
Dalam komunikasi sehari-hari, makna suatu ujaran tidak hanya bergantung pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada konteks tempat ujaran itu terjadi. Konteks pun menjadi elemen penting dalam kajian pragmatik yang meneliti bagaimana tuturan dipahami dalam interaksi sosial.
Dalam kajian pragmatik, konteks membantu penafsir tutur menafsirkan maksud sebuah tuturan.
Misalnya, ucapan “Selamat pagi” dapat memiliki arti yang berbeda jika diucapkan oleh seorang manajer kepada karyawannya yang datang terlambat dibandingkan dengan ketika diucapkan oleh penjaga toko kepada pelanggannya.
Lantas, apa itu konteks dalam pragmatik? Apa saja jenis-jenis konteks? Bagaimana teori para ahli menjelaskan peran konteks dalam pemaknaan bahasa? Simak penjelasannya di artikel ini!
Mengapa Konteks Penting dalam Pemahaman Bahasa?
Ketika seseorang berbahasa, makna yang dihasilkan tidak hanya bergantung pada kata-kata yang digunakan, tetapi juga pada faktor lain yang menyertainya.
Misalnya, siapa yang berbicara, kepada siapa tuturan ditujukan, dalam situasi apa percakapan terjadi, serta bagaimana intonasi dan ekspresi yang digunakan.
Faktor-faktor ini disebut sebagai konteks, dan perannya sangat krusial dalam memahami maksud sebenarnya dari sebuah ujaran.
Tanpa mempertimbangkan konteks, komunikasi bisa menjadi ambigu atau bahkan disalahartikan.
Sebagai contoh, kalimat “Boleh saya duduk?” bisa bermakna permohonan izin yang sopan dalam suasana formal, tetapi bisa juga terdengar seperti sindiran jika diucapkan di ruangan yang sudah penuh kursi.
Oleh karena itu, konteks menjadi aspek utama dalam pragmatik yang berfokus pada bagaimana makna ditafsirkan dalam situasi nyata.
Sebelum memahami lebih jauh bagaimana konteks berfungsi dalam pragmatik, kita perlu memahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan konteks dan bagaimana jenis-jenisnya diklasifikasikan.
Definisi Konteks
Secara etimologis, kata konteks berasal dari bahasa Latin contextus, yang terdiri dari dua elemen:
- con– yang berarti ‘bersama dengan’
- textus yang berarti ‘teks’ atau ‘jaringan kata’
Dengan demikian, konteks adalah sesuatu yang menyertai sebuah teks atau wacana dan membantu dalam proses pemaknaan.
Dalam konteks pragmatik, istilah ini tidak hanya merujuk pada teks tertulis tetapi juga pada situasi komunikasi secara keseluruhan, termasuk faktor sosial dan budaya yang melingkupi percakapan.
Dalam studi pragmatik, konteks memainkan peran penting dalam menentukan makna sebuah ujaran.
Sebuah pernyataan yang sama dapat memiliki arti yang berbeda tergantung pada siapa yang mengatakannya, kepada siapa pernyataan itu ditujukan, kapan dan di mana pernyataan itu diucapkan, serta bagaimana ekspresi wajah dan nada suara penutur saat menyampaikan pernyataan tersebut.
Misalnya, jika seseorang berkata, “Bagus sekali hasil kerjamu!” dengan nada serius dan wajah tersenyum, maka itu kemungkinan adalah pujian.
Namun, jika kalimat yang sama diucapkan dengan nada sinis dan ekspresi wajah yang tidak ramah, bisa jadi itu adalah bentuk sarkasme atau kritik terselubung.
Dalam pragmatik, pemahaman konteks sangat penting agar kita dapat menangkap makna sebenarnya dari sebuah tuturan.
Jenis-Jenis Konteks dalam Pragmatik
Secara umum, konteks dapat dibagi menjadi dua jenis utama: konteks intralingual (koteks) dan konteks ekstralingual.
Konteks Intralingual (Koteks)
Konteks intralingual, atau sering disebut koteks, mengacu pada aspek kebahasaan yang ada di dalam teks atau tuturan itu sendiri.
Dalam konteks ini, makna suatu kata atau frasa dalam sebuah tuturan ditentukan oleh tuturan lain yang mengapitnya, baik sebelum maupun sesudahnya.
Dengan kata lain, koteks adalah bagian dari suatu wacana yang membantu pendengar atau pembaca memahami referensi suatu kata atau kalimat.
Contoh:
“Ibu pergi ke pasar. Dia membeli sayur dan buah.”
Pada kalimat kedua, kata dia tidak memiliki makna yang jelas jika berdiri sendiri.
Namun, karena ada kalimat sebelumnya yang menyebutkan Ibu, dapat disimpulkan bahwa dia merujuk pada ibu.
Hubungan antara kedua kalimat ini adalah contoh konteks intralingual atau koteks.
Koteks berperan penting dalam menghindari ambiguitas makna.
Misalnya, dalam bahasa lisan, jika seseorang mengatakan “Dia sudah pergi,” tanpa adanya informasi tambahan, pendengar mungkin tidak akan tahu siapa yang dimaksud dengan dia.
Namun, jika kalimat ini muncul dalam sebuah percakapan yang telah menyebutkan seseorang sebelumnya, maknanya menjadi lebih jelas.
Konteks Ekstralingual
Konteks ekstralingual mengacu pada faktor-faktor di luar bahasa yang memengaruhi makna suatu ujaran.
Faktor-faktor ini bisa meliputi:
- situasi komunikasi, seperti tempat dan waktu ujaran diucapkan,
- identitas penutur dan mitra tutur, termasuk usia, gender, hubungan sosial, dan status, dan
- latar belakang sosial dan budaya, yang membentuk cara pandang dan pola komunikasi seseorang.
Berbeda dengan koteks yang hanya berkaitan dengan unsur kebahasaan dalam teks itu sendiri, konteks ekstralingual melibatkan aspek-aspek di luar bahasa yang membantu seseorang menafsirkan sebuah tuturan.
Contoh:
Seorang bos berkata kepada karyawannya yang datang terlambat, “Selamat pagi!”
Secara harfiah, ujaran ini tampak seperti sapaan biasa.
Namun, dalam konteks komunikasi di tempat kerja, jika seorang karyawan datang terlambat dan bosnya mengatakan “Selamat pagi!” dengan nada tertentu, bisa jadi makna yang dimaksud adalah sindiran atau teguran.
Faktor yang membuat perbedaan makna di sini adalah konteks ekstralingual, yaitu hubungan antara penutur (bos) dan mitra tutur (karyawan), serta situasi komunikasi (kehadiran karyawan yang terlambat).
Konteks ekstralingual juga sangat dipengaruhi oleh norma sosial dan budaya.
Sebagai contoh, dalam budaya tertentu, menatap mata lawan bicara saat berbicara dianggap sebagai tanda kesopanan.
Namun, di budaya lain, menatap mata secara langsung bisa dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan atau menantang.
Perbedaan latar belakang budaya ini menunjukkan bahwa makna suatu interaksi tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang diucapkan, tetapi juga oleh nilai sosial yang berlaku dalam suatu masyarakat.
Menghubungkan Konteks Intralingual dan Ekstralingual dalam Kajian Pragmatik
Dalam interaksi bahasa sehari-hari, konteks intralingual dan ekstralingual sering bekerja secara bersamaan.
Koteks membantu memberikan kejelasan dalam wacana tertulis dan lisan, sedangkan konteks ekstralingual memperkaya makna dengan mempertimbangkan aspek sosial, budaya, dan situasional.
Sebagai contoh, kalimat “Wah, dingin sekali di sini!” jika diucapkan di dalam ruangan yang ber-AC, kemungkinan besar maksudnya adalah keluhan karena suhu yang terlalu rendah.
Di sisi lain, jika tuturan tersebut diucapkan saat seseorang melihat es krim, bisa jadi maksudnya adalah komentar terhadap es krim tersebut.
Selain itu, jika ujaran itu diucapkan dalam situasi politik, bisa bermakna metafora, misalnya merujuk pada suasana yang tidak ramah.
Tanpa memahami konteks di mana ujaran ini terjadi, maknanya bisa menjadi kabur atau bahkan salah diinterpretasikan.
Aneka Teori tentang Konteks dalam Kajian Bahasa
Setelah memahami apa itu konteks dan jenis-jenisnya, kita dapat melihat bagaimana konsep ini berkembang dalam berbagai teori linguistik.
Konteks merupakan bagian tak terpisahkan dari pemakaian bahasa. Pelibatan konteks merupakan salah satu ciri linguistik aliran fungsionalisme sebagai bandingan aliran strukturalisme.
Pelibatan konteks dalam kajian bahasa dipicu ketidakpuasan para linguis terhadap kajian bahasa struktural yang bersifat “kering”.
Selain itu, dikenal juga pemahaman bahwa untuk mengetahui makna bahasa, lihatlah pemakaiannya yang tentunya melibatkan konteks.
Sejumlah ahli bahasa pun telah mengembangkan pendekatan yang lebih spesifik tentang peran konteks dalam komunikasi, seperti
- Aliran Praha dengan konsep tema-rema,
- Aliran Strukturalisme Amerika dengan konsep topik-komen
- teori konteks dari Malinowski dan Firth,
- teori SPEAKING oleh Dell Hymes, dan
- teori situasi tutur dari Leech.
Konteks dalam Aliran Praha
Aliran linguistik pertama yang melibatkan konteks adalah aliran linguistik fungsional Praha yang diprakarsai oleh Vilem Mathesius.
Paham ini tidak hanya berpandangan bahwa secara keseluruhan bahasa mengemban fungsi komunikasi, namun mereka pun menganalisis bahasa dengan asumsi bahwa setiap komponen struktural bahasa memiliki fungsi.
Aliran Praha memandang bahasa seperti mesin motor. Kerja, fungsi, dan sifat masing-masing komponen ditentukan oleh komponen yang lain.
Dengan demikian, sebuah komponen menjadi konteks bagi elemen yang lain.
Dalam setiap komunikasi, baik lisan maupun tulisan, informasi yang disampaikan tidak berdiri sendiri, melainkan memiliki struktur yang terdiri atas komponen-komponen.
Struktur itu membantu pendengar atau pembaca memahami pesan secara lebih mudah.
Menurut Vilem Mathesius, setiap kalimat pada dasarnya terbagi menjadi dua bagian utama, yaitu tema dan rema.
Konsep Tema dan Rema dalam Wacana
Tema adalah bagian dari kalimat yang mengacu pada informasi yang telah diketahui sebelumnya oleh pendengar atau pembaca.
Biasanya, tema muncul lebih dahulu dalam sebuah kalimat untuk menciptakan kontinuitas dalam wacana.
Kehadiran tema memungkinkan informasi baru yang akan disampaikan dapat dipahami dengan lebih mudah karena sudah ada dasar referensi yang jelas.
Sementara itu, rema merupakan bagian dari kalimat yang memperkenalkan informasi baru atau memberikan tambahan terhadap tema.
Dalam konteks komunikasi, rema berfungsi untuk menyampaikan inti pesan yang ingin disampaikan oleh penutur atau penulis.
Sebagai ilustrasi, perhatikan contoh berikut:
“Budi sedang membaca buku. Dia sangat menyukainya.”
Dalam kalimat kedua, kata dia menjadi tema karena sudah diketahui bahwa yang dimaksud adalah Budi, yang telah disebutkan dalam kalimat sebelumnya.
Sementara itu, frasa sangat menyukainya merupakan rema yang memberikan informasi baru tentang tema tersebut.
Konsep yang sama juga berlaku dalam wacana yang lebih panjang. Misalnya:
“Ibu pergi ke pasar. Dia membeli sayur dan buah.”
Dalam contoh ini, kata dia kembali berfungsi sebagai tema karena merujuk pada Ibu, yang telah disebutkan dalam kalimat pertama.
Sementara itu, bagian membeli sayur dan buah berperan sebagai rema karena menyampaikan informasi tambahan mengenai apa yang dilakukan oleh Ibu.
Peran Tema-Rema dalam Konteks Komunikasi
Konsep tema dan rema bukan sekadar teori linguistik yang abstrak, tetapi juga memiliki peran penting dalam pembentukan konteks dalam wacana.
Dalam interaksi sehari-hari, tema dan rema berfungsi untuk menjaga kesinambungan informasi sehingga komunikasi dapat berlangsung secara efektif.
Salah satu manfaat utama dari konsep ini adalah membantu kontinuitas pemahaman.
Dengan mendahulukan informasi yang sudah dikenal (tema), pendengar atau pembaca memiliki dasar untuk memahami informasi baru yang disampaikan dalam rema.
Misalnya, dalam percakapan, seseorang mungkin berkata:
“Tadi aku bertemu dengan Rina di perpustakaan. Dia sedang membaca novel yang baru saja terbit.”
Karena Rina sudah diperkenalkan sebelumnya sebagai tema, pendengar tidak akan kebingungan ketika kata dia digunakan dalam kalimat berikutnya.
Selain itu, tema dan rema juga menciptakan hubungan antarkalimat dalam wacana.
Dalam sebuah teks atau percakapan, tema sering diulang dengan variasi untuk membangun keterpaduan atau kohesi (cohesion).
Sebagai contoh, dalam sebuah artikel tentang Indonesia, kalimat pertama mungkin berbunyi:
“Indonesia adalah negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau besar dan kecil.”
Kemudian, kalimat berikutnya menggunakan kata ganti:
“Negara ini memiliki keanekaragaman budaya yang luar biasa.”
Dalam hal ini, Indonesia menjadi tema dalam kalimat pertama, sedangkan negara ini menjadi tema dalam kalimat kedua yang tetap merujuk pada Indonesia, menjaga kesinambungan informasi dalam wacana.
Dalam komunikasi lisan, tema dan rema juga memiliki peran penting dalam menunjukkan fokus informasi dalam sebuah tuturan.
Sering kali, dalam percakapan sehari-hari, seseorang menggunakan intonasi atau tekanan suara untuk menekankan bagian rema, yaitu bagian yang membawa informasi baru.
Misalnya, dalam kalimat:
“Dia MENYUKAI bukunya.”
Jika kata menyukai diucapkan dengan tekanan lebih, maka pendengar akan memahami bahwa informasi yang ditekankan adalah perasaan seseorang terhadap buku tersebut.
Konsep tema dan rema merupakan salah satu cara bagaimana bahasa disusun agar lebih mudah dipahami dalam konteks komunikasi.
Dengan adanya tema yang berfungsi sebagai landasan informasi dan rema sebagai tambahan informasi baru, proses komunikasi menjadi lebih efektif dan koheren.
Dalam praktiknya, tema dan rema tidak hanya muncul dalam kalimat tunggal tetapi juga dalam wacana yang lebih luas.
Tema dan rema membantu menjaga kesinambungan informasi dan memastikan bahwa pesan yang disampaikan dapat diterima dengan jelas oleh pendengar atau pembaca.
Konteks dalam Aliran Strukturalisme Amerika
Strukturalisme Amerika memandang bahwa setiap ujaran memiliki dua bagian utama, yaitu topik dan komen.
Konsep Topik dan Komen
Topik adalah bagian yang informasinya sudah diketahui atau diasumsikan sudah dikenal oleh pendengar.
Sementara itu, komen adalah bagian yang memperkenalkan informasi baru atau memberikan keterangan tambahan mengenai topik tersebut.
Konsep ini sejajar dengan tema-rema dalam Aliran Praha, tetapi istilah yang digunakan berbeda.
Tema dalam konsep Praha lebih menekankan kesinambungan informasi dalam wacana.
Di sisi lain, dalam tradisi Strukturalisme Amerika, topik lebih dilihat sebagai bagian kalimat yang menjadi pusat perhatian pendengar atau pembaca sebelum bagian komen memberikan informasi baru yang melengkapi atau menjelaskan topik tersebut.
Salah satu hal yang menarik dalam pendekatan Strukturalisme Amerika adalah penekanannya pada koteks atau co-textual context.
Koteks adalah bagian lain dari wacana yang membantu penafsiran suatu ujaran.
Dengan kata lain, makna suatu kalimat tidak dapat dipahami secara utuh tanpa memperhatikan hubungan antara kalimat sebelumnya dan sesudahnya dalam suatu teks atau tuturan.
Sebagai contoh, mari kita perhatikan kalimat berikut:
“Ibu pergi ke pasar. Dia membeli sayur dan buah.”
Dalam contoh ini:
- “Ibu” menjadi topik yang pertama kali diperkenalkan.
- “Dia membeli sayur dan buah” menjadi komen yang memberikan informasi tambahan tentang apa yang dilakukan oleh ibu.
- Kalimat pertama menjadi koteks bagi kalimat kedua, yang memungkinkan pemahaman lebih jelas tentang siapa “dia” yang dimaksud.
Dengan kata lain, dalam Strukturalisme Amerika, konteks dalam kajian bahasa bersifat intralingual, yang berarti bahwa makna suatu ujaran bergantung pada hubungan antar-kalimat dalam suatu teks atau tuturan.
Analisis Kalimat Terbelah dalam Bahasa Indonesia dengan Konsep Topik-Komen
Dalam percakapan sehari-hari, kita sering menemukan kalimat yang tidak mengikuti pola baku tata bahasa tetapi tetap dapat dipahami dengan mudah.
Salah satu bentuk yang menarik adalah kalimat terbelah, seperti dalam ungkapan “Andi bajunya baru,” atau “Eni prestasinya mentereng.”.
Struktur semacam ini tidak lazim dalam bahasa Indonesia formal, tetapi sangat umum dalam komunikasi lisan.
Struktur yang formal seharusnya “Baju Andi baru,” atau “Prestasi Eni mentereng.”
Dalam kajian linguistik, bentuk seperti ini dapat dijelaskan melalui konsep topik-komen, yang dikembangkan dalam tradisi Strukturalisme Amerika.
Konsep ini pada dasarnya sejalan dengan gagasan tema-rema dalam Aliran Praha, yaitu sebuah ujaran selalu mengandung bagian yang telah diketahui (topik/tema) dan bagian yang memperkenalkan informasi baru (komen/rema).
Jika memperhatikan pola kalimat “Andi bajunya baru.”, kita dapat melihat bagaimana struktur ini bekerja.
Kata “Andi” berperan sebagai topik, yaitu elemen yang sudah diketahui atau yang ingin dijadikan pusat perhatian dalam pembicaraan.
Sementara itu, “bajunya baru.” merupakan komen, bagian yang menyampaikan informasi baru terkait dengan topik tersebut.
Dalam konteks komunikasi, pola seperti ini memungkinkan penutur untuk menyoroti elemen tertentu sebelum menyampaikan informasi baru.
Jika dibandingkan dengan struktur baku “Baju Andi baru,” kalimat terbelah memberikan efek pragmatis yang lebih kuat.
Pendengar pertama-tama diberi tahu siapa yang sedang dibicarakan (Andi), sebelum mendapatkan informasi tambahan tentangnya (bahwa bajunya baru).
Namun, makna kalimat ini tidak berdiri sendiri. Konteks memainkan peran utama dalam menentukan interpretasi.
Dalam situasi ketika seseorang bertanya, “Siapa yang bajunya baru?” jawaban “Andi bajunya baru,” terdengar lebih alami dibandingkan dengan “Baju Andi baru.”
Dalam konteks ini, subjek percakapan sudah jelas dan yang diperlukan adalah penekanan pada siapa yang sedang dibicarakan.
Hal serupa terjadi pada kalimat “Eni prestasinya mentereng.”
Jika dalam sebuah diskusi tentang murid-murid yang berprestasi seseorang menyebutkan kalimat ini, pendengar akan segera memahami bahwa “Eni” adalah topik yang sedang dibahas, dan informasi baru yang diberikan adalah “prestasinya mentereng.”.
Namun, jika tidak ada konteks yang jelas, atau jika percakapan sebelumnya tidak membahas Eni, kalimat ini bisa terdengar kurang informatif.
Dengan demikian, keberadaan konteks wacana sangat berpengaruh terhadap bagaimana struktur kalimat terbelah ini dipahami.
Dalam komunikasi lisan, pola topik-komen sering muncul karena berbicara tidak selalu mengikuti struktur gramatikal yang ketat, melainkan lebih fleksibel dan bergantung pada kebutuhan pragmatis.
Pola ini juga menunjukkan bagaimana konteks menentukan kejelasan referensi dalam percakapan.
Dalam situasi informasi tertentu sudah diketahui atau tersirat, penggunaan kalimat terbelah membantu mengarahkan fokus pendengar kepada informasi baru yang ingin disampaikan.
Dengan kata lain, struktur seperti “Andi bajunya baru.” atau “Eni prestasinya mentereng.” tidak hanya merupakan fenomena sintaksis, tetapi juga merupakan strategi komunikasi yang bergantung pada konteks pragmatis.
Dalam kajian pragmatik, pemahaman sebuah ujaran tidak hanya ditentukan oleh tata bahasa, tetapi juga oleh bagaimana ujaran tersebut berhubungan dengan informasi yang telah diketahui oleh pendengar, tujuan komunikasi, dan dinamika percakapan.
Oleh karena itu, kajian tentang topik-komen dalam bahasa Indonesia memperlihatkan bagaimana peran konteks sangat krusial dalam proses pemaknaan.
Sebuah struktur kalimat mungkin terlihat tidak biasa jika dilihat secara terisolasi, tetapi dalam konteks yang tepat, ia justru menjadi alat komunikasi yang efektif untuk menyampaikan informasi dengan lebih jelas dan efisien.
Konteks Situasi dalam Aliran London: Malinowski dan Firth
Pemahaman bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteks penggunaannya pertama kali diungkapkan oleh Bronislaw Malinowski, seorang antropolog asal Polandia.
Dalam penelitiannya terhadap bahasa Kiriwinia yang digunakan oleh masyarakat di Kepulauan Trobiand, Papua Nugini, Malinowski menemukan bahwa kata-kata dalam bahasa tersebut tidak dapat diterjemahkan secara harfiah ke dalam bahasa Inggris.
Salah satu temuan pentingnya adalah bahwa makna suatu kata atau frasa bergantung pada situasi di mana kata tersebut digunakan.
Dalam bahasa Kiriwinia, misalnya, terdapat perbedaan penggunaan bahasa dalam berbagai situasi.
Ada bahasa yang digunakan untuk percakapan sehari-hari, ada yang digunakan dalam ritual keagamaan, dan ada pula yang digunakan dalam aktivitas perdagangan.
Dari pengamatannya ini, Malinowski menyimpulkan bahwa makna bahasa bukan hanya berasal dari kata-kata itu sendiri, tetapi juga dari cara dan konteks penggunaannya.
Teori ini kemudian dikenal sebagai teori konteks situasi (context of situation), yang menyatakan bahwa pemahaman terhadap suatu ujaran tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial, budaya, dan fisik di mana ujaran itu terjadi.
Sebagai contoh, jika seseorang di pasar berkata, “Mahal sekali!”, makna kalimat ini bisa bervariasi tergantung situasinya.
Jika diucapkan dengan nada bercanda sambil tersenyum, bisa jadi hanya sekadar komentar ringan.
Namun, jika diucapkan dengan nada kesal, maka kemungkinan besar itu adalah bentuk keluhan terhadap harga barang.
Dalam contoh ini, konteks situasi—termasuk ekspresi wajah, nada suara, dan lokasi pembicaraan—sangat menentukan bagaimana makna ujaran dipahami oleh mitra tutur.
Pengembangan Konsep Konteks oleh J.R. Firth
Gagasan Malinowski tentang konteks situasi kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh muridnya, J.R. Firth, yang juga merupakan tokoh utama dalam Aliran London.
Firth berpendapat bahwa kajian linguistik tidak dapat dilakukan tanpa mempertimbangkan konteks pemakaian bahasa secara aktual.
Menurutnya, bahasa bukan hanya kumpulan aturan tata bahasa yang statis, tetapi merupakan bagian dari kehidupan sosial yang dinamis.
Oleh karena itu, memahami makna bahasa harus dilakukan dengan analisis kontekstual, yaitu dengan melihat bagaimana ujaran digunakan dalam situasi nyata.
Firth merumuskan empat aspek utama dalam konteks situasi, yaitu sebagai berikut.
- Partisipan – siapa saja yang terlibat dalam interaksi?
- Tindakan partisipan – apa yang dilakukan oleh partisipan dalam interaksi?
- Ciri-ciri situasi yang relevan – aspek sosial dan budaya yang memengaruhi interaksi.
- Dampak tindakan tutur – efek yang ditimbulkan oleh ujaran terhadap lawan bicara atau situasi yang lebih luas.
Misalnya, jika seseorang berkata “Tolong ambilkan air!” makna dan dampak ujaran ini dapat berbeda tergantung pada konteksnya.
Jika diucapkan kepada seorang pelayan di restoran, itu adalah bentuk permintaan sopan.
Di sisi lain, jika diucapkan dengan nada tinggi kepada seorang anak, itu bisa dianggap sebagai perintah.
Namun, jika diucapkan dalam situasi darurat, itu bisa bermakna sebagai permohonan yang mendesak.
Dalam setiap situasi tersebut, makna ujaran tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang digunakan, tetapi juga oleh hubungan antara partisipan, tindakan yang sedang berlangsung, dan norma sosial yang berlaku.
Konteks sebagai Faktor Intratekstual dan Ekstratekstual
Pada era Malinowski dan Firth, konsep konteks tidak lagi terbatas pada hubungan antar-kata dalam teks, tetapi juga mencakup aspek-aspek di luar teks yang memengaruhi makna ujaran.
Oleh karena itu, konteks dapat dibedakan menjadi konteks intratekstual dan konteks ekstratekstual, yang masing-masing memiliki pengaruhnya sendiri terhadap pemaknaan bahasa.
Konteks intratekstual merujuk pada hubungan antarbagian dalam suatu teks atau tuturan.
Dalam konteks ini, pemaknaan suatu kata atau frasa tidak bergantung pada faktor luar, melainkan ditentukan oleh unsur-unsur bahasa yang mengapitnya. Inilah yang disebut dengan koteks.
Berbeda dengan konteks intratekstual yang sepenuhnya bersumber dari dalam bahasa, konteks ekstratekstual mengacu pada faktor-faktor di luar bahasa yang memengaruhi bagaimana suatu ujaran dimaknai.
Faktor ini dapat berupa situasi fisik, hubungan sosial antara penutur dan pendengar, norma budaya, hingga latar belakang pengetahuan yang dimiliki oleh partisipan komunikasi.
Sebagai contoh, kalimat “Silakan duduk,” dapat memiliki makna yang berbeda tergantung pada situasi di mana kalimat itu diucapkan.
Dalam sebuah acara resmi, ungkapan ini mungkin hanya merupakan sapaan sopan kepada tamu.
Namun, dalam situasi di mana seseorang telah berdiri terlalu lama dan tampak kelelahan, ujaran yang sama bisa bermakna sebagai dorongan halus agar orang tersebut segera duduk dan beristirahat.
Di sini, makna ujaran tidak hanya berasal dari kata-kata yang diucapkan, tetapi juga dari pemahaman bersama antara penutur dan pendengar tentang situasi yang sedang berlangsung.
Faktor sosial dan budaya juga turut berperan—dalam budaya yang sangat menjunjung kesopanan, ujaran seperti “Silakan duduk,” bisa terdengar sebagai perintah halus yang lebih sulit ditolak dibandingkan dengan pernyataan langsung seperti “Duduklah.”
Dengan demikian, konteks ekstratekstual memungkinkan kita untuk memahami bagaimana bahasa digunakan secara fleksibel dalam berbagai situasi kehidupan nyata.
Tanpa mempertimbangkan konteks ini, sebuah ujaran bisa disalahartikan atau bahkan kehilangan maknanya sama sekali.
Peran Konteks Intratekstual dan Konteks Ekstratekstual dalam Komunikasi
Baik konteks intratekstual maupun konteks ekstratekstual memiliki peran yang tidak dapat diabaikan dalam pemahaman bahasa.
Konteks intratekstual membantu kita memahami makna suatu ujaran berdasarkan hubungan antarbagian dalam wacana.
Sementara itu, konteks ekstratekstual menghubungkan ujaran dengan dunia nyata, memastikan bahwa komunikasi berjalan secara efektif dalam berbagai situasi.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita secara tidak sadar selalu menggunakan kedua jenis konteks ini untuk menafsirkan makna ujaran orang lain.
Oleh karena itu, memahami bagaimana konteks bekerja dalam bahasa tidak hanya membantu dalam analisis linguistik, tetapi juga meningkatkan keterampilan komunikasi kita dalam berbagai interaksi sosial.
Pendekatan ini juga dikaitkan dengan konteks pengetahuan latar belakang (background knowledge context), yaitu informasi yang dimiliki oleh penutur dan pendengar tentang satu sama lain serta dunia sekitar mereka.
Apa yang diketahui seseorang sebelum percakapan berlangsung akan memengaruhi bagaimana mereka memahami suatu ujaran.
Misalnya, jika dua orang yang akrab satu sama lain bertemu dan salah satunya berkata “Akhirnya selesai juga!” lawan bicara mungkin langsung memahami bahwa yang dimaksud adalah pekerjaan yang sedang mereka bahas sebelumnya, meskipun pekerjaan itu tidak disebutkan secara eksplisit.
Teori Konteks SPEAKING oleh Dell Hymes
Dalam kehidupan sehari-hari, komunikasi tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang diucapkan, tetapi juga oleh konteks sosial dan budaya yang melingkupinya.
Dell Hymes, seorang ahli linguistik dan antropologi, mengembangkan teori SPEAKING untuk menganalisis bagaimana berbagai elemen konteks berperan dalam memahami suatu interaksi.
Teori SPEAKING merupakan akronim dari Setting, Participants, Ends, Act Sequence, Key, Instrumentalities, Norms, dan Genre.
Setiap elemen ini membantu dalam menguraikan faktor-faktor yang membentuk makna komunikasi dalam situasi tertentu.
Dengan menggunakan model ini, kita dapat memahami bagaimana ujaran diinterpretasikan sesuai dengan latar sosial, budaya, dan situasi komunikasi yang terjadi.
Setting (Latar Fisik dan Psikologis)
Setiap komunikasi selalu berlangsung dalam suatu tempat dan waktu tertentu.
Latar ini dapat berupa ruang rapat formal, sebuah rumah yang nyaman, atau bahkan area publik seperti kafe atau taman.
Suasana yang terbentuk dalam setting ini juga memainkan peran penting dalam cara komunikasi berlangsung.
Sebuah percakapan dalam suasana santai di kedai kopi akan terasa berbeda dari diskusi serius di ruang sidang.
Tidak hanya lokasi yang memengaruhi interaksi, tetapi juga faktor waktu—percakapan yang dilakukan di pagi hari ketika orang masih segar akan memiliki dinamika yang berbeda dibandingkan dengan komunikasi di malam hari ketika seseorang sudah lelah.
Participants (Peserta Tutur)
Komunikasi melibatkan lebih dari sekadar kata-kata; siapa yang berbicara dan dengan siapa mereka berbicara sangat memengaruhi bagaimana sebuah pesan disampaikan dan diterima.
Status sosial, usia, dan hubungan antara penutur dan pendengar dapat membentuk cara mereka berinteraksi.
Seorang karyawan, misalnya, akan berbicara dengan nada lebih sopan ketika berbicara dengan atasannya dibandingkan dengan saat ia berbincang santai dengan rekan kerja.
Demikian pula, percakapan antara seorang guru dan muridnya akan memiliki struktur yang berbeda dari percakapan antara dua sahabat.
Ends (Tujuan Komunikasi)
Setiap percakapan memiliki tujuan tertentu, baik itu untuk berbagi informasi, mengajukan permintaan, memberi perintah, atau bahkan sekadar berbasa-basi.
Namun, ujaran yang sama bisa memiliki makna yang berbeda tergantung pada maksud yang mendasarinya.
Misalnya, ungkapan “Saya bisa bicara sebentar?” bisa digunakan untuk meminta bantuan, menyampaikan informasi penting, atau bahkan menegur seseorang, tergantung pada konteksnya.
Oleh karena itu, memahami tujuan komunikasi menjadi kunci dalam menafsirkan makna yang tersembunyi di balik suatu ujaran.
Act Sequence (Urutan Percakapan)
Percakapan memiliki struktur yang terorganisir, yang menentukan bagaimana interaksi berlangsung dari awal hingga akhir.
Ada pola tertentu yang diikuti dalam komunikasi, seperti siapa yang berbicara terlebih dahulu, bagaimana respons diberikan, dan bagaimana alur percakapan berkembang.
Dalam sebuah wawancara kerja, misalnya, pewawancara biasanya membuka pembicaraan, mengajukan pertanyaan, dan mendengarkan jawaban dari pelamar sebelum memberikan tanggapan lebih lanjut.
Jika urutan ini terganggu, misalnya pelamar berbicara lebih dulu sebelum diminta, percakapan bisa terasa tidak sesuai dengan norma yang berlaku dalam situasi tersebut.
Key (Nada dan Suasana Komunikasi)
Makna suatu ujaran sering kali tidak hanya ditentukan oleh kata-kata yang digunakan, tetapi juga oleh nada dan ekspresi yang menyertainya.
Nada bicara bisa menciptakan nuansa komunikasi yang berbeda, mulai dari ramah, serius, santai, hingga sarkastik.
Misalnya, ungkapan “Kamu hebat!” bisa bermakna pujian jika diucapkan dengan nada antusias, tetapi bisa terdengar sarkastik jika disampaikan dengan nada datar atau ekspresi sinis.
Oleh karena itu, nada dan suasana komunikasi sangat berpengaruh dalam menentukan bagaimana sebuah pesan dipahami.
Instrumentalities (Sarana Komunikasi)
Cara komunikasi disampaikan juga berperan dalam menentukan efektivitas pesan.
Komunikasi bisa dilakukan secara lisan, tulisan, bahasa isyarat, atau melalui teknologi seperti pesan teks dan surel.
Setiap media memiliki keunikan tersendiri dalam menyampaikan pesan.
Misalnya, permintaan maaf yang disampaikan secara langsung akan terasa lebih tulus dibandingkan dengan permintaan maaf melalui pesan teks, karena ekspresi wajah dan nada suara dapat memperkuat maksud dari permintaan tersebut.
Norms (Norma dan Aturan Komunikasi)
Setiap komunitas memiliki aturan dan norma komunikasi yang berbeda, yang menentukan apakah suatu ujaran dianggap sopan atau tidak.
Dalam budaya Jepang, misalnya, orang cenderung berbicara secara tidak langsung untuk menunjukkan kesopanan, sementara dalam budaya Barat, komunikasi lebih sering dilakukan secara eksplisit.
Norma juga menentukan kapan seseorang boleh berbicara dan bagaimana cara menyampaikan sesuatu dalam berbagai konteks sosial.
Dalam suatu rapat formal, misalnya, peserta mungkin tidak boleh menyela pembicara sebelum ia selesai berbicara, sementara dalam percakapan santai, interupsi bisa lebih diterima sebagai bentuk keterlibatan aktif dalam diskusi.
Genre (Jenis Wacana)
Setiap komunikasi memiliki bentuk dan gaya tersendiri sesuai dengan jenis wacana yang digunakan.
Percakapan santai antara teman tentu berbeda dengan pidato formal atau wawancara resmi.
Dalam debat politik, misalnya, peserta diharapkan menyampaikan argumen dengan struktur yang jelas dan berdasarkan fakta, sedangkan dalam pidato pernikahan, pembicara lebih cenderung menggunakan bahasa yang emosional dan penuh apresiasi.
Jenis wacana menentukan bagaimana informasi disusun dan bagaimana gaya bahasa digunakan dalam suatu interaksi.
Penerapan Teori SPEAKING
Untuk melihat bagaimana teori SPEAKING bekerja dalam dunia nyata, mari kita analisis percakapan berikut yang terjadi di lingkungan kantor berikut.
Contoh Dialog:
Bos: Halo, bagaimana kabarmu hari ini?
Karyawan: Baik, terima kasih. Bagaimana dengan Bos?
Bos: Sama, baik juga. Ada apa yang ingin kamu bicarakan dengan saya hari ini?
Karyawan: Saya ingin meminta izin untuk berlibur selama seminggu, Bos.
Bos: Apa alasannya?
Karyawan: Saya ingin pergi mengunjungi keluarga saya yang sedang sakit.
Bos: Baiklah, kamu dapat berlibur selama seminggu.
Analisis Berdasarkan Model SPEAKING:
- S (Setting): Kantor, suasana kerja formal.
- P (Participants): Bos dan karyawan, hubungan atasan-bawahan.
- E (Ends): Karyawan ingin meminta izin cuti dan mendapatkan persetujuan dari bos.
- A (Act Sequence):
- Bos membuka percakapan dengan salam dan pertanyaan ringan.
- Karyawan menyampaikan permintaan izin.
- Bos meminta alasan.
- Karyawan menjelaskan alasannya.
- Bos memberikan persetujuan.
- K (Key): Nada formal tetapi tetap sopan dan profesional.
- I (Instrumentalities): Bahasa lisan dalam interaksi tatap muka.
- N (Norms): Norma kerja mengharuskan seorang karyawan meminta izin secara sopan dan memberikan alasan yang jelas.
- G (Genre): Percakapan bisnis yang bersifat formal.
Dari contoh di atas, kita bisa melihat bahwa makna dan keberhasilan komunikasi sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam model SPEAKING.
Jika salah satu faktor berubah—misalnya, jika percakapan dilakukan melalui surel atau pesan teks—maka dinamika interaksi juga akan berubah.
Teori Aspek Situasi Ujar dari Geoffrey Leech
Dalam kajian pragmatik, makna sebuah ujaran tidak hanya ditentukan oleh struktur bahasanya, tetapi juga oleh situasi di mana ujaran itu digunakan.
Geoffrey Leech (1993) memperkenalkan konsep aspek situasi ujar, yang menjelaskan bagaimana berbagai elemen dalam konteks komunikasi berinteraksi untuk membentuk pemahaman atas suatu tuturan.
Leech menganggap bahwa berbahasa bukan sekadar berbicara, melainkan juga bertindak.
Ujaran memiliki fungsi tertentu dalam interaksi sosial, dan maknanya tidak selalu dapat dipahami hanya dari kata-kata yang digunakan.
Oleh karena itu, ia merinci empat aspek utama dalam situasi ujar yang berperan dalam pemaknaan sebuah tuturan
Penyapa dan Pesapa (Penutur dan Mitra Tutur)
Dalam setiap interaksi, siapa yang berbicara dan siapa yang mendengar menjadi faktor kunci dalam menentukan makna sebuah ujaran.
Identitas penutur dan mitra tutur mencakup berbagai aspek seperti status sosial, hubungan interpersonal, usia, dan budaya, yang semuanya berpengaruh pada bagaimana ujaran disampaikan dan diterima.
Sebagai contoh, dalam ujaran “Silakan duduk.”, makna yang diterima oleh pendengar sangat bergantung pada siapa yang mengucapkannya.
Jika seorang atasan mengucapkannya kepada bawahannya, ujaran ini bisa bermakna perintah halus.
Namun, jika tuan rumah mengatakannya kepada tamunya, maka maknanya lebih cenderung sebagai undangan atau bentuk keramahan.
Meskipun kata-katanya sama, identitas penyapa dan pesapa serta relasi di antara mereka menentukan bagaimana ujaran tersebut dipahami.
Pengetahuan Bersama antara Penyapa dan Pesapa
Komunikasi tidak terjadi dalam ruang hampa—setiap percakapan melibatkan pengetahuan bersama antara penutur dan pendengar.
Informasi yang telah diketahui oleh kedua belah pihak memengaruhi bagaimana mereka memahami suatu tuturan.
Misalnya, dalam percakapan antara dua rekan kerja berikut.
A: “Akhirnya beres juga!”
B: “Iya, tinggal laporan ke atasan.”
Tanpa pengetahuan bersama, ujaran pertama mungkin terdengar ambigu.
Namun, karena kedua peserta tutur memiliki konteks yang sama—misalnya, mereka baru saja menyelesaikan proyek penting—maka makna ujaran menjadi jelas tanpa perlu dijelaskan lebih lanjut.
Sebaliknya, jika seorang pendengar tidak memiliki informasi yang sama dengan penutur, ia mungkin akan kesulitan memahami maksud sebuah ujaran.
Dalam situasi seperti ini, misinterpretasi bisa terjadi, atau penutur perlu memberikan lebih banyak detail agar pesannya dapat diterima dengan benar.
Tujuan Tutur (Maksud Komunikasi)
Leech berpendapat bahwa setiap ujaran memiliki tujuan tertentu yang ingin dicapai oleh penutur.
Dalam bahasa sehari-hari, ini sering disebut sebagai maksud tutur.
Sebagai contoh, jika seseorang berkata:
“Bisa tolong tutup jendela?”
Meskipun secara struktur kalimat ini berbentuk pertanyaan, tujuan tuturnya bukan untuk meminta informasi, melainkan untuk meminta seseorang menutup jendela.
Maksud tutur ini menjadi lebih kompleks dalam situasi tertentu.
Sebagai contoh, dalam percakapan bisnis, seseorang mungkin berkata:
“Kami berharap kerja sama ini bisa terus berlanjut.”
Secara eksplisit, ini terdengar seperti harapan biasa.
Namun, dalam konteks negosiasi, pernyataan ini bisa bermakna sebagai dorongan halus agar mitra bisnis segera memperpanjang kontrak.
Dengan demikian, tujuan tutur tidak selalu dapat ditangkap hanya dari bentuk kata-kata yang digunakan, melainkan harus dianalisis berdasarkan konteks percakapan.
Tindak Tutur: Bahasa sebagai Tindakan
Salah satu gagasan utama dalam pragmatik adalah bahwa berbahasa tidak hanya berarti berbicara, tetapi juga bertindak.
Dalam kajian tindak tutur, Leech menekankan bahwa setiap ujaran membawa konsekuensi tindakan, baik yang langsung maupun tidak langsung.
Misalnya, dalam interaksi di bandara, seorang calon penumpang yang mengalami masalah dengan tiketnya mungkin berkata dengan nada tinggi kepada petugas:
“Great!” (Hebat!)
Jika diartikan secara harfiah, kata ini mengandung makna positif.
Namun, dalam situasi ketika penumpang tersebut baru saja diberi tahu bahwa ada kesalahan double booking, ujaran ini menjadi sarkasme yang justru mengungkapkan ketidakpuasan.
Contoh lain adalah percakapan antara seorang anak dan ayahnya:
Anak: “Pak, ada tabrakan motor lawan truk di pertigaan depan.”
Ayah: “Yang menang apa hadiahnya?”
Jawaban sang ayah menyimpang dari maksim relevansi dalam prinsip kerja sama Grice, karena ia memperlakukan kecelakaan sebagai sesuatu yang seolah-olah bisa dimenangkan, layaknya pertandingan.
Penyimpangan ini bisa menimbulkan efek humor, tetapi juga bisa dianggap tidak pantas jika digunakan dalam konteks yang lebih serius.
Dengan demikian, tindak tutur tidak hanya soal isi pesan, tetapi juga bagaimana dan dalam situasi apa pesan itu disampaikan.
Implikasi Teoretis tentang Konteks dalam Kajian Pragmatik
Dalam kajian pragmatik, konteks telah lama diakui sebagai elemen esensial dalam memahami bagaimana makna dihasilkan dan ditafsirkan dalam komunikasi.
Berbeda dengan pendekatan linguistik struktural yang lebih fokus pada aspek bentuk bahasa, pragmatik mengkaji bagaimana bahasa digunakan dalam interaksi sosial, yang berarti bahwa makna tidak bisa dilepaskan dari konteks penggunaannya.
Seiring berkembangnya studi bahasa, semakin disadari bahwa konteks adalah faktor utama yang menentukan bagaimana suatu ujaran dipahami.
Sebagaimana dicatat oleh Weiss dan Wodak (2003), perkembangan ilmu pengetahuan modern semakin mengarah pada interdisiplinaritas ketika batasan antarbidang ilmu mulai ditinggalkan demi menjawab tantangan kompleks yang dihadapi manusia.
Dalam situasi ini, linguistik tidak lagi dapat berdiri sendiri sebagai disiplin yang hanya berfokus pada struktur bahasa, tetapi harus terlibat dalam kajian-kajian sosial, politik, hukum, dan budaya.
Dengan demikian, kemampuan linguistik dan para linguis dalam menjelaskan konteks bahasa akan menentukan martabat linguistik di mata ilmu-ilmu lain.
Konteks sebagai Elemen Fundamental dalam Kajian Bahasa
Sebagaimana dikemukakan oleh Parker (1986), “We always use language in a particular context.”
Bahasa selalu digunakan dalam konteks tertentu, dan memahami bahasa tanpa mempertimbangkan konteksnya adalah pendekatan yang keliru.
Hal ini diperkuat oleh Frawley (1992), yang menyatakan bahwa menganggap makna dapat berdiri sendiri tanpa konteks dan penggunaan adalah gagasan yang tidak populer, bahkan menyesatkan.
Lebih jauh lagi, Pike dan Pike (1983) secara ekstrem menegaskan bahwa “Life requires context; autonomy is death.”
Dengan kata lain, bahasa tidak pernah berada dalam ruang hampa, melainkan selalu terkait dengan situasi sosial tempatnya digunakan.
Salah satu implikasi utama dari kajian konteks dalam pragmatik adalah bahwa bahasa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga instrumen sosial yang merefleksikan kekuasaan, ideologi, dan relasi sosial.
Contohnya dapat dilihat dalam penyelidikan kasus hukum, seperti penyadapan percakapan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam kasus ini, linguistik forensik dapat berperan dalam menganalisis intonasi, jeda, tekanan suara, serta penggunaan istilah khusus untuk mengungkap makna tersirat dalam percakapan para tersangka.
Ini menunjukkan bahwa bahasa bukan hanya sekadar kata-kata, tetapi juga tindakan yang memiliki konsekuensi hukum dan sosial.
Interdisiplinaritas: Peran Linguistik dalam Ilmu Sosial dan Humaniora
Seiring dengan meningkatnya kebutuhan untuk memahami bahasa dalam konteks sosial yang lebih luas, linguistik telah berkembang menjadi bidang yang memiliki relevansi dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kriminologi, politik, sosiologi, hukum, hingga kajian media.
Dalam kajian hukum, misalnya, analisis bahasa dapat membantu memahami strategi komunikasi dalam interogasi, kesaksian di pengadilan, atau analisis dokumen hukum.
Dalam politik, analisis wacana dapat digunakan untuk mengungkap strategi persuasi dalam pidato atau propaganda.
Seorang linguis yang bergerak dalam kajian pragmatik tidak hanya berperan dalam mendeskripsikan pola bahasa, tetapi juga harus memiliki daya kritis dalam meneliti bagaimana bahasa digunakan untuk membangun, mempertahankan, atau bahkan menentang struktur kekuasaan dalam masyarakat.
Dengan demikian, kajian pragmatik tidak hanya bermanfaat dalam memahami interaksi sehari-hari, tetapi juga dalam menganalisis isu-isu yang lebih luas, seperti manipulasi bahasa dalam media, ujaran kebencian, atau strategi komunikasi politik.
Tanggung Jawab Sosial Linguistik dalam Masyarakat
Jika bahasa selalu digunakan dalam konteks tertentu, tugas para linguis bukan hanya sekadar menganalisis makna secara formal, tetapi juga mengkaji dampak sosial dari penggunaan bahasa.
Seorang linguis harus mampu mengaitkan fenomena bahasa dengan peristiwa sosial, politik, dan budaya yang lebih luas.
Dalam konteks Indonesia, misalnya, peran linguis dapat meluas ke berbagai bidang seperti:
- analisis ujaran politik, untuk memahami bagaimana bahasa digunakan dalam membentuk opini publik;
- kajian bahasa media, untuk mengungkap bagaimana framing berita dapat mempengaruhi cara masyarakat memahami suatu peristiwa;
- penerapan linguistik dalam pendidikan, guna meningkatkan literasi kritis terhadap wacana yang manipulatif atau bias.
Dengan kata lain, linguistik bukan hanya disiplin akademik, tetapi juga memiliki dampak nyata dalam membangun kesadaran kritis masyarakat terhadap bagaimana bahasa digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Simpulan
Kajian pragmatik telah menunjukkan bahwa bahasa tidak dapat dipisahkan dari konteksnya.
Setiap ujaran membawa makna yang hanya dapat dipahami jika kita memperhitungkan siapa yang berbicara, kepada siapa, dalam situasi apa, dan dengan tujuan apa.
Oleh karena itu, kajian linguistik yang berorientasi pada konteks adalah suatu keniscayaan.
Dengan semakin berkembangnya interdisiplinaritas dalam ilmu pengetahuan, linguistik semakin diundang untuk terlibat dalam penyelesaian berbagai persoalan kemanusiaan.
Baik dalam hukum, politik, media, hingga sosial budaya, linguistik tidak bisa lagi hanya berfokus pada aspek struktural, tetapi harus bergerak menuju analisis yang lebih luas dan berdampak langsung pada masyarakat.
Oleh sebab itu, kemampuan para linguis dalam menjelaskan konteks bahasa tidak hanya akan mengangkat martabat linguistik sebagai disiplin ilmu, tetapi juga berkontribusi dalam membangun daya kritis masyarakat demi kemanusiaan yang lebih baik.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik