bahasa dan kekuasaan

Kekuasaan dapat direpresentasikan melalui bahasa. Baryadi (2012) menjelaskan ada 4 representasi kekuasaan melalui bahasa, yaitu dalam (a) unsur-unsur kebahasaan, (b) ragam bahasa, (c) tindak tutur, dan (d) gaya bahasa.

Representasi Bahasa dan Kekuasaan Melalui Unsur-Unsur Kebahasaan

Unsur kebahasaan dapat merefleksikan pandangan dominatif suatu kelompok yang lebih berkuasa terhadap kelompok lain yang kurang berkuasa. Unsur kebahasaan yang dapat digunakan antara lain (a) penggunaan kata-kata berkonotasi negatif untuk melabeli kelompok kurang berkuasa dan penggunaan kata-kata berkonotasi positif untuk melabeli kelompok yang berkuasa, (b) penggunaan bentuk-bentuk bermarkah untuk kelompok yang kurang berkuasa, (c) penggunaan bentuk-bentuk secara tidak simetris, dan (d) penggunaan pola urutan.

Kelompok yang berkuasa, misalnya laki-laki, cenderung digambarkan dengan kata-kata berkonotasi positif seperti tampan, gagah, dan jantan. Sementara itu, kelompok yang kurang berkuasa seperti perempuan cenderung sering dilabeli dengan kata-kata berkonotasi negatif seperti semok, seksi, sintal, bahenol, dan montok yang menggambarkan perempuan sebagai objek visual seksual.

Kaum perempuan juga sering disebutkan dengan kata-kata yang bermarkah seperti kata yang diakhiri bunyi /i/ seperti saudari dan mahasiswi atau kata berakhiran –wati seperti karyawati dan seniwati. Sementara itu, kamu laki-laki tidak perlu demikian. Memang ada kata saudara dan mahasiswa, pun demikian dengan karyawan dan seniman. Namun, kata-kata tersebut tidak bermarkah karena juga dapat digunakan untuk merujuk pada kaum perempuan sedangkan saudari, mahasiswi, karyawati dan seniwati selalu merujuk pada perempuan.

Kata-kata bermarkah tersebut juga tidak simetris. Tidak semua kata berakhiran –wan atau –man memiliki padanan bentuk –wati. Ada karyawan dan seniman serta karyawati dan seniwati. Tetapi tidak lazim dikenal *hartawati, *budiwati, *dermawati, dan masih banyak lagi.

Pola urutan ketika menyapa kelompok laki-laki dan perempuan juga menunjukkan kekuasaan dan dominasi yang terjadi. Lebih sering didapatkan urutan sapaan bapak ibu, kakek nenek, saudara saudari, bruder suster, hadirin hadirot, dan lain-lain. Kekuasaan juga tecermin dari urutan subjek-objek dalam kalimat berpredikat kata menikahi dan menceraikan. Subjeknya selalu laki-laki dan objeknya selalu perempuan.

Representasi Bahasa dan Kekuasaan Melalui Ragam Bahasa

Kekuasaan juga terepresentasi melalui ragam bahasa. Ragam bahasa dapat menciptakan jarak sosial antara kelompok berkuasa dengan kelompok yang kurang berkuasa. Salah satu contoh yang terjadi adalah penggunaan ragam bahasa krama dan ngoko dalam bahasa Jawa (atau bahasa-bahasa lain di Nusantara yang mengenal tingkat tutur).

Orang yang memiliki kekuasaan lebih rendah harus menggunakan ragam bahasa krama ketika ingin berkomunikasi dengan orang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi. Sebaliknya, orang yang berkuasa boleh menggunakan ragam bahasa ngoko kepada orang yang kurang berkuasa.

Orang yang kurang berkuasa cenderung harus menggunakan bentuk kebahasaan yang lebih panjang atau lebih kompleks ketika hendak berkomunikasi dengan orang yang memiliki kekuasaan lebih tinggi. Sebaliknya, orang berkuasa bebas menggunakan bentuk kebahasaan yang pendek dan simpleks ketika hendak berkomunikasi dengan orang yang kurang berkuasa.

Dikenal juga bentuk diskriminasi lingual dalam tingkat tutur bahasa Jawa. Untuk menyebut kepala kepada orang yang lebih berkuasa digunakanlah kata mustaka, sementara untuk yang kurang berkuasa digunakan kata sirah atau endhas. Untuk menyebut orang yang lebih berkuasa digunakan kata panjenengan, sementara bagi yang kurang berkuasa dapat digunakan kata sampeyan dan kowe. Kata panjenengan sendiri sebenarnya bermakna ‘pemerintah, sampeyan bermakna ‘kaki’, dan kowe bermakna ‘anak lutung’.

Representasi Bahasa dan Kekuasaan Melalui Gaya Bahasa dan Tindak Tutur

Gaya bahasa bisa dimanfaatkan juga untuk membangun kekuasaan. Gaya bahasa yang bisa digunakan untuk itu ada empat, yaitu gaya bahasa “orientasi nilai”, hiperbola, eufemisme, dan represif. Gaya bahasa “orientasi nilai” memandang segala sesuatu menjadi dua kutub yang berlawanan, misalnya baik dan jahat atau hitam dan putih. Gaya bahasa ini pernah dipakai penguasa era Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaannya dengan menyebut orang-orang yang tidak mendukung pemerintah sebagai antinegara, anti-Pancasila, dan subversif.

Gaya bahasa hiperbola digunakan untuk menyembunyikan kelemahan diri sendiri dengan cara melebih-lebihkan diri sendiri. Pada saat masa kampanye, gaya bahasa ini terwujud melalui slogan-slogan seperti amanah, siap jungkir balik demi rakyat, bersih dan antikorupsi.

Gaya bahasa eufemisme digunakan untuk menutupi kelemahan kelompok yang berkuasa yang sebenarnya kurang memiliki kompetensi. Misalnya, ketika pemerintah menaikkan harga kebutuhan pokok, digunakanlah istilah penyesuaian harga. Ketika ada pihak yang ditangkap, digunakanlah kata diamankan.

Gaya bahasa represif merupakan penggunaan bahasa untuk menekan pihak lain. Gaya bahasa ini bertujuan membuat kelompok yang tidak berkuasa tunduk pada kelompok berkuasa. Ketika seorang atasan memarahi bawahannya, ketika seorang guru membentak-bentak muridnya, dan ketika seorang preman mengancam pedagang di pasar adalah contoh penggunaan gaya bahasa represif ini.

Kekuasaan juga terepresentasi dalam tindak tutur. Tindak tutur yang menunjukkan kekuasaan cenderung memiliki kadar kesopanan yang rendah. Tindak tutur yang demikian tidak sesuai dengan tujuan sosial, yaitu memelihara hubungan yang harmonis. Adapun atas dasar kesesuaiannya dengan tujuan sosial, tindak tutur dibedakan menjadi empat, yaitu tindak tutur konvivial, tindak tutur kolaboratif, tindak tutur kompetitif, dan tindak tutur konfliktif. Tindak tutur konfliktiflah yang memiliki kecenderungan merepresentasikan kekuasaan.

Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik

Tentang Penulis

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *