pendanda petanda signifier signified

Dalam teori semiotika Ferdinand de Saussure, konsep penanda (signifier) dan petanda (signified) menjadi elemen kunci dalam memahami bagaimana tanda terbentuk dan bekerja dalam sistem komunikasi manusia. 

Baca juga: Bahasa sebagai Tanda yang Arbitrer: Semiotika Saussure

1. Penanda dan Petanda: Pengantar ke Struktur Bahasa 

Konsep penanda dan petanda memungkinkan kita untuk memahami hubungan antara bentuk fisik tanda dan makna yang dikandungnya, yang menjadi dasar penting dalam analisis struktur bahasa.

Saussure mengajarkan bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, artinya tidak ada hubungan alamiah antara bentuk tanda (penanda) dan konsep yang dirujuknya (petanda). 

Misalnya, kata rumah tidak memiliki hubungan alami dengan konsep tentang ‘suatu bangunan tempat manusia tinggal’. 

Keduanya dihubungkan melalui sebuah konvensi atau kesepakatan penggunanya. 

Melalui pendekatan ini, Saussure membuka jalan bagi analisis mendalam tentang bagaimana bahasa, sebagai sistem tanda, membentuk cara kita memahami dan berinteraksi dengan dunia.

Pemahaman tentang penanda dan petanda ini tidak hanya penting untuk kajian linguistik, tetapi juga relevan untuk berbagai konteks komunikasi modern, seperti analisis media, iklan, dan budaya populer. 

Di dunia yang penuh dengan simbol dan pesan, teori Saussure memberikan kerangka yang kuat untuk memahami bagaimana makna dibangun dan disampaikan. 

Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih jauh tentang konsep-konsep mendasar ini dan relevansinya dalam kehidupan sehari-hari.

2. Tentang Penanda (Signifier)

Dalam teori semiotika Ferdinand de Saussure, penanda (signifier) didefinisikan sebagai bentuk fisik dari suatu tanda. 

Penanda bisa berupa bunyi, tulisan, gambar, atau elemen visual lainnya yang dapat ditangkap oleh indra kita. 

Secara sederhana, penanda adalah “kemasan” dari sebuah tanda yang terlihat atau terdengar, yang berfungsi untuk mewakili sebuah makna atau konsep tertentu.

Sebagai contoh, dalam bahasa, kata pohon yang kita dengar atau baca adalah penanda. 

Bentuk fisik dari kata ini, baik dalam bunyi (ketika diucapkan) maupun dalam tulisan (ketika dibaca), menjadi elemen yang memberikan “wadah” bagi makna yang dirujuknya. 

Penanda ini tidak memiliki hubungan alami dengan objek atau makna yang diwakilinya—kata pohon tidak memiliki kesamaan bentuk dengan objek pohon itu sendiri—namun maknanya dipahami karena kesepakatan sosial di antara penutur bahasa.

Penanda berfungsi sebagai media yang menghubungkan kita dengan petanda (signified), yaitu konsep atau makna yang dirujuk oleh tanda tersebut. 

Dalam semiotika, penanda memiliki peran penting karena menjadi jembatan awal bagi proses komunikasi. 

Tanpa adanya penanda, pesan atau makna tidak akan dapat diterima atau dipahami oleh pihak lain.

Contoh penggunaan penanda dalam bahasa sangat banyak dan bervariasi. Misalnya:

  1. Bahasa lisan: Ketika seseorang mengucapkan kata kucing, bunyi yang terdengar adalah penandanya.
  2. Bahasa tulis: Kata kucing dalam bentuk tulisan pada buku atau layar komputer adalah penandanya.
  3. Simbol visual: Gambar seekor kucing yang digunakan pada iklan juga berfungsi sebagai penanda.

Penanda tidak terbatas pada kata atau simbol dalam komunikasi verbal. Elemen visual seperti warna, bentuk, atau logo juga bisa menjadi penanda. 

Misalnya, logo apel dengan gigitan yang terkenal merujuk pada brand teknologi Apple. 

Dalam hal ini, bentuk visual menjadi penanda yang membawa makna tertentu terkait inovasi, teknologi, dan gaya hidup.

Pemahaman tentang penanda memberikan kita alat untuk menganalisis bagaimana tanda bekerja dalam berbagai konteks komunikasi. 

Baik itu dalam bahasa, iklan, maupun seni visual, penanda selalu hadir sebagai elemen penting dalam proses penciptaan dan penyampaian makna.

3. Tentang Petanda (Signified)

Dalam teori semiotika Ferdinand de Saussure, petanda (signified) adalah konsep mental atau makna yang dirujuk oleh suatu tanda. 

3.1 Petanda Bersifat Abstrak

Petanda tidak berbentuk fisik, melainkan sebuah representasi mental yang bersifat subjektif, karena bisa sedikit berbeda antara satu individu dengan individu lainnya berdasarkan pengalaman dan persepsi mereka.

Jika penanda adalah bentuk fisik yang dapat dilihat, didengar, atau dirasakan, petanda adalah ide atau gagasan yang muncul dalam pikiran kita ketika melihat atau mendengar penanda tersebut. 

Petanda adalah elemen abstrak dalam sistem tanda, yang tidak memiliki bentuk fisik tetapi hadir sebagai gagasan atau ide yang muncul di benak kita ketika kita berinteraksi dengan penanda (signifier). 

Dengan kata lain, petanda adalah “isi” atau “makna” dari tanda, yang memberikan makna pada bentuk fisiknya.

Sebagai contoh, ketika seseorang mendengar atau membaca kata kucing (penanda), konsep seekor hewan berbulu, berkaki empat, dan memiliki kumis yang muncul dalam pikiran mereka adalah petanda. 

Contoh lain, ketika seseorang mendengar kata kursi, yang muncul dalam pikiran bukanlah kursi fisik tertentu, tetapi gambaran mental tentang benda yang digunakan untuk duduk, memiliki kaki, dan biasanya ditemukan di ruang tamu atau kantor. 

Konsep ini–yaitu kursi sebagai benda untuk duduk–adalah petanda yang diwakili oleh kata atau simbol kursi.

3.2 Petanda Bukan Referen

Salah satu kesalahan umum dalam memahami konsep petanda adalah menyamakannya dengan referen. 

Referen adalah objek nyata atau fisik yang dirujuk oleh tanda, sedangkan petanda adalah makna abstrak yang ada dalam pikiran manusia. 

Saussure dengan jelas membedakan keduanya, karena fokus teorinya adalah pada hubungan antara penanda dan petanda, bukan pada referen.

Misalnya, kata pohon memiliki petanda berupa konsep mental tentang tanaman tinggi dengan batang kayu, daun, dan akar. Namun, referennya adalah pohon yang nyata yang kita lihat di taman atau hutan. 

Dalam semiotika Saussure, hubungan antara tanda (penanda dan petanda) tidak harus merujuk pada referen tertentu yang nyata. Oleh karena itu, makna tanda tetap ada meskipun referennya tidak ditemukan. 

Sebagai contoh, ketika seseorang mengatakan naga, petanda berupa konsep hewan mitos bersayap tetap ada meskipun referen fisik naga tidak nyata.

Membedakan petanda dari referen penting untuk memahami bagaimana tanda bekerja dalam sistem komunikasi, terutama ketika kita berbicara tentang simbol, metafora, atau gagasan abstrak yang tidak selalu memiliki wujud nyata.

4. Arbitrer: Hubungan Penanda dan Petanda dalam Tanda

Sudah dijelaskan sebelumnya, tanda adalah entitas yang terbentuk dari hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified). 

Penanda adalah bentuk fisik dari tanda, seperti bunyi, tulisan, atau gambar, sementara petanda adalah konsep mental atau makna yang dirujuk oleh penanda. 

Keduanya tidak berdiri sendiri, melainkan selalu saling terkait untuk menciptakan tanda. Tanpa penanda, petanda tidak memiliki bentuk untuk mengomunikasikan maknanya, dan tanpa petanda, penanda tidak memiliki makna yang dapat dimengerti.

Sebagai contoh, kata pohon dalam bahasa Indonesia adalah penanda yang, ketika didengar atau dibaca, merujuk pada petanda berupa konsep mental tentang tumbuhan tinggi dengan batang kayu. 

Bersama-sama, penanda dan petanda ini membentuk tanda pohon yang memiliki makna dalam konteks komunikasi bahasa.

Salah satu konsep kunci dalam teori Saussure adalah bahwa hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer

Ini berarti tidak ada hubungan alami atau inheren antara bentuk fisik tanda (penanda) dan makna atau konsep yang dirujuknya (petanda). 

Misalnya, kata pohon hanyalah rangkaian bunyi yang dipilih secara acak oleh masyarakat tertentu untuk merujuk pada makna tertentu. 

Dalam bahasa lain, seperti bahasa Inggris, makna yang sama diwakili oleh penanda tree, yang bentuknya sama sekali berbeda.

Hubungan arbitrer ini menunjukkan bahwa makna tanda sepenuhnya ditentukan oleh kesepakatan sosial. 

Tidak ada alasan mengapa suatu objek harus disebut pohon dalam bahasa Indonesia dan bukan kata lain; nama itu menjadi bermakna hanya karena pengguna bahasa menyepakatinya.

4.1 Pentingnya Kesepakatan Sosial dalam Memahami Hubungan Ini

Karena hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer, tanda hanya dapat berfungsi jika ada kesepakatan sosial di antara pengguna bahasa. 

Kesepakatan ini memungkinkan tanda untuk dimengerti secara konsisten oleh semua orang dalam suatu komunitas bahasa. 

Misalnya, meskipun pohon dan tree memiliki petanda yang sama (konsep mental tentang tanaman kayu tinggi), keduanya hanya bermakna dalam konteks komunitas yang memahami bahasa masing-masing.

Kesepakatan sosial juga berlaku untuk simbol visual. Sebagai contoh, lambang hati ♥ telah menjadi penanda universal untuk petanda berupa cinta atau kasih sayang, meskipun bentuknya tidak memiliki kemiripan dengan organ hati manusia. Kesepakatan inilah yang menjadikan tanda dapat dipahami secara luas.

4.2 Onomatope Tidak Menggagalkan Teori Tanda yang Arbitrer

Saussure memang mengakui bahwa arbitraritas adalah sifat dasar hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dalam sistem tanda. 

Namun, ia juga menyadari bahwa ada beberapa pengecualian, salah satunya adalah onomatope

Onomatope adalah kata-kata yang diciptakan untuk meniru bunyi tertentu, seperti tok tok tok (suara ketukan pintu), meong (suara kucing), atau boom (suara ledakan). 

Sekilas, onomatope tampaknya menunjukkan hubungan yang lebih “ikonik” atau alami antara penanda dan petanda.

Namun, Saussure tetap menekankan bahwa bahkan dalam kasus onomatope, hubungan antara penanda dan petanda masih memiliki elemen arbitraritas. 

Penjelasan Saussure mencakup beberapa poin berikut.

  1. Pengaruh Budaya dan Bahasa
    Onomatope tidak sepenuhnya universal. Misalnya, suara ayam dalam bahasa Indonesia diwakili dengan kata “kukuruyuk,” tetapi dalam bahasa Inggris disebut “cock-a-doodle-doo,” dan dalam bahasa Prancis “cocorico.”
    Meskipun ketiganya mencoba meniru suara ayam, bentuk bunyinya berbeda karena setiap bahasa memiliki sistem fonetik dan kesepakatan sosial yang unik.
    Ini menunjukkan bahwa unsur arbitraritas tetap ada dalam pembentukan onomatope.
  2. Modifikasi oleh Sistem Bahasa
    Kata-kata onomatope cenderung dimodifikasi agar sesuai dengan pola fonetik dan struktur bahasa tertentu.
    Misalnya, kata meow dalam bahasa Inggris dan meong dalam bahasa Indonesia memiliki perbedaan meskipun keduanya meniru suara kucing.
    Pola suara aslinya disesuaikan dengan sistem fonologi bahasa tersebut, yang mempertegas unsur arbitraritas.
  3. Batasan Ikonisitas:
    Meskipun onomatope tampak meniru bunyi tertentu, kata-kata ini tetap merupakan representasi abstrak dari suara aslinya.
    Bunyi yang sebenarnya jauh lebih kompleks daripada apa yang dapat direpresentasikan oleh kata-kata.
    Oleh karena itu, meskipun tampak lebih “ikonis,” onomatope tetaplah tanda yang tunduk pada sistem tanda bahasa dan kesepakatan sosial.
  4. Fungsi dalam Sistem Tanda:
    Saussure menekankan bahwa meskipun ada beberapa pengecualian seperti onomatope, sifat arbitrer tanda adalah prinsip fundamental dalam sistem bahasa secara keseluruhan.
    Onomatope hanyalah sebagian kecil dari bahasa, dan keberadaannya tidak meruntuhkan teori arbitraritas, melainkan memperkaya pemahaman kita tentang fleksibilitas sistem bahasa.

Dengan penjelasan ini, Saussure menunjukkan bahwa meskipun ada kasus tertentu yang tampaknya lebih ikonis, seperti onomatope, sifat dasar bahasa tetap arbitrer. 

Onomatope hanyalah fenomena khusus yang, ketika dianalisis lebih dalam, tetap menunjukkan unsur arbitraritas karena pengaruh sistem bahasa dan kesepakatan sosial.

5. Penerapan Teori Penanda dan Petanda dalam Kehidupan

Teori penanda (signifier) dan petanda (signified) yang dikembangkan oleh Ferdinand de Saussure memiliki implikasi luas dalam berbagai bidang, terutama tentu saja linguistik. Konsep ini kemudian dikembangkan di bidang ilmu komunikasi, dan budaya. 

Dalam linguistik, konsep ini membantu menjelaskan bagaimana bahasa bekerja sebagai sistem tanda yang memungkinkan manusia saling berkomunikasi. 

Kata-kata dalam bahasa tidak hanya mengacu pada objek fisik, tetapi juga pada gagasan abstrak, nilai, dan konsep yang lebih kompleks, menjadikan teori ini landasan penting untuk analisis struktur bahasa.

Dalam bidang komunikasi, hubungan antara penanda dan petanda memberikan wawasan tentang bagaimana pesan disampaikan dan diterima.

Tidak hanya dalam bahasa verbal, teori ini juga relevan untuk memahami simbol visual, gestur, dan elemen nonverbal lainnya yang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. 

Misalnya, logo sebuah merek adalah penanda yang membawa petanda berupa nilai atau identitas tertentu yang ingin dikomunikasikan kepada konsumen.

Dalam kajian budaya, teori Saussure membantu kita memahami bagaimana makna dibentuk dan dinegosiasikan dalam masyarakat. 

Budaya dipenuhi dengan tanda-tanda, mulai dari simbol agama, pakaian tradisional, hingga praktik sosial tertentu, yang semuanya dapat dianalisis dengan memahami hubungan antara penanda dan petanda. 

Melalui teori ini, kita dapat mengungkap bagaimana makna budaya dikonstruksi dan bagaimana simbol-simbol tersebut mencerminkan nilai-nilai masyarakat.

5.1 Mengapa Teori Ini Tetap Relevan hingga Saat Ini

Teori penanda dan petanda tetap relevan di era modern karena dunia kita semakin dipenuhi dengan tanda-tanda, baik dalam komunikasi digital, media, maupun interaksi sosial. 

Di era internet dan media sosial, simbol, emoji, dan konten visual lainnya memainkan peran besar dalam menyampaikan pesan dan menciptakan makna. 

Analisis semiotika membantu kita memahami bagaimana pesan-pesan ini dikonstruksi dan diterima oleh audiens.

Selain itu, teori ini menjadi alat yang sangat penting dalam menganalisis berbagai bentuk komunikasi lintas budaya. 

Karena setiap budaya memiliki sistem tanda yang berbeda, pemahaman tentang hubungan antara penanda dan petanda memungkinkan kita untuk menjembatani kesenjangan budaya dan memahami perspektif yang berbeda.

Lebih jauh lagi, teori ini relevan untuk memeriksa dinamika kekuasaan dalam masyarakat. Penanda dan petanda sering digunakan untuk membentuk narasi tertentu, baik dalam politik, media, maupun iklan. 

Dengan memahami bagaimana tanda bekerja, kita dapat mengidentifikasi agenda tersembunyi dan mempromosikan komunikasi yang lebih kritis dan sadar.

Secara keseluruhan, teori penanda dan petanda tidak hanya memberikan landasan teoretis untuk memahami tanda, tetapi juga menjadi alat praktis yang dapat digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena dalam kehidupan modern. 

Relevansinya yang luas memastikan bahwa teori ini tetap menjadi bagian penting dari kajian semiotika hingga saat ini.

5.2 Fenomena Salah Paham dan Arbitraritas

Dalam banyak kasus, satu penanda yang sama dapat merujuk pada petanda yang berbeda bagi individu atau kelompok yang berbeda. 

Hal ini terjadi karena makna (petanda) dari sebuah penanda tidak melekat secara alami pada bentuk fisiknya, melainkan merupakan hasil konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh pengalaman, budaya, atau konteks.

Sebagai contoh, warna putih dalam budaya Barat sering dikaitkan dengan kemurnian, kesucian, atau perayaan (misalnya, gaun pengantin yang berwarna putih melambangkan kemurnian dan kebahagiaan).

Sementara itu, dalam budaya Timur tertentu (seperti di Tiongkok atau India), putih dapat melambangkan duka atau kematian, sehingga sering digunakan dalam upacara pemakaman.

Fenomena lain yang muncul adalah ketika dua penanda berbeda dianggap memiliki petanda yang sama, sehingga tidak ada perbedaan signifikan di mata publik. 

Contoh nyata dalam kasus ini adalah ketika Presiden Jokowi pada masa pandemi Covid-19 berusaha membuat perbedaan semantik antara mudik dan pulang kampung.

Saat pandemi terjadi, ada larangan untuk mudik lebaran karena dikhawatirkan pergerakan warga yang mudik juga akan membawa virus sehingga penularan semakin tidak terkendali. 

Menariknya, larangan mudik tersebut menyisakan masalah komunikasi antara pemerintah dengan rakyatnya. 

Dalam wawancara dengan Najwa Shihab di acara Mata Najwa, Presiden Jokowi mengungkapkan pernyataan yang intinya adalah rakyat tidak boleh mudik, tetapi boleh pulang kampung.

Pernyataan tersebut mengundang kontroversi, baik dari kalangan rakyat biasa, para politisi, dan tidak terkecuali para ahli bahasa. 

Kebanyakan orang tidak menganggap kedua penanda tersebut sebagai entitas yang berbeda karena keduanya merujuk pada ‘kegiatan kembali ke kampung halaman’.

Seorang pemerhati bahasa Indonesia, Ivan Lanin, sampai menyampaikan hal berikut.

Mudik dan Pulang Kampung Viral, Ivan Lanin Pajang Foto, 'Kamus Sudah Mati'

Mari kita kupas masalah mudik dan pulang kampung tadi dari sudut pandang semiotika versi Ferdinand de Saussure. 

Adapun kata mudik dan pulang kampung dalam hal ini dipandang sebagai tanda.

Saussure menjelaskan bahwa tanda terdiri atas dua komponen, yaitu penanda dan petanda. Penanda merupakan realitas fisik dari tanda tersebut, misalnya deret bunyi dalam sebuah kata. 

Sementara itu, petanda adalah realitas batin dari tanda tersebut, yaitu konsep atas sebuah penanda.

Hubungan antara penanda dengan petanda bersifat arbitrer. Artinya, tidak ada motivasi khusus mengapa sebuah petanda X ditandai dengan penanda Y. 

Intinya, suka-suka yang menciptakan tanda. Oleh karena itu, supaya tanda tadi dapat dipakai secara bersama atau komunal dibutuhkan kesepakatan antarpengguna tanda.

Di situlah letak permasalahannya.

Presiden Jokowi menggunakan kuasanya sebagai penutur bahasa Indonesia untuk menandai konsep ‘kembali ke kampung halaman dalam rangka merayakan Idulfitri’ dengan penanda mudik.

Sementara itu, secara arbitrer pula, Presiden Jokowi menandai konsep ‘kembali ke kampung halaman karena sudah tidak memiliki harapan untuk bertahan di kota’ dengan penanda pulang kampung.

Oleh karena itu, menjadi jelas bahwa mudik dilarang, sementara pulang kampung diperbolehkan.

Permasalahannya adalah tidak semua orang sepakat dengan hubungan penanda-petanda versi Presiden Jokowi di atas. 

Kebanyakan yang tidak setuju menganggap, mudik dan pulang kampung itu sama, apa pun tujuannya.

Salah paham sering terjadi karena perbedaan konteks atau sudut pandang antara pembicara dan mitra bicara. 

Dalam kasus Jokowi, konteks mudik dan pulang kampung mungkin sudah jelas dalam pikirannya, tetapi interpretasi masyarakat bergantung pada makna umum yang sudah mapan sebelumnya.

Fenomena salah paham seperti ini menunjukkan betapa pentingnya kesepakatan sosial dan konteks dalam membangun makna tanda. 

Dalam kasus Jokowi, terdapat perbedaan pemahaman penanda: Jokowi membedakan makna “mudik” dan “pulang kampung,” tetapi mayoritas publik tidak menganggap keduanya berbeda.

Ketidaksesuaian antara konteks Jokowi dan konteks pemahaman masyarakat memicu kebingungan.

Analisis semiotika ini menunjukkan bahwa salah paham sering terjadi karena hubungan antara penanda dan petanda tidak bersifat universal, melainkan dipengaruhi oleh konteks sosial, budaya, dan persepsi individu. 

Untuk menghindari salah paham, pembicara perlu memberikan penjelasan eksplisit atau memperjelas konteks dari tanda yang digunakan agar makna yang diinginkan dapat dipahami dengan lebih baik oleh audiens.

6. Modal untuk Kritis terhadap Penggunaan Tanda

Konsep penanda (signifier) dan petanda (signified) yang diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure adalah fondasi utama dalam teori semiotika. 

Penanda, sebagai bentuk fisik tanda, bekerja sama dengan petanda, yaitu makna atau konsep mental yang dirujuknya, untuk membentuk tanda yang dapat dipahami oleh manusia. 

Hubungan antara keduanya bersifat arbitrer, artinya tidak ada kaitan alami antara bentuk penanda dan makna yang dibawanya. 

Hubungan ini bergantung pada kesepakatan sosial yang membuat tanda berfungsi dalam komunikasi.

Memahami konsep penanda dan petanda memberikan wawasan yang mendalam tentang cara kerja bahasa dan tanda dalam kehidupan sehari-hari. 

Dalam bidang linguistik, konsep ini membantu kita memahami bagaimana bahasa membangun makna melalui sistem tanda. 

Dalam komunikasi, konsep ini memungkinkan kita menganalisis berbagai bentuk pesan, mulai dari percakapan verbal hingga simbol visual dalam media atau budaya populer. 

Bahkan dalam kehidupan modern yang dipenuhi dengan tanda-tanda digital, seperti emoji atau logo, teori ini tetap relevan untuk memahami bagaimana manusia menciptakan, menyampaikan, dan menafsirkan makna.

Sebagai salah satu teori paling fundamental dalam semiotika, konsep penanda dan petanda membuka jalan bagi kajian yang lebih luas tentang bagaimana manusia memahami dunia melalui sistem tanda. 

Pemahaman yang mendalam tentang teori ini tidak hanya bermanfaat bagi para akademisi, tetapi juga praktis untuk siapa saja yang ingin lebih kritis dalam menganalisis berbagai bentuk komunikasi di sekitar mereka.

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *