riset Audiens

Setelah memahami produk, langkah berikutnya adalah meneliti siapa yang menjadi target audiens. Riset audiens dapat dilakukan melalui wawancara, survei, observasi, atau membaca ulasan konsumen. Tujuannya adalah menemukan buyer persona yang spesifik. 

Misalnya, untuk warung bakso tadi, audiens utamanya mungkin mahasiswa kos yang mencari makanan murah, kenyang, dan praktis. Mengetahui hal ini membuat pesan iklan lebih terarah.

3. Identifikasi Tujuan Komunikasi

Creative brief harus jelas menetapkan tujuan komunikasi. Apakah ingin memperkenalkan brand (awareness), memperbaiki citra (positioning), atau mendorong penjualan (conversion)? 

Misalnya, jika sebuah laundry baru dibuka di kawasan kampus, tujuannya mungkin awareness: membuat mahasiswa tahu bahwa jasa laundry ini ada dan dekat dengan kos mereka. Tujuan yang jelas akan menjadi tolok ukur evaluasi.

4. Temukan Insight Konsumen

Insight adalah temuan psikologis atau kebiasaan mendalam dari audiens yang bisa menjadi pintu masuk ide kreatif. Insight berbeda dengan data mentah karena menyentuh sisi emosional konsumen. 

Contohnya, data bisa menunjukkan “mahasiswa sering menunda mencuci.” Sementara insight yang lebih dalam adalah: “mahasiswa menunda mencuci karena lebih memilih nongkrong atau kuliah, sehingga cucian menumpuk hingga tidak punya baju bersih saat ada acara mendadak.” Insight semacam ini akan membuat iklan terasa relevan.

5. Rumusan Pesan & USP

Setelah insight ditemukan, barulah pesan utama dan Unique Selling Point (USP) dirumuskan. Pesan harus singkat dan mudah diingat, sementara USP menjelaskan apa yang membuat produk berbeda dari kompetitor. 

Misalnya, laundry tadi bisa punya USP “selesai dalam 24 jam dengan wangi tahan lama.” Dari USP inilah copywriter bisa membuat headline yang kuat, seperti: “Baju wangi segar besok pagi, siap dipakai kuliah.”

6. Tentukan Channel

Media yang dipilih akan menentukan bentuk pesan. Apakah iklan akan tayang di radio, televisi, koran, atau media sosial seperti Instagram dan TikTok? Channel harus disesuaikan dengan kebiasaan audiens. 

Untuk mahasiswa kos, Instagram reels atau TikTok mungkin lebih tepat ketimbang iklan radio. Dengan menentukan channel sejak awal, tim kreatif bisa menyesuaikan format dan gaya komunikasi.

7. Dokumentasikan Secara Ringkas

Tahap terakhir adalah menyusun semua informasi tadi dalam sebuah dokumen ringkas, biasanya tidak lebih dari dua halaman. Creative brief bukan laporan penelitian, jadi hindari penjelasan bertele-tele. Dokumen harus singkat, jelas, dan mudah dipahami siapa pun yang membacanya. Dengan begitu, copywriter, desainer, atau videografer bisa segera bergerak mengeksekusi ide.

Riset Adalah Kunci

Proses membuat creative brief dimulai dari riset, perumusan tujuan, penggalian insight, hingga dokumentasi akhir. Setiap langkah saling melengkapi, sehingga menghasilkan panduan yang tidak hanya informatif, tetapi juga inspiratif. Dengan brief yang baik, tim kreatif tidak akan kehabisan arah, melainkan punya fondasi kokoh untuk menciptakan iklan yang efektif.

Contoh Creative Brief

Dalam dunia periklanan, creative brief merupakan dokumen kunci yang menuntun arah kerja tim kreatif. Namun, perlu diingat bahwa creative brief asli hampir tidak pernah dipublikasikan ke publik. Dokumen ini biasanya bersifat internal, digunakan oleh klien dan biro iklan sebagai panduan kerja. Karena sifatnya yang tertutup, kita jarang bisa membaca langsung bagaimana brief tersebut dirumuskan.

Meski demikian, bukan berarti kita tidak bisa mempelajarinya. Justru, salah satu cara terbaik untuk memahami creative brief adalah dengan merekonstruksinya dari iklan-iklan yang sudah beredar. Setiap iklan, baik dalam bentuk cetak maupun video, sesungguhnya merupakan “hasil terjemahan” dari sebuah brief yang disusun di balik layar. Dari pesan utama, tone of voice, hingga pemilihan visual, kita bisa menelusuri logika kreatif yang terkandung dalam brief tersebut.

Dalam artikel ini, kita akan mempelajari bagaimana merekonstruksi creative brief melalui tiga studi kasus.

  1. Anlene Gold 5X – contoh brand fungsional yang menekankan aspek kesehatan. Pesannya fokus pada kebutuhan nutrisi tulang, sendi, dan otot agar konsumen tetap aktif di usia emas.
  2. iPhone 6s – contoh brand teknologi yang menekankan inovasi. Meski desainnya hampir sama dengan seri sebelumnya, Apple berhasil menunjukkan bahwa “yang berubah hanyalah segalanya” melalui fitur-fitur baru.
  3. Djarum Black – contoh brand simbolik yang menekankan gaya hidup dan imajinasi. Produk rokok ini diposisikan bukan pada fungsi fisik, melainkan pada citra kreatif, modern, dan penuh kejutan.

Dengan membandingkan ketiga studi kasus ini, kita akan belajar bahwa creative brief dapat sangat berbeda, tergantung pada kategori produk dan strategi brand: ada yang menekankan fungsi, ada yang menonjolkan inovasi, dan ada pula yang membangun simbol identitas hidup.

1. Studi Kasus dari Iklan Anlene

Perhatikan contoh iklan berikut.

Selain berformat iklan display, Anlene juga membuat iklan TV berikut.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=EiHo9wdiLLM

Adapun transkrip dari video di atas adalah sebagai berikut.

Dengan bertambahnya usia, tubuh mengalami perubahan. Aktivitas sehari-hari pun butuh nutrisi lebih. Baru Anlene Gold 5X. Susu dengan nutrisi lebih untuk jaga kesehatan tulang, sendi, dan otot. Yakin susu pilihanmu cukup? Pilih yang lebih untuk kekuatan kelenturan dan energi sepanjang hari. Bebas bergerak tanpa khawatir di usia emas. Pilih yang lebih! Anlene gold 5X. 

Hasil rekonstruksi creative brief dari iklan di atas adalah sebagai berikut.

a. Brand Identity

  • Nama Brand: Anlene
  • Produk: Susu dewasa dengan formula gizi lengkap
  • Logo: Tulisan “Anlene” berwarna merah dengan ikon orang bergerak dinamis
  • Warna utama: Merah, hijau, putih
  • Tipografi: Sans-serif modern, clean, mudah dibaca
  • Nilai (value): Kesehatan, vitalitas, dan semangat hidup aktif di usia emas
  • Makna Identitas:
    Warna merah melambangkan energi dan vitalitas, sementara hijau menandakan keseimbangan dan kesehatan. Logo berbentuk figur manusia yang sedang bergerak merepresentasikan kebebasan beraktivitas tanpa hambatan.

b. Brand Image

Anlene dikenal luas sebagai susu khusus orang dewasa yang menjaga kesehatan tulang. Namun, sebagian konsumen (terutama lansia) masih menganggap Anlene hanya penting untuk “tulang kuat,” bukan gerak aktif secara menyeluruh.

Anlene ingin dipersepsikan bukan hanya sebagai “susu untuk tulang,” tetapi sebagai mitra gaya hidup aktif di usia emas, menjaga kelenturan sendi, kekuatan otot, dan energi tubuh agar tetap bisa beraktivitas dengan penuh semangat.

Iklan ini mencoba memperluas persepsi publik: dari “mencegah kerapuhan” menjadi “menjaga kelenturan dan kebebasan bergerak.”

c. USP dan Brand Positioning

  • Unique Selling Proposition (USP):
    Anlene Gold 5X memiliki formula baru dengan nutrisi lebih lengkap untuk tulang, sendi, dan otot—lebih dari sekadar susu kalsium biasa.
  • Brand Positioning:
    Anlene adalah susu dewasa No.1 di Indonesia yang mendukung kelenturan sendi dan kekuatan otot agar orang dewasa tetap aktif di usia emas.
  • Pembeda utama:
    • Formula 5X yang lebih unggul (kalsium + kolagen + protein + vitamin D + magnesium).
    • Relevan untuk mereka yang ingin tetap aktif, bukan hanya “sehat diam di rumah”
    • Bahasa komunikasi yang positif dan penuh semangat (aktif, bukan renta)

d. Buyer Persona

Aspek DemografisAspek Psikologis
Nama: Ibu Ratna, 55 tahunKeinginan: Tetap aktif berolahraga ringan, bermain dengan cucu, dan tetap mandiri tanpa merepotkan anak.
Jenis kelamin: PerempuanMasalah/Pain Point: Mulai sering merasa kaku di lutut, pegal di punggung, dan cepat lelah saat beraktivitas.
Pendidikan: SarjanaKekhawatiran: Takut kehilangan kemampuan bergerak bebas, takut dianggap “tua dan lemah.”
Pekerjaan: Pensiunan guruGaya hidup: Menyukai aktivitas outdoor ringan (jalan pagi, senam), sering membaca artikel kesehatan, aktif di Facebook dan YouTube.
Pendapatan: Menengah ke atasMedia favorit: YouTube, TV nasional, Instagram

Persona ringkas:
Ibu Ratna adalah perempuan aktif berusia 55 tahun yang ingin tetap lincah di masa pensiunnya. Ia peduli dengan kesehatan sendi dan otot agar bisa beraktivitas tanpa rasa sakit. Ia memilih produk yang terpercaya dan sudah dikenal luas, tapi tetap mencari yang punya nilai lebih.

e. Insight Konsumen

Insight utama dari kampanye ini adalah: “Orang dewasa tidak ingin sekadar hidup lama, tetapi juga ingin tetap bebas bergerak dan menikmati hidup seperti dulu.”

Kalimat insight dalam versi emosional: “Aku ingin tetap bisa jalan pagi dan bermain dengan cucu tanpa merasa tubuhku menjadi beban.”

Insight ini menggambarkan kebutuhan emosional yang lebih dalam: bukan sekadar tulang kuat, tapi kelenturan hidup. Dengan insight ini, pesan iklan menjadi lebih manusiawi dan penuh empati: kebugaran = kebebasan.

f. Objectives/Tujuan

Jenis TujuanPenjabaran
Awareness ObjectiveMembuat target audiens menyadari bahwa Anlene kini hadir dengan formula Gold 5X yang mendukung kelenturan sendi dan kekuatan otot, bukan hanya tulang.
Attitude ObjectiveMengubah persepsi audiens bahwa Anlene bukan susu “orang tua,” melainkan teman hidup aktif di usia dewasa.
Action ObjectiveMendorong audiens mencoba varian Anlene Gold 5X dan mengonsumsinya secara rutin setiap hari.

g. Key Message/Pesan Utama

Pesan utama iklan Anlene ini adalah, “Pilih yang Lebih untuk Kelenturan Sendi dan Gerak Aktifmu.”

Pesan ini sederhana tapi kuat karena:

  • mengandung ajakan langsung (“Pilih yang lebih”);
  • menggarisbawahi nilai utama produk (nutrisi lebih = gerak lebih bebas); dan
  • relevan secara emosional dengan aspirasi audiens yang ingin tetap aktif dan mandiri

Tujuan tersebut tampak dari headline iklan: “Minum Anlene, Susu Dewasa No.1 di Indonesia Setiap Hari untuk Dukung Kelenturan Sendi dan Gerak Aktifmu.”

h. Media, Format, dan Deliverables

AspekRincian
Media utamaTelevisi nasional dan YouTube Ads
Media pendukungInstagram, Facebook, dan banner digital
FormatTVC berdurasi 30 detik + poster digital 
Deliverables1 TVC “Pilih yang Lebih” (versi 30 detik) 1 poster digital “Kelenturan & Gerak Aktifmu” 

Ringkasan

Creative brief ini menunjukkan bahwa kampanye Anlene Gold 5X dibangun bukan sekadar di atas klaim nutrisi, tetapi pada aspirasi emosional konsumen yang ingin tetap aktif, sehat, dan bahagia di usia emas. Dengan insight yang kuat dan pesan sederhana “Pilih yang Lebih,” iklan ini berhasil memosisikan Anlene bukan sekadar susu kesehatan, melainkan simbol kebebasan dan semangat hidup aktif.

2. Studi Kasus dari Iklan iPhone

Perhatikan contoh iklan berikut.

This is iPhone 6s.
Not much has changed, except it responds to the pressure of your finger.
So you can peek into stuff and pop stuff open, which changes how you play a song, read a text, read an email, read the news…

Wait, you read the news? Yep, of course you do.

Now you can change apps like this.
Pay at more places like this.
And the new color looks like this — it’s rose gold. It’s awesome.

And Siri is more helpful than ever.
“Hey Siri, show me photos of Torini.”
“Here are some images of Torini.”

The camera shoots 4K video now, which changes how your movies look. Nice.

Even selfies have changed. Now your screen is the flash. That’s going to get, like, a million likes. Thanks.

Actually, photos themselves have changed. They move now, you just touch them.

So yeah, that’s what’s changed.

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=lmVUCfh_n4c

Hasil rekonstruksi creative brief dari iklan di atas adalah sebagai berikut.

a. Brand Identity

  • Nama Brand: Apple
  • Produk: iPhone 6s
  • Tagline: The only thing that’s changed is everything
  • Logo: Apel tergigit berwarna perak
  • Warna utama: Putih, silver, gold, dan rose gold
  • Tipografi: San Francisco (modern, clean, elegan)
  • Nilai (value): Inovasi, kesederhanaan, kemewahan yang fungsional, dan human experience
  • Makna Identitas:
    Apple selalu mengedepankan kesempurnaan desain dan teknologi yang intuitif. Identitas visual yang minimalis menggambarkan filosofi “less is more”: teknologi seharusnya tidak rumit, tetapi memudahkan hidup manusia.

b. Brand Image

Apple dikenal sebagai brand yang premium, elegan, dan berorientasi pada inovasi desain. Namun, ada persepsi bahwa setiap produk baru sering tampak “sama saja” secara tampilan fisik.

Melalui iPhone 6s, Apple ingin menunjukkan bahwa meski bentuknya mirip dengan seri sebelumnya, inovasi besar justru terjadi di dalamnya. Brand ingin mempertahankan citra “pioneer in technology,” sekaligus menegaskan bahwa kemajuan tidak selalu tampak di permukaan.

Banyak pengguna yang skeptis dengan peluncuran seri “S” karena menganggap hanya versi minor. Iklan ini ingin membalik persepsi itu: yang berubah bukan bentuknya, tapi cara kita berinteraksi dengan dunia digital.

c. USP dan Brand Positioning

  • Unique Selling Proposition (USP):
    iPhone 6s menghadirkan 3D Touch — teknologi yang memungkinkan layar merespons tekanan jari secara berbeda, membuka cara baru untuk berinteraksi dengan smartphone.
  • Brand Positioning:
    iPhone 6s adalah smartphone premium untuk mereka yang menginginkan pengalaman digital paling intuitif dan personal, di mana teknologi menyatu dengan kehidupan sehari-hari.
  • Pembeda utama:
    • Fitur 3D Touch (peek & pop)
    • Kamera 12 MP dengan 4K video
    • Live Photos
    • Siri yang lebih cerdas dan responsif
    • Varian warna baru: Rose Gold (simbol diferensiasi dan keanggunan)

d. Buyer Persona

Aspek DemografisAspek Psikologis
Nama: Richard, 28 tahunKeinginan: Selalu ingin jadi yang pertama mencoba teknologi baru, suka tampilan yang elegan, ingin perangkat yang merepresentasikan gaya hidup “maju.”
Jenis kelamin: PriaMasalah/Pain Point: Bosan dengan smartphone yang terasa generik dan tidak inovatif; ingin sesuatu yang membuat hidup lebih efisien dan menyenangkan.
Tempat tinggal: Jakarta (urban professional)Kekhawatiran: Takut ketinggalan tren teknologi dan kehilangan status sosial sebagai “early adopter.”
Pekerjaan: Konsultan digitalGaya hidup: Mobile, sering berpindah tempat kerja, aktif di media sosial, menghargai desain dan kualitas produk premium.
Pendapatan: Menengah ke atasChannel: YouTube, website Apple, media teknologi, Instagram

Persona ringkas:
Richard bukan sekadar membeli gadget. Ia membeli status dan pengalaman. iPhone baginya adalah ekstensi dari identitas profesional dan estetik.

e. Insight Konsumen

Konsumen menginginkan pengalaman baru yang membuat hidup lebih mudah, seru, dan stylish. Mereka tidak butuh ribuan fitur baru, tetapi hanya ingin sesuatu yang membuat pengalaman saya lebih baik, lebih cepat, lebih mulus.

Atau dalam bentuk emosional, dapat dikatakan, “Saya ingin hidup saya berubah tanpa harus mengubah kebiasaan saya.”

Insight ini menjadi dasar pesan “The only thing that’s changed is everything.” Apple tahu konsumennya menghargai innovation that feels natural atau perubahan besar yang terasa halus dan elegan, bukan revolusi yang memaksa.

f. Objectives/Tujuan

Jenis TujuanPenjabaran
Awareness ObjectiveMembuat audiens tahu bahwa iPhone 6s membawa inovasi besar meski tampak serupa dengan iPhone 6.
Attitude ObjectiveMengubah persepsi skeptis terhadap seri “S” menjadi keyakinan bahwa iPhone 6s merevolusi pengalaman pengguna.
Action ObjectiveMendorong pembelian upgrade dari pengguna iPhone lama dan menarik pengguna Android kelas premium.

g. Key Message/Pesan Utama

Pesan utama iklan ini adalah “The only thing that’s changed is everything.” Pesan ini kontradiktif tapi cerdas karena mengundang rasa penasaran sekaligus menyiratkan bahwa inovasi sejati tidak selalu terlihat di permukaan.Kalimat ini menjadi refleksi dari DNA Apple: simple, understated, but revolutionary.

h. Media, Format, dan Deliverables

AspekRincian
Media utamaYouTube, TV global, dan website resmi Apple
Media pendukungBillboard minimalis, media sosial (Instagram, X, Facebook), dan display ads
FormatTVC berdurasi 1 menit dan poster digital
Deliverables– 1 video utama “This is iPhone 6s” 
– 1 iklan display dengan tagline konsisten di seluruh media 

Ringkasan

Creative brief ini memperlihatkan bahwa Apple tidak menjual fitur, melainkan cara baru untuk mengalami kehidupan digital. Dengan insight “perubahan besar bisa terjadi tanpa terlihat,” Apple memosisikan iPhone 6s sebagai simbol kemajuan yang elegan dan alami.

Brief ini jelas diarahkan untuk mengatasi skeptisisme audiens. Tantangan utamanya adalah: “kalau desain sama, kenapa harus upgrade?” Jawaban kreatif Apple: tunjukkan bahwa pengalaman internal berubah total. Eksekusi visual + narasi dalam iklan (menyebut fitur demi fitur dengan gaya ringan dan playful) benar-benar konsisten dengan brief ini.

3. Studi Kasus dari Iklan Djarum Black

Perhatikan contoh iklan berikut.

Sumber: https://youtu.be/sWZv2TZX0gc?si=mq5kJbb1dG4QHn-d

Hasil rekonstruksi creative brief dari iklan di atas adalah sebagai berikut.

a. Brand Identity

  • Nama Brand: Djarum Black
  • Produk: Rokok kretek berfilter
  • Tagline: Full of Imagination
  • Logo: Tipografi tegas dengan huruf A diganti bentuk segitiga merah
  • Warna utama: Hitam, merah, putih
  • Tipografi: Bold, sans-serif, kuat dan maskulin
  • Nilai (value): Imajinasi, kebebasan berpikir, gaya hidup modern dan berani
  • Makna Identitas:
    Warna hitam dan merah menyimbolkan boldness (keberanian) dan passion.
    Kata “Black” menjadi ikon gaya hidup urban, misterius, dan cerdas, bukan sekadar warna, melainkan statement of identity.

b. Brand Image

Djarum Black dikenal sebagai rokok yang digemari kaum muda urban karena kesan modern dan eksklusif. Berbeda dengan citra “klasik dan maskulin tua” dari brand rokok lain, Djarum Black tampil fresh, penuh gaya, dan “anak muda banget.”

Djarum Black ingin menjadi simbol creative masculinity, pria yang tidak hanya gagah, tapi juga cerdas, berimajinasi, dan punya sense of humor yang tinggi. Brand ingin diasosiasikan dengan kreativitas, spontanitas, dan orisinalitas.

Intinya, Djarum Black bukan menjual rokok, tetapi menjual sikap hidup: “berpikir di luar kebiasaan.”

c. USP dan Brand Positioning

  • Unique Selling Proposition (USP):
    Rokok premium yang menonjol karena black paper dan citra “berbeda dari yang lain.”
  • Brand Positioning:
    Djarum Black adalah rokok bagi individu muda yang kreatif, percaya diri, dan selalu ingin tampil beda.
  • Pembeda utama:
    • Warna kertas rokok hitam (ikonik & stylish)
    • Iklan penuh unsur imajinasi dan humor non-verbal
    • Gaya komunikasi yang smart, subtle, and rebellious

d. Buyer Persona

Aspek DemografisAspek Psikologis
Nama: Rudi, 27 tahunKeinginan: Ingin tampil beda, punya gaya hidup yang dianggap “cool” dan berkarakter.
Jenis kelamin: PriaMasalah/Pain Point: Merasa jenuh dengan rutinitas dan norma sosial yang kaku; ingin kebebasan mengekspresikan diri.
Tempat tinggal: Kota besar (Jakarta, Bandung, Surabaya)Kekhawatiran: Takut dianggap “biasa saja,” kehilangan daya tarik dan eksistensi di lingkungannya.
Pekerjaan: Desainer grafis / freelancer kreatifGaya hidup: Pecinta seni, nongkrong di kafe, suka musik indie, motor custom, dan hal-hal nyentrik.
Pendapatan: MenengahChannel media: Majalah gaya hidup, YouTube, bioskop, TV, dan komunitas kreatif.

Persona ringkas:
Rudi adalah pria muda yang mencintai kebebasan berpikir dan ekspresi. Ia melihat Djarum Black bukan sekadar rokok, melainkan simbol keberanian untuk “berpikir di luar kebiasaan.”

e. Insight Konsumen

Insight konsumen iklan ini adalah, “Anak muda ingin menunjukkan bahwa hidup tidak harus serius. Imajinasi, humor, dan gaya nyentrik bisa jadi identitas diri. Rokok bukan hanya produk, tapi simbol ekspresi.”

Ini menjadi bahan bakar ide “Full of Imagination”, sebuah dunia tempat hal biasa bisa jadi luar biasa jika dilihat dengan imajinasi.

Sensor hitam dalam iklan menjadi metafora dari pikiran liar dan kreatif: apa yang “tertutup” justru memancing rasa penasaran dan daya imajinasi penonton.

f. Objectives/Tujuan

Jenis TujuanPenjabaran
Awareness ObjectiveMenegaskan bahwa Djarum Black adalah brand yang lekat dengan imajinasi dan kreativitas anak muda.
Attitude ObjectiveMenguatkan asosiasi emosional bahwa “merokok Djarum Black = berani berpikir beda.”
Action ObjectiveMeningkatkan loyalitas pengguna muda urban terhadap Djarum Black melalui brand attitude yang kuat, bukan melalui ajakan langsung membeli.

g. Key Message/Pesan Utama

Pesan utama iklan ini adalah “Full of Imagination.” Pesan ini menggambarkan bahwa hidup akan terasa lebih menyenangkan jika dijalani dengan kreativitas dan keberanian melihat hal biasa dari perspektif yang luar biasa. Iklan tidak pernah menyebut “rokok,” melainkan memperlihatkan attitude of mind yang menjadi semangat brand.

Dari situ tampak ada pesan implisit bahwa Djarum Black adalah gaya hidup orang yang tidak berhenti berimajinasi, bahkan dalam hal sederhana seperti bersepeda.

h. Media, Format, dan Deliverables

AspekRincian
Media utama:Televisi (TVC berdurasi ±30 detik)
Media pendukung:Billboard, majalah gaya hidup pria, dan poster
Format:Iklan tanpa dialog (non-verbal storytelling) dan iklan display
Deliverables:– 1 TVC “Full of Imagination” – 1 versi cetak (majalah) dengan visual humorik serupa 

Ringkasan

Creative brief iklan Djarum Black “Full of Imagination” ini menunjukkan bahwa kekuatan pesan iklan bukan pada produknya, melainkan pada gaya berpikir yang diwakili brand.

Alih-alih menjual rokok, Djarum Black menjual cara hidup, cara pandang yang imajinatif, kreatif, dan berbeda dari kebanyakan orang. “Sensor hitam” dalam iklan menjadi simbol paling kuat: sesuatu yang tampak menutup justru menantang penonton untuk membuka pikirannya.

Kesalahan Umum dalam Menyusun Creative Brief

Menyusun creative brief kelihatannya sederhana, tetapi praktiknya banyak tim, baik pemula maupun profesional, yang terjebak dalam kesalahan mendasar. Kesalahan ini membuat brief kehilangan fungsinya sebagai kompas kreatif, sehingga eksekusi iklan jadi tidak terarah. Berikut adalah beberapa kesalahan yang perlu dihindari.

1. Terlalu Panjang dan Membingungkan

Creative brief bukanlah skripsi atau laporan penelitian. Sering kali, klien menulis brief dengan halaman yang terlalu banyak, penuh dengan data mentah dan teori panjang. Akibatnya, tim kreatif justru bingung menemukan inti pesannya. 

Padahal, brief yang efektif seharusnya ringkas, jelas, dan langsung pada poin-poin penting. Contoh: sebuah brief setebal 20 halaman untuk promosi UMKM justru membuat copywriter tidak tahu harus memulai dari headline atau USP mana.

2. Terlalu Umum

Kesalahan klasik lainnya adalah mendefinisikan target audiens atau tujuan dengan sangat umum. Misalnya, menulis “target: semua orang” atau “tujuan: meningkatkan penjualan.” Pernyataan semacam ini tidak memberi arah sama sekali, karena audiens yang berbeda tentu memerlukan pendekatan komunikasi yang berbeda pula. 

Sebagai contoh, iklan bakso untuk mahasiswa kos tentu berbeda dengan iklan bakso untuk keluarga menengah di perumahan. Semakin spesifik target dan tujuan, semakin mudah tim kreatif membangun ide yang tepat sasaran.

3. Tidak Ada Insight

Data bukan insight. Banyak brief yang hanya memuat data kaku, seperti “50% konsumen adalah perempuan” atau “harga produk lebih murah 10% dari kompetitor.” Data ini penting, tetapi tanpa insight psikologis, iklan menjadi datar dan tidak menyentuh emosi konsumen. 

Insight seharusnya menjawab pertanyaan: “Mengapa data ini penting?” Misalnya, data bahwa mahasiswa sering menunda mencuci baju bisa diterjemahkan menjadi insight: “Mahasiswa menunda mencuci karena lebih memilih nongkrong atau kuliah, hingga akhirnya tidak punya baju bersih saat acara mendadak.” Insight semacam inilah yang memicu ide kreatif segar.

4. Tidak Actionable

Ada juga brief yang menuliskan pesan terlalu abstrak, seperti “kami ingin iklan yang elegan” atau “tolong buat iklan yang beda.” Kalimat ini memang terdengar bagus, tetapi tidak memberikan arahan yang bisa dikerjakan. 

Tim kreatif akan kebingungan: elegan versi siapa? Beda dalam hal apa? Brief yang actionable seharusnya memuat arahan konkret. Misalnya, “Gunakan tone visual monokrom untuk memberi kesan elegan,” atau “Tekankan USP berupa kecepatan layanan dalam headline.” Dengan begitu, tim kreatif tahu langkah apa yang harus diambil.

Dari Creative Brief ke Iklan Efektif

Creative brief hanyalah titik awal. Brief yang baik bisa diibaratkan sebagai peta jalan: memberi tahu ke mana tujuan komunikasi brand harus dibawa. Namun, peta saja tidak cukup. Tantangan sesungguhnya adalah bagaimana tim kreatif—copywriter dan art director—menerjemahkan “peta” ini menjadi iklan yang benar-benar efektif.

Prosesnya dapat diringkas dalam alur:
Brief → ide kreatif → eksekusi iklan.

1. Dari “What to Say” Menjadi “How to Say

Creative brief memberi arahan what to say: pesan inti yang ingin disampaikan. Tetapi, iklan yang baik selalu berbicara lewat how to say: cara kreatif, segar, dan menyentuh emosi audiens. Perbedaan inilah yang membuat iklan terasa hidup, bukan sekadar repetisi informasi.

Contohnya, brief Anlene menyatakan “nutrisi lebih untuk kesehatan tulang, sendi, otot di usia emas.” Itu adalah what to say. Iklan kemudian mengemasnya secara kreatif: memperlihatkan lansia yang tetap lincah menari, berolahraga, atau bermain bersama cucu. How to say-nya menekankan keceriaan, bukan sekadar sains nutrisi.

2. Belajar dari Studi Kasus

Setiap kategori produk memiliki pendekatan yang berbeda dalam menerjemahkan creative brief ke dalam iklan. Mari kita lihat tiga contoh yang kontras: Anlene, iPhone 6s, dan Djarum Black.

a. Anlene Gold 5X

Pada iklan Anlene Gold 5X, pesan yang ingin disampaikan cukup sederhana: tubuh membutuhkan nutrisi lebih agar tetap aktif di usia emas. Namun, pesan ini tidak berhenti pada data nutrisi atau klaim ilmiah yang kaku. 

Cara komunikasinya sengaja dibuat hangat dan visual: menampilkan orang tua yang tetap bisa bergerak bebas, menari, atau berolahraga dengan riang. Tagline yang digunakan, “Pilih yang lebih,” memberi dorongan persuasif agar konsumen tidak sekadar puas dengan susu biasa. 

Dari sisi kriteria SUPER A, iklan ini memenuhi prinsip kesederhanaan dengan fokus pada satu pesan utama, bersifat persuasif melalui klaim nutrisi “5X lebih lengkap,” relevan karena menargetkan lansia aktif, dan tetap acceptable karena tidak berlebihan dalam janji-janji kesehatannya.

b. iPhone 6s

Berbeda dengan Anlene, iklan iPhone 6s menghadapi tantangan unik. Secara visual, desain ponsel ini hampir sama dengan iPhone 6, sehingga audiens mungkin skeptis: apa sebenarnya yang baru? 

Brief Apple merumuskan jawaban dalam kalimat kunci: meski tampilan serupa, pengalaman pengguna berubah total. Iklan kemudian menyampaikannya dengan gaya yang ringan, playful, bahkan diselingi humor sederhana, seperti dialog spontan “Wait, you read the news? Yep, of course you do.” Narasi ini disertai demonstrasi langsung fitur-fitur baru—3D Touch, 4K Video, Live Photos, hingga Siri yang lebih cerdas. Dengan begitu, audiens tidak hanya mendengar klaim, tetapi langsung “melihat” perubahannya. 

Dari sudut pandang SUPER A, iklan ini unexpected karena menawarkan pengalaman baru di balik tampilan lama, entertaining lewat narasi humor, simpel karena alurnya bertahap, dan tetap relevan bagi pengguna yang haus teknologi terbaru.

c. Djarum Black

Sementara itu, Djarum Black bergerak di ranah simbolik yang sangat berbeda. Produk rokok sulit dibedakan dari segi fungsi, sehingga brand ini membangun citra gaya hidup: penuh imajinasi, modern, dan nyentrik. Pesan yang ingin disampaikan sederhana: Djarum Black adalah rokok yang identik dengan kreativitas. Namun, cara penyampaiannya sama sekali tidak konvensional. 

Iklan menggunakan humor visual dengan twist, yaitu adegan sensor hitam yang membuat penonton menduga sang pesepeda telanjang, tetapi ternyata hanya trik belaka. Minim kata-kata, tetapi sarat kejutan visual, iklan ini berhasil menegaskan bahwa Djarum Black adalah brand yang berani tampil berbeda.

 Jika ditinjau dari konsep SUPER A, ia jelas unexpected lewat twist, entertaining karena membuat penonton tertawa, simpel karena hanya mengandalkan visual dominan, dan relevan bagi anak muda urban yang menyukai hal nyeleneh.

Penutup 

Creative brief adalah fondasi dalam copywriting. Ini bukan sekadar dokumen administratif, melainkan titik tolak kreativitas. Dengan brief yang jelas, copywriter tidak bekerja dalam ruang hampa, melainkan punya arah yang tegas untuk menyusun pesan yang tepat, dengan gaya yang sesuai, untuk audiens yang spesifik.

Seperti kata Marty Neumeier, “A brand is not what you say it is. It’s what they say it is.” Brief adalah cara kita menjembatani apa yang ingin disampaikan brand dengan apa yang benar-benar dirasakan konsumen. Dan seperti diingatkan David Ogilvy, “If it doesn’t sell, it isn’t creative.” Artinya, sebuah brief yang baik bukan hanya menginspirasi, tetapi juga mengarahkan tim kreatif menghasilkan iklan yang efektif dan berdampak.

Sekarang giliran kita: coba susun creative brief untuk usaha bisnis kita atau klien yang sedang kita tangani. Buatlah ringkas tapi tajam. Tunjukkan siapa target audiensnya, apa insight-nya, apa pesan utama yang ingin disampaikan, dan bagaimana tone of voice yang tepat. Dari sanalah, kita akan melangkah ke tahap berikutnya: mengubah brief menjadi ide kreatif dan eksekusi iklan yang hidup.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *