Dalam semiotika, konsep tentang arbitrer atau arbitraritas mengacu pada kaitan antara penanda/signifier (seperti simbol, kata, atau gambar) dengan petanda/signified (yaitu, apa yang diwakili oleh penanda). Konsep arbitraritas menyatakan bahwa tidak ada kaitan yang pasti atau mutlak antara penanda dan petanda. Tanda ditentukan oleh konvensi atau pengaturan yang dibuat oleh masyarakat atau kelompok tertentu.
Contohnya, simbol hijau di lampu lalu lintas mewakili izin untuk melanjutkan perjalanan, tetapi tidak ada hubungan alami antara warna hijau dan izin jalan.
Selain itu, dalam konsep arbitraritas juga dapat diterapkan pada simbol-simbol dalam bahasa. Misalnya kata gajah tidak memiliki hubungan alami dengan hewan yang digambarkan, tetapi hanya mewakili konsep yang ditentukan oleh konvensi sosial.
Konsep arbitraritas penting untuk dipahami karena menunjukkan bagaimana tanda-tanda dalam budaya kita ditentukan oleh konvensi sosial dan bukan oleh hubungan alami.
Arbitraritas adalah konsep penting dalam bahasa yang membantu kita untuk memahami cara kerja bahasa. Dalam artikel ini, kita akan melihat bagaimana teori tentang kearbitreran tanda menurut Ferdinand de Saussure menjelaskan struktur bahasa. Selain itu dibahas pula bagaimana bahasa digunakan untuk mengkonstruksi makna.
Saussure dan tanda yang arbitrer
Saussure mengatakan bahwa setiap kata dalam bahasa memiliki dua bagian: citra akustik atau penanda yang merupakan bentuk fisik kata itu sendiri dan konsep atau petanda yang merupakan makna dari kata tersebut. Arbitraritas adalah salah satu elemen dari penanda yang membedakan makna antara satu kata dan kata lain. Teori Saussure ini juga menjelaskan bahwa hubungan antara kata-kata dalam bahasa adalah penting dan memengaruhi makna dari kata-kata tersebut.
Baca juga: Pokok-Pokok Pemikiran Ferdinand de Saussure
Saussure juga mengenalkan konsep langue yang merupakan sistem bahasa yang abstrak dan parole yang merupakan ekspresi individu dari bahasa. Konsep arbitraritas merupakan bagian dari langue yang memungkinkan kita untuk memahami dan mengekspresikan konsep yang kompleks.
Saussure melahirkan teori ini karena ia ingin menunjukkan bahwa tanda-tanda dalam bahasa tidak memiliki hubungan alami dengan referensi mereka, melainkan ditentukan oleh konvensi sosial. Menurut Saussure, tanda-tanda dalam bahasa adalah konstruksi sosial, bukan fenomena alami, Dia juga menyatakan makna tanda-tanda tersebut ditentukan oleh relasi di antara tanda-tanda itu sendiri, bukan oleh keterkaitan alami antara penanda dan petandanya.
Saussure juga menyatakan bahwa bahasa memiliki sifat dinamis, selalu berubah sesuai dengan perkembangan masyarakat. Oleh karena itu, ia menganggap bahwa tanda-tanda dalam bahasa tidak memiliki makna yang pasti dan tetap, tetapi makna yang berubah-ubah sesuai dengan perkembangan sosial.
Saussure juga ingin menunjukkan bahwa tanda-tanda dalam bahasa tidak hanya digunakan untuk komunikasi, tetapi juga memainkan peran penting dalam membentuk identitas sosial dan budaya.
Baca juga: Langue dan Parole Menurut Saussure
Arbiraritas vs onomatope
Konsep arbitraritas sering dipertentangkan dengan konsep onomatope dalam semiotika. Onomatope mengacu pada penanda-penanda yang secara alami terkait dengan petandanya.
Contohnya, suara burung “cuit cuit” dalam bahasa Indonesia, atau “tweet tweet” dalam bahasa Inggris, dianggap sebagai onomatope karena suara tersebut menirukan suara yang sebenarnya burung itu buat.
Sementara itu, konsep arbitraritas menyatakan bahwa tidak ada hubungan alami antara penanda dan petanda, karena tanda ditentukan oleh konvensi atau pengaturan yang dibuat oleh masyarakat atau kelompok tertentu.
Jadi, perbedaan antara kedua konsep ini adalah bahwa onomatope adalah tanda yang secara alami terkait dengan referensi mereka, sementara arbitrer adalah tanda yang ditentukan oleh konvensi sosial.
Arbitraritas dan fakta sosial
Konsep tentang arbitraritas tanda menurut Saussure dipengaruhi oleh konsep fakta sosial dari Emile Durkheim. Konsep fakta sosial mengacu pada kondisi atau kejadian yang terjadi dalam masyarakat. Ini termasuk norma-norma sosial, kebiasaan, dan institusi yang mempengaruhi interaksi antar individu.
Konsep arbitraritas dan fakta sosial saling terkait karena konvensi sosial yang menentukan hubungan antara tanda dan referensi adalah hasil dari fakta sosial. Fakta sosial dapat memengaruhi interpretasi tanda dan sebaliknya tanda dapat memengaruhi fakta sosial.
Salah satu contoh fakta sosial yang dapat memengaruhi interpretasi tanda adalah perbedaan budaya. Dalam budaya yang berbeda, tanda yang sama dapat diinterpretasikan dengan cara yang berbeda. Sebagai contoh, dalam budaya Barat, simbol mata yang terbuka menunjukkan kewaspadaan, sementara dalam budaya Asia, simbol mata yang terbuka dapat diinterpretasikan sebagai simbol kekuasaan. Fakta sosial seperti perbedaan budaya ini dapat memengaruhi cara individu menafsirkan dan merespon tanda-tanda yang mereka lihat.
Contoh lain, fakta sosial seperti perbedaan gender atau orientasi seksual dapat memengaruhi interpretasi tanda. Dalam masyarakat yang cenderung patriarki, tanda-tanda yang menyoroti kekuatan atau kekuasaan laki-laki mungkin dianggap positif, sementara tanda-tanda yang menyoroti kekuatan atau kekuasaan perempuan mungkin dianggap negatif. Begitu juga, tanda-tanda yang menyoroti atau mengejar kesetaraan gender dapat diinterpretasikan berbeda oleh orang yang berbeda dalam masyarakat, tergantung pada fakta sosial seperti persepsi dan pandangan mereka terhadap kesetaraan gender.
Sebaliknya, salah satu contoh tanda yang dapat mempengaruhi fakta sosial adalah iklan. Iklan dapat digunakan untuk menciptakan atau mengubah persepsi masyarakat tentang suatu produk, layanan, atau ide. Sebagai contoh, iklan yang menyoroti keuntungan dari produk makanan ringan yang sehat dapat mempengaruhi masyarakat untuk membeli produk tersebut, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi fakta sosial seperti pola konsumsi makanan.
Tanda-tanda politik juga dapat mempengaruhi fakta sosial. Contohnya, logo atau simbol partai politik yang digunakan dalam kampanye politik dapat memengaruhi pemilih untuk mendukung atau tidak mendukung sebuah partai atau kandidat, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi hasil pemilu dan fakta sosial seperti kepemimpinan negara.
Sosial media juga dapat memengaruhi fakta sosial melalui penggunaannya sebagai media untuk menyebarluaskan tanda-tanda seperti hashtag atau simbol. Contohnya, tagar #MeToo yang digunakan untuk menyuarakan pengalaman-pengalaman korban pelecehan seksual, dapat memengaruhi fakta sosial seperti persepsi masyarakat tentang masalah tersebut dan dukungan terhadap gerakan anti-pelecehan seksual.
Penerapan konsep arbitraritas
Konsep arbitraritas dapat digunakan untuk menganalisis berbagai fenomena di sekitar kita. Dalam analisis semiotik, konsep arbitraritas digunakan untuk menunjukkan bagaimana tanda-tanda dalam budaya kita ditentukan oleh konvensi sosial dan bukan oleh hubungan alami.
Selain itu, konsep ini juga dapat digunakan dalam analisis media, yaitu tanda-tanda yang digunakan dalam iklan, film, televisi, dan media lainnya dianalisis untuk menentukan pengaruhnya terhadap pandangan dan perilaku masyarakat.
Selain itu, konsep arbitraritas juga dapat digunakan dalam studi sosial, antropologi, dan politik, yaitu tanda-tanda yang digunakan dalam peristiwa-peristiwa sosial, politik, dan budaya dianalisis untuk menentukan bagaimana mereka mempengaruhi persepsi dan tindakan masyarakat.
Penerapan pada iklan
Salah satu contoh iklan yang dapat dianalisis dengan konsep arbitraritas adalah iklan parfum. Dalam iklan parfum, simbol-simbol seperti wangi, kecantikan, dan gairah dikaitkan dengan produk parfum. Namun, tidak ada hubungan alami antara produk parfum dan simbol-simbol tersebut, karena hubungan tersebut ditentukan oleh konvensi sosial.
Contohnya, iklan parfum yang menampilkan seorang wanita cantik yang mengeluarkan wangi harum dari botol parfum. Dalam iklan ini, wanita cantik dijadikan sebagai tanda yang mewakili kecantikan, dan wangi harum dari parfum dijadikan sebagai tanda yang mewakili gairah. Namun, tidak ada hubungan alami antara kecantikan atau gairah dengan parfum, karena hubungan tersebut ditentukan oleh konvensi sosial yang dibuat oleh pembuat iklan dan perusahaan parfum.
Perhatikan contoh iklan berikut.
“Introducing the new fragrance for the confident and sensual woman. Experience the allure of Parfumée. A scent that captures the essence of femininity and empowers you to embrace your sensuality. The captivating aroma of Parfumée will leave a lasting impression and make you feel irresistible. Experience the essence of beauty and passion with Parfumée fragrance. Get yours now.”
Dalam copy iklan di atas, tanda-tanda seperti “confident”, “sensual woman” , “allure”, “femininity”, “empowers” dan “irresistible” digunakan untuk mengaitkan produk parfum dengan konsep-konsep tertentu yang diharapkan dapat memengaruhi persepsi konsumen tentang produk tersebut. Namun, tidak ada hubungan alami antara produk parfum dan konsep-konsep tersebut, karena hubungan tersebut ditentukan oleh konvensi sosial yang dibuat oleh pembuat iklan dan perusahaan parfum.
Melalui analisis semiotik, kita dapat mengeksplorasi bagaimana tanda-tanda ini digunakan untuk memengaruhi persepsi konsumen tentang produk parfum dan bagaimana mereka diharapkan untuk bereaksi terhadap produk tersebut. Kita juga dapat menganalisis bagaimana tanda-tanda ini digunakan untuk memengaruhi pandangan konsumen tentang kecantikan dan gairah, dan bagaimana pandangan tersebut dapat digunakan untuk mempromosikan produk parfum.
Penerapan pada film
Konsep arbitraritas juga dapat dipakai untuk menganalisis film. Misalnya film Zootopia. Zootopia adalah sebuah film animasi yang dirilis pada tahun 2016 oleh Walt Disney Animation Studios. Film ini menceritakan seorang polisi berjenis kelinci yang berusaha untuk memecahkan kasus di kota yang didiami oleh berbagai jenis binatang. Film ini banyak dikenal dengan pesan-pesannya tentang diskriminasi, persamaan, dan toleransi.
Zootopia dapat dianalisis dengan konsep arbitraritas dalam hal tanda-tanda yang digunakan dalam film tersebut untuk mengaitkan jenis binatang tertentu dengan karakteristik atau sifat tertentu. Dalam film ini, misalnya, binatang yang lebih besar ditunjukkan sebagai lebih kuat dan menakutkan, sementara binatang yang lebih kecil ditunjukkan sebagai lebih lemah dan tidak berbahaya. Namun, tidak ada hubungan alami antara ukuran binatang dengan karakteristik atau sifat tersebut, karena hubungan tersebut ditentukan oleh konvensi sosial yang dibuat oleh pembuat film.
Stereotip dalam film Zootopia pun dapat dibedah. Dalam film ini, beberapa stereotip digunakan untuk mengaitkan jenis binatang tertentu dengan karakteristik atau sifat tertentu. Contohnya, karakter Nick Wilde yang merupakan rubah digambarkan sebagai licik dan tidak dapat dipercaya, sementara karakter Judy Hopps yang merupakan kelinci digambarkan sebagai lemah dan tidak cukup kuat untuk menjadi polisi.
Melalui analisis semiotik, kita dapat mengeksplorasi bagaimana tanda-tanda ini digunakan untuk memengaruhi persepsi penonton tentang jenis binatang tertentu dan bagaimana mereka diharapkan untuk bereaksi terhadap jenis binatang tersebut. Kita juga dapat menganalisis bagaimana tanda-tanda ini digunakan untuk mempengaruhi pandangan penonton tentang diskriminasi, persamaan, dan toleransi, dan bagaimana pandangan tersebut dapat digunakan untuk memberikan pesan dalam film tersebut.
Penulis: ChatGPT & Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik