semiotika saussure

Gagasan semiotika Saussure berupa konsep tentang bahasa sebagai tanda. Pemikiran Saussure tentang bahasa sebagai tanda ini diawali dari keinginan Saussure untuk membuat linguistik menjadi ilmu yang otonom. Linguistik pada saat itu dianggap Saussure sebagai ilmu yang tidak otonom karena tidak memiliki objek kajian yang jelas.

Baca juga: Yuk, Mengenal Ferdinand de Saussure

Linguistik pada zaman sebelum Saussure merupakan kajian tentang perubahan dan perbandingan bahasa atau sering disebut aliran linguistik historis komparatif. Tujuan linguistik saat itu adalah menemukan bahasa proto atau bahasa purba yang secara historis melahirkan bahasa-bahasa modern. Kajian linguistik era itu membandingkan bahasa yang satu dengan bahasa yang lain, menemukan persamaan dan perbedaannya, lalu menyimpulkan tingkat kekerabatan antarbahasa tersebut. Kajian ini mirip dengan kajian biologi pada zaman itu, yaitu tentang teori evolusi.

Saussure memandang kajian semacam ini bukanlah kajian bahasa yang sesungguhnya. Saussure pun memikirkan bagaimana membuat bahasa menjadi objek kajian yang pas untuk linguistik sehingga linguistik menjadi ilmu yang otonom. Pemikiran Saussure kemudian disampaikan dalam kuliah-kuliahnya.

Saussure tidak pernah menulis buku. Namun gagasan-gagasan cemerlangnya tentang bahasa melalui kuliah-kuliahnya dikumpulkan oleh murid-muridnya. Mereka pun menyusun sebuah buku berdasarkan catatan-catatan kuliah itu berjudul Cours de Linguistique Generale.

Secara garis besar ada empat pikiran utama tentang bahasa dalam buku tersebut yang kemudian juga menjadi dasar bagi semiotika Saussure. Empat hal itu adalah (a) konsep tentang langue dan parole, (b) hakikat tanda yang terdiri atas penanda dan petanda, (c) penyelidikan sinkronis dan diakronis, serta (d) relasi sintagmatik dan paradigmatik.

Langue dan Parole

Saussure membedakan bahasa dalam tiga konsep, yaitu langue, parole, dan langage. Pembedaan ini ditengarai dipengaruhi oleh teori fakta sosial gagasan Emile Durkheim. Menurut Durkheim, ada sebuah fakta yang disebut fakta sosial berupa kesepakatan bersama di tengah masyarakat yang mengikat masyarakat sehingga mengatur setiap individu dalam masyarakat tersebut.

Contohnya, dalam masyarakat Jawa ada sebuah kesepakatan bersama bahwa orang yang lebih tua harus dihormati, misalnya dengan ragam bahasa krama. Kesepakatan itu mengikat seluruh individu Jawa sehingga ketika ada seorang Jawa yang tidak menggunakan ragam bahasa krama ketika berbicara dengan orang yang lebih tua, dia akan dianggap bersalah, aneh, dan tidak “men-Jawa”.

Baca juga: Langue dan Parole Menurut Saussure

Saussure menganggap bahasa merupakan fakta sosial. Dari ketiga konsep yang disebutkan di atas, langue adalah yang disebut sebagai fakta sosial itu. Bahasa merupakan sebuah kesepakatan bersama dan mengikat para pemakainya.

Penutur bahasa Indonesia terikat pada langue yang mengatur bahwa konstruksi kalimat dalam bahasa Indonesia adalah S-P-O seperti pada contoh Ayah makan nasi. Sementara itu, penutur bahasa Jepang terikat pada langue yang mengharuskan mereka menggunakan konstruksi S-O-P seperti pada contoh Otōsan wa gohan o tabemashita.

Langue adalah sebuah abstraksi tentang bahasa dalam pikiran manusia. Abstraksi tersebut mengatur cara manusia dari suatu masyarakat berbahasa. Abstraksi itu muncul dari sebuah kesepakatan bersama.

Sementara itu, parole merupakan realisasi dari langue. Jika diibaratkan dengan cara berpakaian, langue merupakan aturan bahwa manusia harus berpakaian ketika berada di tempat umum. Sementara itu, parole-nya adalah realisasi manusia mengenakan pakaian. Ada yang memakai kaus dan celana; ada yang mengenakan jas; ada pula yang mengenakan jubah. Parole merupakan realisasi manusia dalam berbahasa. Ada yang suaranya tebal; ada yang suaranya halus; ada pula yang terbata-bata.

Gabungan antara langue dan parole tersebut adalah langage. Langage adalah bahasa keseluruhan yang terdiri atas norma dan tindakannya.

Dari ketiga konsep tersebut, langue merupakan objek kajian linguistik. Dengan meneliti langue, linguistik bisa terbebas dari pengaruh teori evolusi abad XIX yang membuat linguistik terfokus pada sejarah bahasa dan tidak pernah mengkaji bahasa sebagai bahasa.

Sinkronis-Diakronis

Konsep tentang langue itu kemudian menyadarkan para linguis bahwa ada dua cara menyelidiki bahasa, yaitu diakronis dan sinkronis. Para ahli bahasa sebelum Saussure memandang bahwa satu-satunya kajian bahasa yang ilmiah adalah kajian historis dengan mengetahui sejarah, asal-usul, dan etimologi bahasa. Kajian semacam itu disebut kajian diakronis.

Baca juga: Linguistik Diakronis dan Sinkronis: Perbedaan dan Persamaannya

Saussure menentang pendekatan tersebut. Dalam semiotika Saussure, kajian sinkronis merupakan kajian yang ilmiah untuk menelaah bahasa. Mengetahui etimologi suatu kata memang penting. Namun, untuk dapat memahami makna suatu kata dan menggunakannya, kajian diakronis tidak selalu dibutuhkan.

Saussure menganalogikan hal tersebut dengan perumpamaan tentang batang pohon yang dipotong secara horizontal dan vertikal. Potongan batang yang horizontal menunjukkan serat-serat batang dan hubungan antarserat. Sementara potongan batang yang vertikal menunjukkan perkembangan serat dari bawah hingga atas. Pengetahuan tentang potongan horizontal bagaikan kajian bahasa secara sinkronis, sedangkan yang vertikal secara diakronis.

Jika diibaratkan seperti pakaian pada contoh tentang langue dan parole di atas, kajian sinkronis menunjukkan unsur-unsur dalam pakaian, hubungan antarunsur tersebut, dan cara memakainya. Misalnya, dalam kemeja ada bagian kerah, kancing, lengan, dan lain-lain. Lalu ada hubungan antara kemeja dengan celana hingga tata cara memakai keduanya. Semua itu dikaji dalam pendekatan sinkronis. Sementara itu, asal mula dan sejarah pakaian dari zaman dahulu hingga era modern merupakan gambaran kajian diakronis.

Penanda dan Petanda

Kajian langue secara sinkronis melahirkan kajian tentang struktur bahasa seperti halnya kajian tentang potongan batang pohon secara horizontal dan analisis unsur-unsur dalam kemeja tadi. Menurut Saussure penandaan dalam bahasa bukan semata-mata penamaan atas suatu objek. Bahasa bukanlah hubungan langsung antara kata dengan benda. Bahasa merupakan kesatuan antara citra akustik dengan konsep. Tanda bahasa merupakan sesuatu yang sifatnya psikis, bukan fisik. Tanda bahasa atau langue itu abstrak seperti halnya fakta sosial tentang cara berpakaian tadi. Yang bersifat fisik adalah parole atau dalam analogi pakaian tadi adalah wujud pakaiannya.

Baca juga: Arbitrer: Kunci Penting dalam Memahami Struktur Tanda

Saussure pun membagi tanda bahasa dalam dua dimensi, yaitu citra akustik dan konsep. Citra akustik berkaitan dengan ingatan atau kesan bunyi bahasa yang didengar dalam benak manusia. Jadi citra akustik bukanlah bunyi itu sendiri. Ingat, tanda bahasa itu abstrak dan psikis.

Sementara itu, konsep lebih abstrak dibandingkan citra akustik. Konsep merupakan abstraksi dalam benak tentang citra akustik tersebut. Konsep bersifat menyederhanakan. Meskipun dalam kenyataannya kemeja memiliki banyak variasi bentuk hingga warna, manusia mampu menyederhanakan keberagaman kemeja tersebut menjadi sebuah konsep tentang kemeja dalam pikiran.

Saussure menyebut citra akustik sebagai penanda (signifiant) atau ‘yang menandai’ dan konsep sebagai petanda (signifie) atau ‘yang ditandai’. Keduanya merupakan satu kesatuan yang membentuk tanda. Hubungan antara tanda dengan petanda bersifat arbitrer atau manasuka atau tidak bermotivasi. Artinya, tidak ada motivasi khusus mengapa suatu petanda ditandai dengan penanda tertentu. Tidak ada alasan mengapa konsep tentang meja ditandai dengan citra akustik berupa abstraksi deret bunyi [meja].

Sintagmatik dan Paradigmatik

Manusia tidak hanya menggunakan tanda tunggal. Tanda demi tanda dapat disusun sedemikian rupa bagaikan mata rantai. Penyusunan tanda demi tanda tersebut memunculkan pemahaman tentang hubungan sintagmatik dan paradigmatik atau linier dan asosiatif.

Baca juga: Relasi Sintagmatik dan Paradigmatik menurut Saussure: Apa Itu dan Mengapa Penting?

Tanda demi tanda dapat disusun secara linear membentuk tanda baru yang lebih besar. Misalnya morfem demi morfem disusun menjadi sebuah kata dan kata demi kata disusun menjadi sebuah kalimat. Itulah yang disebut hubungan sintagmatik. Hubungan sintagmatik dapat dideskripsikan bagaikan deretan slot yang akan diisi tanda demi tanda. Dengan demikian tanda demi tanda tersebut hadir dan membentuk sistem yang linear. Hubungan semacam ini disebut bersifat in praesentia. Jadi, deretan tanda ayah, makan, dan nasi dapat disusun menjadi kalimat Ayah makan nasi.

Sementara itu, setiap tanda yang mengisi slot demi slot memiliki hubungan dengan tanda lain di luar susunan tanda tersebut. Tanda-tanda lain itu tidak hadir dalam deretan tanda dalam slot itu. Hubungan semacam ini disebut hubungan paradigmatik atau asosiatif. Sifatnya in absentia. Misalnya, tanda ayah dalam contoh di atas memiliki hubungan paradigmatik dengan tanda-tanda lain seperti ibu, kakak, adik, kakek, dan nenek. Demikian juga tanda makan memiliki hubungan paradigmatik dengan minum, memasak, dan mengolah. Sementara itu, tanda nasi memiliki hubungan paradigmatik dengan roti, bubur, dan tempe.

Tanda bahasa yang memiliki hubungan sintagmatik dan paradigmatik ini membentuk suatu sistem kebahasaan. Hubungan sintagmatik dan paradigmatik antartanda dapat membentuk jaringan tanda yang tersusun secara teratur dan membentuk suatu totalitas. Hubungan semacam inilah yang pada kemudian hari disebut sebagai strukturalisme.

Kelanjutan Teori Semiotika Saussure

Teori semiotika Saussure mendapat tanggapan luar biasa dari para ahli semiotika pada zaman berikutnya. Strukturalisme Saussure tidak hanya dilanjutkan dalam bidang linguistik, tetapi juga antropologi dan sastra.

Anggapan Saussure bahwa hanya langue-lah yang menjadi objek kajian linguistik ditentang oleh para linguis berikutnya. Parole juga merupakan objek kajian yang penting dalam linguistik. Linguistik yang mengkaji parole berkembang dan melahirkan cabang baru seperti pragmatik, sosiolinguistik, dan analisis wacana.

Kritik Saussure tentang linguistik diakronis yang dianggap bukan merupakan kajian bahasa yang ilmiah pun ditentang para linguis yang lain. kajian diakronis dan sinkronis akhirnya dianggap sebagai dua pendekatan yang saling melengkapi. Seseorang yang ingin melakukan kajian diakronis yang baik terhadap suatu bahasa harus melakukan kajian sinkronis terlebih dahulu terhadap bahasa tersebut sehingga deskripsi perbandingan bahasa antarwaktu dalam bahasa tersebut menjadi lebih rinci dan sistematis.

Hubungan antara penanda dan petanda yang menurut Saussure bersifat arbitrer menjadi pokok pembahasan yang juga sering dikritik. Godel, salah satu muridnya, mengatakan bahwa sebenarnya Saussure pernah memikirkan kearbitreran tanda bahasa hanya terjadi pada tanda bahasa tunggal seperti kata. Sementara itu, ketika tanda bahasa demi tanda bahasa disusun secara sintagmatis bersifat bermotivasi atau tidak arbitrer.

Saussure juga dikritik karena memisahkan tanda bahasa dengan realitas yang diacunya. Saussure hanya berfokus pada abstraksi langue sehingga unsur konkret berupa referen diabaikannya. Padahal, sebuah referen merupakan hal pertama yang dipersepsikan oleh pikiran manusia menjadi sebuah abstraksi atau konsep, lalu abstraksi tersebut direpresentasikan dengan bunyi bahasa seperti yang dikatakan oleh Ogden dan Richards dalam segitiga semantiknya.

Saussure memikirkan bahwa tanda terdiri atas dua dimensi yang merupakan satu kesatuan, yaitu penanda dan petanda. Hubungan penanda dan petanda arbitrer atau tidak bermotivasi. Hubungan ini disebut hubungan yang simbolik.

Setiap tanda juga memiliki hubungan paradigmatik dengan tanda-tanda lain. Tanda demi tanda dengan segala kemungkinan paradigmatiknya juga secara sintagmatik dapat dirangkai menjadi sebuah sistem yang lebih besar. Kajian semacam ini disebut strukturalisme. Oleh karena itu, Saussure disebut juga Bapak Strukturalisme.

Kajian terhadap tanda dengan tujuan menemukan sebuah pola dari tanda-tanda yang awalnya tampak acak merupakan ciri strukturalisme. Itulah sumbangan teori semiotika Saussure.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Indiatimes

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *