
Berita sering dianggap sebagai cermin realitas. Namun, apakah benar teks berita hanya menyajikan fakta apa adanya? Jika dianalogikan dengan sebuah toko, barang dagangan utama lembaga jurnalistik adalah berita. Nasib perusahaan media ditentukan oleh kualitas beritanya (Barus, 2010). Jika beritanya “laku,” iklan akan masuk; jika tidak, media bisa bangkrut.
Pertanyaan kuncinya: apa sebenarnya yang dimaksud dengan berita? Dan lebih jauh, bagaimana cara berita dikonstruksi hingga bisa memengaruhi cara kita memandang realitas?
Hakikat Berita Menurut Pandangan Timur dan Barat
Untuk memahami berita sebagai laporan atas fakta, kita perlu melihat bagaimana berbagai tradisi pers memaknai istilah “berita.” Tidak semua bangsa atau sistem politik mendefinisikan berita dengan cara yang sama. Ada perbedaan tajam antara cara pandang pers di negara-negara Timur yang cenderung sosialis-komunis, di negara-negara Barat yang liberal-kapitalis, serta pemikiran tokoh pers Indonesia sendiri.
Perbedaan ini menunjukkan bahwa berita bukanlah sesuatu yang universal dan tunggal, melainkan konsep yang dipengaruhi oleh sistem sosial, politik, dan ideologi tempat media itu berada.
1. Pers Timur: Berita sebagai Alat Negara
Dalam tradisi Pers Timur yang berasaskan sosialis-komunis, berita bukanlah komoditas. Berita dipandang sebagai instrumen negara untuk mendidik rakyat dan menjaga stabilitas politik (Kusumaningrat & Kusumaningrat, 2012). Media di sini berfungsi sebagai perpanjangan tangan negara, bukan sebagai bisnis.
2. Pers Barat: Berita sebagai Komoditas
Berbeda dengan itu, Pers Barat memandang berita sebagai barang dagangan. Artinya, berita harus menarik agar “laku dijual.” Lord Northcliffe mendefinisikan berita sebagai “anything out of the ordinary.” Walkley menambahkan unsur kejutan: “combined with the element of surprise.” Maka, anjing menggigit manusia bukan berita, tetapi manusia menggigit anjing adalah berita.
Williard C. Bleyer menegaskan bahwa berita adalah kejadian aktual yang layak dimuat karena bernilai bagi pembaca.
3. Perspektif Indonesia: Jacob Oetama
Tokoh pers Indonesia, Jacob Oetama, menyatakan bahwa berita bukan fakta, melainkan laporan tentang fakta itu sendiri. Peristiwa menjadi berita hanya ketika dilaporkan wartawan dan masuk ke kesadaran publik. Artinya, berita adalah hasil rekonstruksi fakta, bukan fakta murni.
Berita Bukan Fakta, Melainkan Laporan atas Fakta
Teun A. van Dijk (1988b) membedakan dua jenis berita:
- Berita di media massa (cetak, elektronik, digital) → layak dianalisis karena bersifat publik.
- Berita antarindividu → misalnya kabar dari mulut ke mulut, yang lebih bersifat personal.
Dalam kajian ini, fokus kita adalah berita yang dipublikasikan media massa karena di situlah ideologi bekerja.
Dari berbagai definisi di atas, jelas bahwa berita selalu melibatkan interpretasi. Berita tidak pernah identik dengan peristiwa yang terjadi di lapangan. Ia adalah hasil rekonstruksi wartawan dan redaksi. Setiap tahap dalam proses jurnalistik melibatkan seleksi, penyusunan, dan pengemasan yang sarat perspektif dan ideologi.
- Perencanaan liputan
- Redaksi menentukan isu apa yang layak diliput.
- Keputusan ini dipengaruhi banyak faktor: nilai berita (news values), kepentingan publik, bahkan agenda politik atau bisnis media.
- Dari ratusan peristiwa setiap hari, hanya segelintir yang dipilih menjadi berita.
- Peliputan di lapangan
- Wartawan hadir di lokasi, memilih narasumber, dan mencatat peristiwa.
- Namun, wartawan tidak mungkin menuliskan semua detail. Ia harus menyeleksi fakta mana yang dianggap penting, relevan, atau sesuai dengan angle liputan yang sudah ditetapkan.
- Pilihan narasumber juga memengaruhi sudut pandang yang muncul.
- Penulisan berita
- Fakta lapangan kemudian ditulis dengan struktur tertentu, misalnya piramida terbalik (lead, body, ending).
- Dalam tahap ini, bahasa berperan penting. Pemilihan kata bisa menonjolkan pihak tertentu sekaligus menyamarkan pihak lain.
- Ideologi media mulai tampak: bagaimana peristiwa diposisikan, siapa yang dianggap aktor utama, dan apa yang ditekankan.
- Penyuntingan (self-editing dan editor redaksi)
- Wartawan biasanya merevisi tulisannya sebelum diserahkan ke editor.
- Editor kemudian melakukan penyuntingan untuk menyesuaikan dengan gaya media, kebutuhan ruang, atau kebijakan redaksi.
- Tidak jarang, judul atau angle berita diubah agar lebih “menjual” atau sesuai dengan garis besar kepentingan media.
Hasil akhirnya adalah teks berita yang sudah jauh berbeda dari peristiwa asli di lapangan. Banyak fakta diabaikan, disingkat, atau disamarkan. Yang tersisa hanyalah potongan fakta yang sudah dipilih, ditata, dan diberi makna.
Contoh Kasus: Demo Buruh
Misalnya, dalam liputan demo buruh menolak kenaikan harga BBM:
- Media A menekankan jumlah massa dan lalu lintas yang terganggu, menyoroti aspek ketertiban umum.
- Media B lebih banyak memberi ruang pada pernyataan serikat buruh, menekankan alasan aksi dan tuntutan mereka.
- Media C menyoroti bentrokan kecil dengan aparat dan menampilkan visual kericuhan di lapangan.
Padahal faktanya satu: ada demonstrasi buruh. Namun berita di tiga media tersebut menghadirkan versi realitas yang berbeda. Yang sama-sama hilang dalam liputan, misalnya, adalah cerita individu buruh tentang kesulitan hidup mereka sehari-hari.
Perspektif: Cara Media Melihat Fakta
Setelah memahami bahwa berita bukanlah fakta, melainkan laporan tentang fakta, muncul pertanyaan berikutnya: mengapa laporan yang berbeda bisa muncul dari peristiwa yang sama? Jawabannya terletak pada perspektif media. Perspektif adalah kacamata yang dipakai wartawan dan redaksi ketika melihat, menyeleksi, dan menuliskan peristiwa. Sama seperti fotografer yang mengambil gambar dari sudut tertentu, perspektif menentukan bagian mana yang ditonjolkan, mana yang diabaikan, dan bagaimana hasil akhirnya dipersembahkan kepada khalayak.
Perspektif sebagai Sudut Pandang
Menurut Renkema (2004), perspektif dapat dianalogikan seperti posisi kamera seorang fotografer. Peristiwa yang sama bisa tampak sangat berbeda tergantung dari mana kamera diarahkan. Begitu juga dalam jurnalistik, wartawan yang meliput suatu peristiwa tidak pernah benar-benar netral. Ia membawa latar belakang, pengetahuan, dan kerangka berpikir yang memengaruhi bagaimana fakta itu dilihat dan diceritakan kembali.
Hal ini dapat dijelaskan dengan anekdot tentang Grand Canyon yang dikisahkan Derick Daniels (dalam Ishwara, 2011). Tiga orang berdiri di tepi ngarai raksasa itu: seorang pendeta, seorang ahli geologi, dan seorang koboi.
- Sang pendeta berkata, “Ini adalah keajaiban Tuhan.”
- Ahli geologi berkomentar, “Ini keajaiban ilmu pengetahuan.”
- Sementara itu, si koboi menimpali, “Tempat yang cocok untuk menggembala sapi.”
Fakta yang sama—Grand Canyon—melahirkan tiga laporan yang berbeda karena masing-masing melihatnya melalui perspektif yang berbeda.
Contoh Kasus di Indonesia
Fenomena serupa terjadi dalam pemberitaan di Indonesia. Misalnya, dalam konflik Ambon 1999, Republika menuliskan peristiwa itu sebagai “pembantaian,” sementara Kompas dan Suara Pembaruan memilih istilah “konflik” (Eriyanto, 2012). Kata yang dipakai menunjukkan perbedaan cara pandang media terhadap peristiwa yang sama: apakah ingin menekankan sisi brutal atau sisi pertikaian antarkelompok.
Kasus lain adalah kontroversi Miss World 2013 di Indonesia. Bagi media di bawah MNC Group yang juga menjadi penyelenggara acara, ajang ini diberitakan sebagai peluang untuk memperkenalkan budaya Indonesia ke mata dunia. Namun, surat kabar Republika yang berideologi Islam menekankan kritik bahwa kontes tersebut adalah bentuk eksploitasi perempuan (Ahmadi, 2013). Lagi-lagi, satu fakta dapat diolah menjadi dua wacana berbeda.
Hal yang paling sering terjadi adalah dalam liputan demo buruh. Menurut Eriyanto (2013), banyak media lebih menonjolkan aspek kerusuhan—bentrokan, kaca pecah, atau jalan macet—ketimbang menyuarakan tuntutan substantif buruh. Perspektif ini membuat publik lebih mudah melihat buruh sebagai sumber masalah, bukan sebagai pihak yang memperjuangkan hak-haknya.
Dari berbagai contoh di atas, jelas bahwa perspektif pemberitaan menentukan bingkai berita. Fakta tidak berbicara sendiri; ia dipilih, ditafsirkan, dan disajikan melalui lensa ideologi tertentu. Dengan kata lain, membaca berita tidak cukup hanya menyerap informasinya, tetapi juga perlu bertanya: dari perspektif siapa fakta ini dilaporkan?
Perspektif dan Ideologi Media
Setelah memahami bahwa perspektif memengaruhi bagaimana fakta dilaporkan, langkah berikutnya adalah melihat hubungan antara perspektif dengan ideologi. Perspektif seorang wartawan bukan hanya pilihan teknis, melainkan cermin dari nilai, keyakinan, dan bahkan kepentingan ideologis media. Dengan kata lain, perspektif adalah pintu masuk bagi ideologi untuk bekerja di dalam teks berita.
Definisi Perspektif
Beberapa ahli memberikan penjelasan berbeda mengenai perspektif.
- Keraf (1980) menegaskan bahwa perspektif adalah “tempat penulis melihat suatu masalah.” Tempat ini menentukan pilihan kata, nada, dan bahkan sikap penulis terhadap subjek yang diberitakan. Misalnya, penulis yang memandang peristiwa demo dengan rasa simpati akan memilih kata-kata yang lebih lunak dibanding penulis yang memandang demo sebagai ancaman ketertiban.
- Widharyanto (2000) menekankan bahwa perspektif wartawan dipengaruhi oleh nilai-nilai, keyakinan, dan pandangan hidup yang ia bawa. Artinya, berita tidak pernah bebas dari latar belakang pribadi wartawan maupun kultur redaksinya.
- Sobur (2001) menambahkan bahwa perspektif dalam berita terwujud melalui strategi penyajian informasi: fakta mana yang dipilih, bagian mana yang ditonjolkan, dan aspek mana yang dihilangkan. Dengan strategi ini, media bisa menekankan hal tertentu untuk menggiring tafsir pembaca.
Dari ketiga definisi tersebut terlihat bahwa perspektif tidak hanya menyangkut teknik bercerita, tetapi juga cara media memberi makna atas sebuah peristiwa.
Studi Van Dijk: Kasus “Squatters” di Inggris
Teun A. van Dijk (1988a) memberikan contoh yang jelas tentang bagaimana perspektif bekerja dalam wacana media. Ia meneliti pemberitaan mengenai para squatters (penduduk liar) di Inggris. Media pada waktu itu menggunakan perspektif polisi sebagai kerangka utama.
Akibatnya, squatters digambarkan sebagai pihak yang melawan hukum, pembuat masalah, atau pengganggu ketertiban umum. Sebaliknya, tindakan represif polisi terhadap squatters—yang juga merupakan bentuk kekerasan—justru disamarkan atau dilemahkan.
Kasus ini menunjukkan bahwa perspektif bukan sekadar sudut pandang teknis, tetapi juga merupakan pilihan ideologis yang dapat menentukan siapa yang diposisikan benar dan siapa yang salah dalam sebuah berita.
Implikasi
Dari uraian di atas, ada beberapa hal penting yang bisa kita simpulkan:
- Perspektif pemberitaan tidak selalu eksplisit. Ideologi bekerja secara halus, melalui pemilihan kata, struktur, dan organisasi teks.
- Media membingkai realitas dengan cara tertentu. Apa yang dianggap fakta tidak pernah netral, melainkan hasil seleksi dan penekanan.
- Analisis Wacana Kritis (AWK) menjadi alat penting untuk membongkar ideologi di balik teks media. Dengan AWK, kita bisa menelusuri bagaimana perspektif bekerja menyembunyikan, menonjolkan, atau membingkai ulang realitas.
Berita sebagai Wacana Ideologis
Dari seluruh uraian sebelumnya, dapat ditarik benang merah bahwa berita tidak pernah hadir sebagai laporan yang netral. Berita adalah wacana, dan setiap wacana selalu lahir dari proses sosial, budaya, dan politik. Apa yang ditulis wartawan bukanlah cerminan murni dari realitas, melainkan hasil konstruksi yang sudah dipengaruhi oleh perspektif pribadi, nilai redaksi, dan ideologi media tempat ia bekerja.
Pertama, berita adalah produk sosial, budaya, dan politik. Teks berita lahir dari interaksi antara jurnalis, narasumber, dan institusi media yang berada dalam jaringan kekuasaan tertentu. Apa yang dianggap “layak diberitakan” ditentukan oleh nilai berita sekaligus kepentingan media.
Kedua, ideologi media menentukan bagaimana fakta direkonstruksi. Dari pilihan kata, struktur teks, hingga penentuan judul, semua merefleksikan cara pandang media. Satu peristiwa bisa digambarkan sebagai bencana, konflik, atau sekadar peristiwa biasa—semuanya tergantung pada kacamata ideologi yang dipakai.
Ketiga, pembaca perlu mengembangkan kebiasaan kritis dalam membaca berita. Pertanyaan penting yang harus selalu diajukan adalah: siapa yang diuntungkan, siapa yang dirugikan, dan bagaimana bahasa digunakan untuk mencapai tujuan tertentu? Dengan pertanyaan-pertanyaan kritis ini, pembaca tidak lagi menjadi konsumen pasif, melainkan penafsir aktif yang menyadari ada kepentingan di balik teks.
Kesimpulan: Membaca Berita dengan Kacamata Kritis
Berita bukanlah fakta murni, tetapi laporan tentang fakta yang selalu dipengaruhi oleh perspektif wartawan dan ideologi media. Dengan memahami hakikat berita, mahasiswa dilatih untuk menjadi pembaca kritis yang mampu membongkar kepentingan di balik teks media.
Sebagaimana Grand Canyon bisa dilihat sebagai mukjizat, ilmu pengetahuan, atau padang penggembalaan, berita pun selalu merupakan hasil konstruksi. Analisis Wacana Kritis (AWK) membantu kita membuka lapisan konstruksi itu, sehingga ideologi yang tersembunyi dapat terlihat dan dipertanyakan.
Membaca berita dengan kacamata kritis bukan hanya keterampilan akademis, tetapi juga bekal penting untuk hidup sebagai warga negara yang cerdas, humanis, dan tidak mudah dimanipulasi oleh bahasa media.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik