
Dalam artikel sebelumnya kita sudah membahas analisis brand sebagai fondasi pembuatan konten media sosial. Analisis brand membantu menjawab pertanyaan, “Siapa kita?” dan “Apa nilai yang kita tawarkan kepada konsumen?”. Namun, membangun brand saja tidak cukup. Konten media sosial baru akan efektif jika disampaikan kepada orang yang tepat, dengan gaya komunikasi yang sesuai.
Di sinilah pentingnya audience persona media sosial. Audience persona membantu kita memahami “kepada siapa kita berbicara”. Dengan mengenal audiens lebih dalam, bukan sekadar tahu umur dan jenis kelamin, konten yang kita buat akan lebih relevan, personal, dan berdampak. Artikel ini akan membahas secara komprehensif tentang definisi, pentingnya, elemen-elemen utama, langkah membuat persona, hingga contoh nyata dalam konteks lokal.
Definisi Audience Persona
Secara sederhana, audience persona adalah representasi semi-fiktif dari audiens target, yang dibangun berdasarkan data dan riset. Persona bukan sekadar angka statistik, melainkan profil yang lebih hidup tentang seseorang yang mewakili sekelompok audiens.
Misalnya, target pasar sebuah kedai kopi mungkin ditulis: “mahasiswa usia 18–24 tahun yang tinggal di Yogyakarta”. Itu terlalu umum. Audience persona akan lebih detail: “Rizky, 21 tahun, mahasiswa UGM, suka nongkrong sambil mengerjakan tugas kelompok, peduli harga terjangkau, dan ingin suasana cozy.”
Dengan kata lain, audience persona menjembatani data kuantitatif dengan pemahaman kualitatif tentang manusia nyata. Inilah yang membedakannya dari target market yang sering hanya terbatas pada aspek demografis.
Pentingnya Audience Persona dalam Konten Media Sosial
Mengapa kita perlu repot-repot membuat audience persona? Jawabannya sederhana, agar konten tidak meleset sasaran. Konten media sosial yang dibuat tanpa memahami audiens sering kali berakhir hambar, tidak menarik, atau bahkan salah tone.
Beberapa alasan pentingnya audience persona adalah sebagai berikut.
- Meningkatkan relevansi
Konten bisa menyinggung kebutuhan, masalah, dan aspirasi audiens secara langsung.
- Meningkatkan engagement
Audiens lebih cenderung berinteraksi dengan konten yang terasa personal.
- Menghemat sumber daya
Kita tahu platform mana yang paling efektif, sehingga tidak buang waktu di kanal yang tidak relevan.
- Membangun loyalitas
Audiens merasa dipahami, sehingga lebih mudah menjadi pelanggan setia.
Sebagai contoh, brand skincare yang berbicara kepada remaja tentu berbeda dengan brand skincare yang menyasar wanita karier usia 30-an. Tanpa persona, konten mudah kehilangan arah.
Elemen Utama dalam Audience Persona
Audience persona bukan sekadar karangan bebas. Ini dibangun dari beberapa elemen yang harus disusun secara sistematis:
- Data Demografis
- Usia, jenis kelamin, lokasi, pekerjaan, pendidikan, status sosial-ekonomi.
- Contoh: “Dina, 20 tahun, mahasiswi semester 3, tinggal di Yogyakarta.”
- Psikografis
- Nilai, sikap, gaya hidup, hobi, minat, preferensi belanja.
- Contoh: “Dina senang membaca novel, aktif di komunitas kampus, dan lebih suka belanja online karena praktis.”
- Pain Points (Masalah/Kesulitan)
- Apa tantangan utama yang mereka hadapi dalam hidup sehari-hari?
- Contoh: “Dina kesulitan mencari kost putri yang aman tapi tetap ramah di kantong.”
- Goals (Tujuan/Aspirasi)
- Apa yang ingin mereka capai?
- Contoh: “Dina ingin tinggal di kost yang membuatnya tenang belajar dan merasa aman.”
- Channel & Behavior
- Media sosial apa yang paling sering dipakai?
- Bagaimana kebiasaan mereka mengonsumsi konten?
- Contoh: “Dina aktif di Instagram untuk hiburan, WhatsApp untuk komunikasi, dan YouTube untuk belajar.”
Dengan kombinasi data ini, persona terasa lebih nyata, bukan sekadar angka statistik.
Cara Membuat Audience Persona
Membuat audience persona bukan sekadar membayangkan calon konsumen, tetapi perlu riset dan analisis. Berikut langkah-langkahnya.
- Riset Konsumen
- Lakukan wawancara, survei, atau observasi langsung.
- Gunakan data dari analitik media sosial (Instagram Insights, Facebook Audience, Google Analytics).
- Identifikasi Pola
- Dari data, kelompokkan audiens berdasarkan kesamaan karakteristik.
- Misalnya: mahasiswa hemat, pekerja kantoran sibuk, ibu rumah tangga peduli kesehatan.
- Buat Profil Persona
- Berikan nama, usia, foto ilustrasi, dan narasi singkat.
- Misalnya: “Siska, 25 tahun, guru, suka olahraga, peduli kesehatan kulit, aktif di Instagram.”
- Validasi dan Perbarui
- Persona bukan dokumen statis. Perbarui secara berkala sesuai perkembangan tren dan data baru.
Dengan cara ini, persona menjadi alat praktis yang bisa langsung dipakai untuk merancang konten.
Contoh Audience Persona (Studi Kasus)
1. Kost Putri
- Nama Persona: Dina, 20 tahun
- Demografis: mahasiswi semester 3, berasal dari Solo, tinggal di Jogja.
- Psikografis: disiplin, sopan, menjunjung nilai ketimuran.
- Pain Point: khawatir soal keamanan kost putri.
- Goal: ingin kost yang aman, nyaman, dan ramah.
- Channel: aktif di Instagram, suka melihat postingan seputar interior dan tips belajar.
2. Kedai Kopi
- Nama Persona: Rizky, 21 tahun
- Demografis: mahasiswa UGM, tinggal di sekitar kampus.
- Psikografis: suka nongkrong sambil kerja kelompok, gemar musik akustik.
- Pain Point: bosan dengan kafe yang mahal dan terlalu ramai.
- Goal: ingin tempat belajar santai dengan harga terjangkau.
- Channel: aktif di Instagram, TikTok, dan Spotify.
3. Brand Skincare Lokal
- Nama Persona: Siska, 25 tahun
- Demografis: guru muda di Yogyakarta.
- Psikografis: peduli kesehatan kulit, aktif olahraga, suka produk lokal.
- Pain Point: kulit berminyak dan berjerawat.
- Goal: ingin kulit segar dan sehat agar percaya diri di kelas.
- Channel: aktif di Instagram, YouTube, dan marketplace Shopee/Tokopedia.
Contoh-contoh ini menunjukkan bagaimana persona dapat membantu brand memahami audiens secara mendalam, sehingga konten media sosial bisa lebih personal dan relevan.
Untuk lebih jelasnya, mari kita rekonstruksi audience persona dari artikel SEO berikut.
Merawat Kulit Nggak Perlu Mahal, Ini Tips yang Wajib Kamu Tahu Sebelum Beli Skincare!
Skincare-an bisa banget dengan budget secukupnya, yang penting kandungannya tepat untuk kulit kamu.
Siapa bilang perawatan kulit harus mahal? Mungkin sebagian orang memang sudah cocok dengan merek-merek mahal. Namun, kamu bisa juga kok merawat kulit dengan produk yang lebih ramah di kantong. Selama paham dengan cara pemilihannya. Jika kamu sedang mencari skincare dengan harga yang affordable, berikut adalah beberapa tips yang bisa kamu simak!
Kenali jenis dan kebutuhan kulit
Sebelum membeli skincare pastinya penting banget untuk mengetahui tipe kulit kamu apa, dan apa saja yang dibutuhkan kulit. Dengan memahaminya, kamu bisa fokus mencari produk yang sesuai. Jika kulit berminyak, dapat memilih produk yang oil-free dan mengandung bahan seperti salicylic acid. Jika kulitmu kering, dapat memilih produk dengan kandungan hyaluronic acid atau glycerin.
Jangan mudah tergoda kemasan mewah
Skincare yang bagus bukan berarti harus mahal atau memiliki kemasan mewah. Apalagi jika pertimbangan kamu ketika beli adalah packaging yang lucu. Perlu dikurang-kurangi prinsip yang memilih skincare berdasarkan kemasan, daripada isi kandungannya yang cocok di kulit kamu. Pastikan ketika suatu produk hype di sosial media, cek lebih dulu kandungannya seperti apa, dan beli versi mini, atau travel size jika kamu benar-benar penasaran dengan claim-nya.
Prioritaskan produk esensial
Nggak perlu membeli semua produk sekaligus. Supaya menghasilkan kulit yang sehat, cukup memenuhi kebutuhan esensial lebih dulu untuk harian. Seperti pembersih wajah, pelembab, sunscreen dan serum jika benar-benar dibutuhkan untuk mengatasi masalah kulit kamu. Coba untuk fokus pada produk yang punya manfaat langsung buat kulit.
Pertimbangkan produk lokal
Skincare yang bagus nggak selalu harus merek dari luar. Di Indonesia pun sekarang sudah banyak sekali berbagai merek yang bersaing untuk membantu masyarakat menemukan solusi kulitnya secara affordable. Selain harganya yang lebih ramah di kantong, formula yang dibuat di Indonesia sering kali lebih cocok dengan kulit Indonesia. Salah satu produk lokal yang dapat kamu coba adalah Scarlett. Bahkan nggak cuma untuk kebutuhan perawatan kulit di wajah, tapi juga secara menyeluruh. Nggak harus mengeluarkan banyak uang, kamu bisa mendapatkan kulit yang sehat.
Itulah beberapa tips yang dapat kamu terapkan ketika ingin membeli skincare dengan harga affordable. Semoga bermanfaat!
Sumber: Scarlette
Berdasarkan artikel di atas, dapat direkonstruksi audience persona-nya berikut ini.
Elemen Persona | Rincian Persona | Bukti dari Artikel |
Data Demografis | Usia 18–25 tahun, perempuan, mahasiswa/pekerja muda dengan budget terbatas | “Siapa bilang perawatan kulit harus mahal? … kamu bisa juga kok merawat kulit dengan produk yang lebih ramah di kantong.” → Audiens muda yang peduli harga. |
Psikografis – Nilai & Sikap | Peduli kesehatan kulit, rasional, mengutamakan isi produk daripada kemasan | “Sebelum membeli skincare pastinya penting banget untuk mengetahui tipe kulit kamu apa, dan apa saja yang dibutuhkan kulit.” → fokus pada kebutuhan kulit. “Skincare yang bagus bukan berarti harus mahal atau memiliki kemasan mewah.” → mengutamakan fungsi, bukan packaging. |
Psikografis – Gaya Hidup & Kebiasaan | Aktif di media sosial, terpapar tren produk kecantikan, mendukung produk lokal | “…jika suatu produk hype di sosial media, cek lebih dulu kandungannya.” → sering lihat tren di medsos. “Skincare yang bagus nggak selalu harus merek dari luar. Di Indonesia pun sekarang sudah banyak sekali berbagai merek…” → apresiasi produk lokal. |
Pain Points | 1) Skincare dianggap mahal 2) Bingung karena hype sosmed 3) Mudah tergoda packaging 4) Takut salah pilih | “Siapa bilang perawatan kulit harus mahal?” → asumsi skincare = mahal. “…jika suatu produk hype di sosial media, cek lebih dulu kandungannya.” → bingung karena hype. “…daripada isi kandungannya yang cocok di kulit kamu.” → sering beli karena packaging. |
Goals / Aspirasi | 1) Rawat kulit meski budget terbatas 2) Kulit sehat dan glowing 3) Bisa memilih skincare tepat 4) Percaya diri | “…kamu bisa juga kok merawat kulit dengan produk yang lebih ramah di kantong.” → ingin affordable. “Supaya menghasilkan kulit yang sehat, cukup memenuhi kebutuhan esensial…” → tujuan kulit sehat dengan produk minimal. |
Channel & Behavior | Instagram, TikTok, YouTube; suka tips praktis & review affordable skincare | “…jika suatu produk hype di sosial media, cek lebih dulu kandungannya, dan beli versi mini…” → aktif mengikuti hype di medsos, suka coba produk berdasarkan review. |
Tabel di atas dapat dirangkum menjadi:
Nadia, 22 tahun, mahasiswi di kota besar. Ia ingin merawat kulit wajahnya yang berminyak dan kadang berjerawat, tapi budget bulanannya terbatas. Nadia sering bingung karena skincare di media sosial banyak yang hype dengan packaging mewah, padahal ia lebih butuh produk yang sesuai dengan kondisi kulitnya. Ia sering menonton review di YouTube atau scroll TikTok untuk mencari rekomendasi produk lokal yang affordable tapi efektif. Harapannya, Nadia bisa tetap tampil percaya diri tanpa harus mengeluarkan banyak biaya.
Refleksi untuk Tim Media Sosial
Pertanyaan reflektif yang perlu kalian pikirkan:
“Jika kita sudah memahami siapa audiens klien kita dengan jelas, apakah membuat konten media sosial akan terasa lebih mudah dan terarah?”
Jawabannya hampir selalu: ya. Audience persona bukan sekadar teori, melainkan panduan praktis yang bisa mengurangi trial and error dalam membuat konten.
Penutup
Membangun audience persona media sosial adalah langkah krusial setelah analisis brand. Jika brand menjawab siapa kita, persona menjawab kepada siapa kita bicara. Dengan memahami demografi, psikografi, pain points, goals, dan perilaku digital audiens, kita bisa menciptakan konten yang lebih relevan, personal, dan berdampak.
Ingatlah bahwa konten yang kuat lahir dari pemahaman mendalam tentang manusia nyata di balik layar. Inilah yang membedakan konten biasa dengan konten yang benar-benar menyentuh audiens. Pada pertemuan berikutnya, kita akan membahas bagaimana pemahaman tentang audiens ini diterjemahkan ke dalam strategi content writing dan content creating yang efektif.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik