
Dalam kehidupan sehari-hari, kita tidak hanya menggunakan kalimat tunggal, tetapi menyusunnya menjadi wacana. Wacana adalah satuan bahasa terbesar, di atas kalimat, yang membentuk teks utuh dengan makna yang dapat dipahami. Dalam bahasa Indonesia, wacana hadir dalam berbagai bentuk sesuai tujuan, media, partisipan, dan bidang isi. Memahami jenis-jenis wacana membantu kita membaca teks dengan lebih kritis, menulis secara lebih efektif, dan mengidentifikasi strategi kebahasaan yang digunakan penutur atau penulis. Artikel ini mengulas empat klasifikasi wacana: berdasarkan media, partisipan, tujuan retoris, dan isi/konten.
Jenis Wacana Berdasarkan Medianya
Media penyampaian sangat menentukan bentuk dan ciri bahasa wacana. Apakah pesan disampaikan secara lisan, tertulis, atau gabungan keduanya?
Berdasarkan medianya, wacana dapat dibedakan menjadi tiga jenis: wacana lisan, wacana tulis, dan wacana semilisan. Ketiga jenis ini memiliki karakteristik khas yang dapat dikenali melalui cara penyampaiannya, perangkat kebahasaan yang digunakan, serta relasi antara penutur/penulis dengan penerima.
1. Wacana Lisan
Wacana lisan disampaikan melalui suara dan berlangsung secara sinkronus. Artinya penutur dan mitra tutur hadir pada waktu yang sama. Bentuk wacana lisan bisa berupa percakapan sehari-hari, wawancara, diskusi, kuliah tatap muka, atau pidato spontan. Karena terlaksana secara langsung, wacana lisan sangat bergantung pada konteks situasional serta umpan balik cepat berupa giliran bicara, anggukan, atau ekspresi nonverbal.
Secara kebahasaan, wacana lisan memiliki ciri khas berupa deiksis situasional (misalnya ini, itu, sini, sana, sekarang, nanti, saya, kamu) yang maknanya ditentukan oleh konteks saat berbicara. Kalimat dalam wacana lisan sering tidak lengkap atau mengalami elipsis karena pembicara dan pendengar berbagi pemahaman konteks yang sama.
Selain itu, muncul prosodi (intonasi, jeda, tekanan) dan disfluensi seperti eh, um, lho, atau interjeksi wah, aduh, yang berfungsi pragmatis. Pola pasangan berdampingan/adjacency pairs (tanya–jawab, salam–balas) serta manajemen giliran (turn-taking) juga menandai interaksi lisan. Kohesi dalam wacana lisan sering bersifat eksoforis, yakni mengacu ke konteks di luar teks.
Contoh percakapan mini:
A: “Udah siap presentasi? File-nya di mana?”
B: “Di flashdisk. Nanti aku colok pas giliranku.”
A: “Oke. Slide pembuka jangan lupa ya.”
Dalam percakapan ini, terlihat jelas penggunaan deiksis (nanti), elipsis (subjek dihilangkan), kosakata informal (udah, colok), dan rujukan eksoforis (file-nya).
2. Wacana Tulis
Berbeda dengan wacana lisan, wacana tulis diproduksi dalam bentuk grafis berupa huruf, angka, dan tanda baca. Komunikasi tulis bersifat asinkronus yang membuat penulis dan pembaca tidak hadir secara bersamaan. Karena itu, wacana tulis menuntut eksplisitasi lebih tinggi agar makna dapat dipahami tanpa bantuan konteks situasional langsung.
Ciri kebahasaan wacana tulis antara lain penggunaan referensi endoforis, seperti pendefinisian istilah, pengantar singkatan, atau penomoran. Kohesi ditandai dengan konjungsi logis (sebab, akibat, namun, oleh karena itu), sedangkan koherensi dijaga melalui struktur paragraf yang jelas (kalimat topik → rincian → penegasan).
Pilihan kata dalam wacana tulis lebih baku, padat, dan sering menggunakan nominalisasi (peningkatan, penyesuaian) maupun istilah teknis. Selain itu, ada konvensi grafis seperti judul, subjudul, kutipan, tabel, atau grafik yang mendukung pemaknaan.
Contoh paragraf eksposisi mini:
Program literasi digital di kampus ditujukan untuk meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam menelusuri sumber ilmiah. Pertama, peserta mempelajari teknik pencarian basis data. Kedua, mereka mempraktikkan sitasi sesuai gaya akademik. Dengan demikian, mahasiswa diharapkan mampu menulis tugas akhir berbasis referensi valid.
Paragraf ini menunjukkan koherensi melalui urutan pertama–kedua–dengan demikian, kohesi leksikal (literasi digital, basis data, sitasi, referensi), serta struktur paragraf yang runtut.
3. Wacana Semilisan
Wacana semilisan berada di antara lisan dan tulis. Kategori ini mencakup teks yang ditulis untuk disuarakan, misalnya naskah pidato, berita TV/radio, khotbah, atau presentasi dengan salindia/slide. Ada pula bentuk lisan yang didukung skrip, seperti siniar/podcast dengan naskah. Bahkan, tulisan dalam media digital yang sangat informal, seperti chat WhatsApp, juga dapat menampilkan ciri semilisan.
Ciri kebahasaannya memperlihatkan gabungan dari lisan dan tulis. Struktur tetap jelas (pendahuluan–isi–penutup) seperti dalam teks tulis, tetapi disertai penanda lisan berupa sapaan (Hadirin sekalian), retorika tanya, atau repetisi untuk penekanan.
Kalimat cenderung lebih pendek dibanding artikel ilmiah, agar mudah diucapkan. Kohesi lebih eksplisit dibanding lisan, namun koherensi dibantu penanda wacana lisan (pertama, kedua, akhirnya).
Dalam konteks performatif, sering muncul cue nonverbal seperti [tampilkan grafik], [ganti slide], atau [tepuk tangan]. Prosodi (intonasi, jeda, tekanan) pun direncanakan, sementara layout/slide mendukung alur gagasan.
Contoh potongan pidato:
“Hadirin sekalian, pertama, izinkan saya menyampaikan tujuan program ini: meningkatkan akses pembelajaran. Kedua, kami akan menyediakan beasiswa bagi mahasiswa berprestasi. Akhirnya, kita berharap kesenjangan akses pendidikan mengecil.”
Teks ini menunjukkan sapaan audiens, urutan lisan yang jelas, kalimat singkat, serta repetisi untuk penekanan.
Rangkuman
Dengan memahami perbedaan wacana lisan, tulis, dan semilisan, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi ciri kebahasaan yang khas serta menentukan klasifikasinya. Perbedaan media tidak hanya berpengaruh pada bentuk, melainkan juga pada strategi retoris dan cara makna dibangun dalam interaksi.
Tips praktis cara mengklasifikasikan wacana berdasarkan medianya:
- Periksa kanalnya: disuarakan langsung atau dibaca?
- Cek penopang: ada prosodi/gestur (lisan) atau tata letak/kutipan (tulis)?
- Amati ciri kebahasaan: deiksis eksoforis/elipsis (lisan), konjungsi eksplisit/nominalisasi (tulis), atau campuran (semilisan).
- Lihat format: dialog transkrip (lisan), paragraf bertajuk (tulis), skrip dengan sapaan audiens (semilisan).
Jenis Wacana Berdasarkan Keaktifan Partisipan
Selain media, jumlah partisipan menentukan jenis wacana. Apakah hanya satu orang berbicara, dua orang bergantian, atau banyak suara saling bersahutan?
Salah satu cara mengklasifikasikan wacana adalah dengan melihat jumlah dan peran partisipan yang terlibat di dalamnya. Siapa yang berbicara, siapa yang menanggapi, serta bagaimana giliran bicara diatur sangat memengaruhi bentuk, struktur, dan strategi retorik sebuah wacana. Dari segi ini, wacana dapat dibagi menjadi tiga jenis: monolog, dialog, dan polilog.
1. Wacana Monolog
Monolog adalah wacana yang didominasi oleh satu penutur. Audiens bisa hadir, tetapi tidak mengambil giliran bicara secara bergantian. Contohnya adalah pidato, khotbah, orasi politik, siaran radio dengan satu penyiar, atau vlog satu arah. Dalam monolog, penutur memiliki kendali penuh atas alur pembicaraan.
Secara kebahasaan, monolog dicirikan oleh organisasi skema yang terencana, biasanya terdiri atas pembuka, isi (poin/argumen), dan penutup. Kohesi dijaga dengan penggunaan konjungsi eksplisit seperti pertama, kedua, selanjutnya (urutan), karena, oleh sebab itu (sebab–akibat), atau namun (kontras).
Koherensi dijamin dengan adanya kalimat topik per paragraf serta transisi yang jelas antarbagian. Deiksis cenderung endoforis karena audiens tidak bisa langsung meminta klarifikasi. Jika disampaikan secara lisan, monolog biasanya menampilkan retorika berupa sapaan audiens, repetisi untuk penekanan, dan pertanyaan retoris.
Contoh mini:
“Hadirin sekalian, pertama, kita perlu memperbaiki akses perpustakaan digital. Kedua, program pelatihan penelusuran sumber akan dibuka bagi mahasiswa tahun pertama. Dengan demikian, literasi akademik di kampus dapat meningkat.”
Tips identifikasi:
- Hanya ada satu suara dominan dari awal hingga akhir.
- Ada penanda urutan dan susunan argumen sistematis.
- Audiens berperan sebagai penerima (misalnya memberi tepuk tangan), bukan penutur.
2. Wacana Dialog
Dialog adalah wacana yang berlangsung antara dua partisipan dengan giliran bicara yang relatif seimbang. Bentuknya bisa berupa percakapan sehari-hari, wawancara, sesi konseling, atau obrolan di chat pribadi. Dialog bersifat interaktif karena setiap giliran bicara membangun respons atas tuturan sebelumnya.
Dari segi ciri kebahasaan, dialog ditandai oleh giliran bicara (turn-taking) yang teratur, serta munculnya pasangan berdampingan/adjacency pairs seperti tanya–jawab, salam–balas, atau tawar–terima. Kohesi banyak mengandalkan deiksis situasional (ini, itu, aku, kamu) dan elipsis karena konteks dibagi bersama. Koherensi bersifat lokal, terbentuk dari topik yang dinegosiasikan per giliran bicara. Penanda interaksi seperti ya, hmm, oke, maksudnya? berfungsi untuk melacak pemahaman. Ragam bahasa bisa fleksibel, dari santai (antar-teman) sampai formal (wawancara kerja).
Contoh mini:
A: “Berkasmu sudah diunggah?”
B: “Belum, aku cek dulu. Deadline jam berapa?”
A: “Jam tiga, via LMS.”
B: “Oke, aku kirim sebelum jam dua.”
Tips identifikasi:
- Ada respons langsung antarpenutur.
- Banyak rujukan singkat yang dipahami dari konteks bersama.
- Struktur global longgar, fokus pada kesinambungan lokal.
3. Wacana Polilog
Polilog adalah wacana yang melibatkan lebih dari dua partisipan atau bersuara jamak. Contohnya diskusi kelas, rapat organisasi, talk show, percakapan di grup WhatsApp, atau kolom komentar media sosial. Dalam polilog, dinamika percakapan menjadi lebih kompleks karena banyaknya penutur yang berbagi giliran bicara.
Ciri kebahasaan polilog terlihat pada manajemen giliran yang rumit: ada pengambilalihan giliran, interupsi, percakapan samping (side sequences), dan biasanya ada moderator atau host untuk menjaga alur.
Kohesi memerlukan penamaan partisipan (menyebut nama atau menandai dengan tag) agar tidak terjadi ambiguitas referen. Koherensi menuntut adanya penjaga topik (moderator, notulis, atau ketua rapat) supaya diskusi tidak terlalu menyimpang. Ringkasan atau recap sering digunakan untuk menutup subtopik. Intertekstualitas juga kerap hadir, misalnya dengan mencantumkan link, data, atau kutipan untuk memvalidasi pendapat.
Contoh mini:
Ketua: “Kita bahas agenda wisuda dulu. Rina, bagaimana progres undangan?”
Rina: “Draf undangan sudah siap, tinggal verifikasi nama.”
Dodi: “Menambahkan, vendor sound system minta DP minggu ini.”
Ketua: “Baik, simpulan sementara: verifikasi nama selesai hari Rabu, DP vendor Kamis.”
Tips identifikasi:
- Ada tiga atau lebih penutur.
- Terdapat peran khusus (moderator, notulis).
- Ada ringkasan keputusan atau agenda.
- Nama partisipan sering disebut untuk memperjelas rujukan.
Cara Mengidentifikasi dan Mengklasifikasikan
Untuk membedakan monolog, dialog, dan polilog, kita dapat menggunakan empat langkah berikut:
- Hitung partisipan aktif: satu (monolog), dua (dialog), tiga atau lebih (polilog).
- Amati pola giliran: monolog bersifat tunggal dan terencana; dialog bersifat bergantian; polilog lebih kompleks dengan interupsi atau peran moderator.
- Teliti perangkat kohesi: monolog → konjungsi urutan; dialog → deiksis/elipsis; polilog → penamaan partisipan dan recap.
- Uji koherensi: monolog → global & hierarkis; dialog → lokal per giliran; polilog → memerlukan ringkasan dan pengelolaan agenda.
Dengan cara ini, klasifikasi jenis wacana berdasarkan partisipan dapat dilakukan secara lebih sistematis dan terukur.
Jenis Wacana Berdasarkan Tujuan Retorisnya
Fokus klasifikasi ini ada pada maksud atau tujuan komunikatif utama yang melatari penuturan atau penulisan teks. Apakah teks ingin bercerita, menggambarkan, menjelaskan, membuktikan, atau mengajak? Dari segi tujuan retoris, wacana dapat dibagi menjadi lima jenis: narasi, deskripsi, eksposisi, argumentasi, dan persuasi.
- Narasi → menceritakan peristiwa berurutan (contoh: reportase banjir).
- Deskripsi → menggambarkan suasana atau objek (contoh: tulisan wisata).
- Eksposisi → menjelaskan konsep/proses (contoh: artikel literasi digital).
- Argumentasi → membuktikan tesis dengan data (contoh: editorial kebijakan).
- Persuasi → mengajak bertindak (contoh: iklan layanan masyarakat).
1. Wacana Narasi
Narasi bertujuan menceritakan serangkaian peristiwa yang bergerak mengikuti alur waktu. Biasanya menghadirkan tokoh, latar, peristiwa, konflik, dan resolusi, meskipun narasi faktual seperti reportase bisa disajikan tanpa konflik dramatis.
Ciri khas narasi antara lain penanda waktu yang jelas (kemarin, lalu, akhirnya), penggunaan konjungsi temporal (kemudian, setelah itu), serta verba peristiwa (datang, terjadi, melintas). Kohesi narasi dijaga lewat rujukan konsisten pada tokoh atau tempat, sementara koherensinya dibangun oleh urutan temporal yang runut.
Contoh:
“Pagi itu, hujan reda. Beberapa menit kemudian, banjir mulai surut di kawasan Kridosono. Warga yang semula mengungsi kembali ke rumah untuk membersihkan lumpur.”
Tips identifikasi: carilah penanda waktu dan peristiwa berurutan. Jika alurnya membentuk cerita, berarti itu narasi.
2. Wacana Deskripsi
Deskripsi bertujuan menggambarkan objek atau keadaan sehingga pembaca dapat membayangkan dengan jelas melalui citraan. Fokusnya ada pada ciri fisik, kualitas, atau suasana.
Ciri khas deskripsi meliputi penggunaan adjektiva dan frasa nominal penuh atribut (sunyi, rimbun, keemasan), kata berindra (aroma, gemericik), serta kalimat statif atau relasional (adalah, tampak, terasa). Kohesi dibangun dengan konjungsi aditif dan komparatif (dan, serta, seperti, bagaikan).
Contoh:
“Aula itu luas dengan lampu gantung yang hangat. Dindingnya putih gading, kursi tersusun rapi, dan udara beraroma kayu.”
Tips identifikasi: lihat apakah teks berfokus pada atribut atau kualitas objek, dengan banyak adjektiva dan frasa deskriptif.
3. Wacana Eksposisi
Eksposisi bertujuan menjelaskan konsep, proses, atau klasifikasi secara terstruktur agar pembaca memahami suatu topik.
Ciri kebahasaan eksposisi antara lain adanya definisi, klasifikasi, ilustrasi, serta penggunaan konjungsi logis (sebab, akibat, oleh karena itu). Eksposisi juga ditandai istilah teknis, nominalisasi (pendanaan, distribusi), dan paragraf terstruktur dengan kalimat topik → penjelasan → penegasan.
Contoh:
“Literasi data adalah kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan data untuk mengambil keputusan. Dalam praktiknya, literasi data mencakup pencarian sumber, pembersihan data, dan visualisasi hasil analisis.”
Tips identifikasi: teks eksposisi biasanya runut, penuh definisi dan penjelasan, tanpa ajakan normatif.
4. Wacana Argumentasi
Argumentasi bertujuan membuktikan atau mempertahankan suatu tesis melalui alasan dan bukti. Struktur umumnya terdiri atas tesis, argumen pendukung, sanggahan, lalu penegasan.
Ciri khas argumentasi adalah adanya klaim atau tesis eksplisit, konjungsi kausal dan adversatif (karena, namun, meski demikian), modalitas epistemik (menurut data, terbukti, seharusnya), serta bukti berupa data, kutipan, atau analogi.
Contoh:
“Transportasi publik perlu diperbanyak di kota menengah. Menurut data Dinas Perhubungan 2024, kemacetan meningkat 18%. Karena itu, menambah rute dan armada akan mengurangi waktu tempuh serta emisi.”
Tips identifikasi: carilah klaim utama, lalu telusuri apakah ada alasan atau bukti yang mendukung klaim tersebut.
5. Wacana Persuasi
Persuasi bertujuan memengaruhi sikap pembaca atau mengajak bertindak. Wacana jenis ini biasanya menampilkan keuntungan atau solusi, lalu menutup dengan ajakan tegas (call to action).
Ciri kebahasaan persuasi meliputi penggunaan verba imperatif (mari, ayo, hentikan, dukung), diksi sugestif/afektif (lebih sehat, hemat, aman), serta repetisi dan pertanyaan retoris. Persuasi modern sering hadir multimodal, misalnya dengan slogan, visual, atau jingle.
Contoh:
“Mulailah memilah sampah hari ini. Dengan langkah kecil, lingkungan kampus tetap bersih dan sehat. Ayo gunakan bank sampah terdekat!”
Tips identifikasi: biasanya ada ajakan konkret yang menekankan manfaat praktis.
Cara Mengidentifikasi dan Mengklasifikasikan
Untuk membedakan kelima jenis wacana retoris ini, kita dapat bertanya pada tujuan komunikatif utama: apakah teks bertujuan menceritakan, menggambarkan, menjelaskan, membuktikan, atau mengajak? Lalu, periksa struktur retoris: apakah berupa alur waktu, ciri objek, definisi, tesis–argumen, atau seruan.
Selain itu, konjungsi dapat menjadi petunjuk penting: temporal (narasi), aditif/komparatif (deskripsi), kausal–ilustratif (eksposisi), kausal–adversatif (argumentasi), dan ajakan (persuasi). Dari segi leksikon, perhatikan apakah teks didominasi verba aksi (narasi), adjektiva (deskripsi), istilah teknis (eksposisi), modalitas & data (argumentasi), atau imperatif & diksi afektif (persuasi).
Dengan strategi ini, kita dapat mengidentifikasi jenis wacana secara lebih cepat dan sistematis.
Jenis Wacana Berdasarkan Isi/Kontennya
Selain dilihat dari medianya, partisipan, dan tujuan retoris, wacana juga dapat diklasifikasikan berdasarkan isi atau bidang pembahasan yang diangkat. Tiap ranah memiliki konvensi genre, pilihan leksikon, dan pola kohesi–koherensi yang khas. Dengan mengenali ciri-ciri ini, kita dapat lebih mudah mengidentifikasi sekaligus mengklasifikasikan teks ke dalam jenis wacana tertentu.
1. Wacana Jurnalistik
Wacana jurnalistik adalah teks yang diproduksi oleh media massa untuk mengabarkan, menjelaskan, atau mengulas peristiwa publik. Genre ini mencakup berita, feature, laporan khusus, dan editorial.
Secara struktural, berita mengikuti pola lead → body → closing dengan prinsip 5W+1H. Verba yang digunakan umumnya faktual, seperti menyatakan, melaporkan, mengonfirmasi. Kohesi sering dibangun melalui atribusi sumber dengan penanda seperti menurut, ujar, kata.
Pada berita keras (hardnews), leksikon dijaga netral, sedangkan evaluasi biasanya muncul dalam opini atau editorial. Angka, waktu, dan lokasi selalu eksplisit untuk menjaga akurasi. Koherensi didukung oleh kronologi atau hubungan sebab–akibat.
Contoh:
“Badan Pusat Statistik merilis angka inflasi Mei sebesar 2,9% (yoy). Kepala BPS menyatakan kenaikan dipengaruhi harga pangan dan transportasi.”
2. Wacana Hukum
Wacana hukum adalah teks yang bersifat normatif dan preskriptif, misalnya undang-undang, peraturan, kontrak, putusan pengadilan, atau surat keputusan.
Bahasa hukum ditandai oleh formula baku seperti Menimbang, Mengingat, Memutuskan serta struktur pasal–ayat–butir. Modal deontik (wajib, dilarang, harus, dapat) menjadi ciri utama. Leksikon hukum cenderung formal dan teknis, dengan banyak nominalisasi serta kalimat pasif untuk menjaga impersonalitas. Enumerasi atau penomoran menjadi kohesi struktural yang kuat, sedangkan koherensi dijaga melalui hierarki ketentuan.
Contoh:
“Pasal 5
(1) Setiap pemegang izin wajib melakukan pelaporan triwulanan.
(2) Pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan melalui sistem elektronik.”
3. Wacana Politik
Wacana politik adalah teks yang terkait dengan kebijakan, kampanye, pidato politik, manifesto, atau visi-misi partai/pejabat publik.
Ciri utamanya adalah penggunaan pronomina posisi seperti kami (eksklusif) atau kita (inklusif) untuk mengelola kedekatan dengan audiens. Modalitas evaluatif (akan, perlu, penting, mendesak) sering dipakai untuk menegaskan urgensi. Wacana politik kerap memanfaatkan metafora dan slogan demi mobilisasi massa. Koherensi retorikanya biasanya bergerak dari masalah → visi/solusi → ajakan/legitimasi.
Contoh:
“Kita akan memperluas akses air bersih di desa. Program ini penting untuk menjaga kesehatan keluarga dan meningkatkan produktivitas.”
4. Wacana Ekonomi
Wacana ekonomi adalah teks yang menyajikan data, analisis, dan proyeksi di bidang ekonomi dan keuangan. Genre ini mencakup laporan kinerja perusahaan, ulasan pasar, serta kebijakan fiskal atau moneter.
Bahasa ekonomi ditandai dengan dominasi istilah teknis dan angka seperti inflasi, PDB, surplus, dan laba bersih. Modalitas kehati-hatian (diperkirakan, cenderung, proyeksi) banyak digunakan karena sifatnya analitis. Kohesi dan koherensi dibangun melalui hubungan sebab–akibat dan perbandingan antarperiode, serta sering merujuk pada grafik atau tabel. Leksikon ekonomi juga sarat dengan nominalisasi seperti konsolidasi, diversifikasi, akselerasi.
Contoh:
“Laba bersih perseroan naik 12% (yoy), didorong efisiensi biaya dan pertumbuhan pendapatan segmen digital. Manajemen memproyeksikan margin tetap stabil pada semester II.”
5. Wacana Sastra
Wacana sastra mengedepankan estetika bahasa, imajinasi, dan pengalaman estetik. Genre ini mencakup puisi, cerpen, novel, hingga drama.
Ciri khasnya adalah penggunaan metafora, citraan indra, dan personifikasi, serta pengelolaan ambiguitas yang justru menjadi kekuatan ekspresif. Kohesi sastra sering dibangun oleh motif, tema, atau sudut pandang naratif, bukan oleh logika ekspositori. Koherensinya bisa linear maupun non-linear sesuai alur.
Contoh:
“Pohon-pohon menyeka senja; angin menyihir daun menjadi bisik yang lama kita lupa.”
6. Wacana Humor
Wacana humor bertujuan mengundang tawa melalui inkongruensi, kejutan, ironi, hiperbola, atau permainan kata. Bentuknya bisa berupa anekdot, stand-up comedy, meme, atau satire.
Struktur khas humor adalah setup → punchline, dengan twist pada akhir. Humor sering memanfaatkan ambiguitas, polisemi, dan kontras semantik. Tidak jarang, ia hadir dalam bentuk multimodal dengan dukungan gambar, tipografi, atau timing. Intertekstualitas budaya juga kuat, karena kelucuan sering bergantung pada pengetahuan bersama audiens.
Contoh:
“Saya mulai olahraga lari tiap pagi. Hasilnya? Saya tak pernah telat… mengejar angkot.”
Cara Mengidentifikasi dan Mengklasifikasikan
Untuk mengklasifikasikan wacana berdasarkan isi/konten, langkah praktis yang dapat ditempuh adalah:
- Tentukan ranah isi: apakah publik (media), regulatif (hukum), kebijakan (politik), ekonomi/keuangan, estetik (sastra), atau hiburan (humor).
- Telusuri penanda genre: struktur khas seperti lead–body–closing (jurnalistik), pasal–ayat (hukum), visi–solusi (politik), perbandingan periode (ekonomi), motif/tema (sastra), atau setup–punch (humor).
- Audit leksikon: periksa apakah teks menggunakan istilah teknis, legal, ekonomi, metafora sastra, atau diksi humor.
- Cek kohesi dan koherensi: atribusi sumber (jurnalistik), enumerasi (hukum), kausalitas (ekonomi), motif (sastra), twist (humor).
- Putuskan label dan sertakan 2–3 bukti kebahasaan sebagai dasar klasifikasi.
Dengan cara ini, kita dapat melatih kemampuan analitis mereka untuk melihat hubungan antara isi teks, perangkat bahasa, dan tujuan komunikatifnya secara sistematis.
Penutup: Menjadi Pembaca dan Penulis yang Kritis
Mempelajari jenis-jenis wacana bukan hanya soal menghafal klasifikasi atau mengingat ciri-ciri kebahasaan. Lebih dari itu, kita sedang belajar membaca dunia melalui bahasa. Setiap berita, pidato politik, peraturan hukum, bahkan puisi atau meme di media sosial, merupakan wacana yang membentuk cara kita memahami realitas sosial.
Dengan memahami klasifikasi wacana, kita dapat membedakan tujuan komunikatif, menilai keandalan teks, dan menghindari jebakan manipulasi bahasa. Misalnya, kita jadi tahu kapan sebuah pidato politik sedang berusaha membangun solidaritas, atau kapan sebuah teks hukum menuntut kepatuhan yang ketat.
Namun, kesadaran ini tidak berhenti pada membaca. Kesadaran ini juga memberi bekal bagi kita untuk menulis lebih efektif: bagaimana menyusun narasi yang runut, menjelaskan konsep dengan eksposisi yang jelas, atau mengajak audiens dengan persuasi yang meyakinkan.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik