Setidaknya ada tiga paradigma mengkaji bahasa dalam linguistik modern, yaitu paradigma formal, fungsional, dan kritis. Ketiga paradigma tersebut melahirkan cara pandang yang berbeda tentang bagaimana mengkaji bahasa.
Paradigma Mengkaji Bahasa secara Formal
Paradigma mengkaji bahasa secara formal memandang bahasa sebagai tanda yang memiliki struktur. Ferdinand de Saussure sebagai tokoh yang memelopori kajian strukturalisme melihat ada tiga aspek dalam melihat struktur bahasa, yaitu simbolik, sintagmatik, dan paradigmatik.
Bahasa sebagai sebuah simbol tersusun atas dua komponen, yaitu penanda dan petanda. Penanda merupakan aspek bentuk bahasa dan petanda merupakan aspek maknanya. Bentuk bahasa merupakan wujud bahasa yang dikenal dengan istilah satuan kebahasaan atau satuan lingual. Satuan kebahasaan yang selama ini dikenal ada sepuluh, yaitu fona, fonem, silabel, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Kesepuluh satuan kebahasaan itu merupakan unsur yang bersifat segmental. Sementara itu, masih ada pula unsur kebahasaan yang tidak bersifat segmental yang disebut unsur suprasegmental seperti tekanan, nada, jeda, dan intonasi.
Aspek makna berupa konsep dalam pikiran. Makna merupakan abstraksi atas sebuah objek atau referen dalam pikiran manusia. Jadi, sebuah objek pertama-tama dipersepsikan dalam pikiran manusia menjadi sebuah konsep. Kemudian, konsep tersebut ditandai atau dilabeli dengan bentuk kebahasaan. Aspek makna inilah yang membuat bentuk dapat dipahami.
Tanda bahasa tidak hanya bersifat tunggal, tetapi juga bisa dirangkai menjadi untaian tanda demi tanda. Misalnya, kata demi kata disusun menjadi sebuah frasa atau kalimat. Penyusunan ini melahirkan struktur yang baru yang disebut dengan hubungan sintagmatik atau hubungan linier.
Di sisi lain, setiap tanda bahasa juga memiliki hubungan paradigmatik dengan tanda bahasa yang lain tanpa harus dihadirkan dalam untaian tanda demi tanda. Hubungan paradigmatik itu lahir karena tanda bahasa yang satu memiliki hubungan makna atau dapat diasosiasikan dengan tanda bahasa yang lain. Misalnya, kata kemeja memiliki hubungan asosiatif dengan kaus dan jas.
Paradigma Fungsional
Paradigma mengkaji bahasa secara fungsional memandang bahasa sebagai tanda yang dapat digunakan. Sesuatu yang dapat digunakan mengandaikan memiliki fungsi. Bahasa dapat digunakan untuk merepresentasikan pengalaman manusia (fungsi ideasional). Bahasa dapat digunakan untuk menjalin hubungan sosial (fungsi interpersonal). Bahasa untuk menjalankan kedua fungsi tadi membutuhkan sarana berupa teks atau wacana (fungsi tekstual). Itulah ketiga fungsi bahas menurut Halliday (1970).
Dalam hal untuk merepresentasikan pengalaman, lalu menggunakan hasil representasi itu untuk menjalin hubungan sosial, bahasa dipandang sebagai sarana untuk bertindak (doing). Sebelumnya, hanya disadari bahwa bahasa hanya digunakan untuk sekadar berkata-kata saja (saying) hingga Austin (1969) mengatakan bahwa ada sebuah tindakan yang terlaksana cukup dengan berbahasa selain berkata-kata. Tindakan itu disebut tindak tutur.
Sebuah tuturan yang akan digunakan untuk bertindak diinisiasi oleh sebuah tujuan tutur. Tujuan tutur kemudian disandikan menjadi sebuah tuturan, lalu tuturan itu disampaikan oleh penutur untuk diterima, ditafsirkan, serta dipahami mitra tutur.
Untuk menafsirkan dan memahami isi tuturan itu, si mitra tutur harus menyertakan konteks tuturan itu disampaikan. Konteks merupakan hal-hal yang menyertai tuturan ketika tuturan itu disampaikan. Pemahaman akan isi tuturan berdasarkan konteks yang menyertainya sering disebut dengan maksud.
Paradigma Kritis
Paradigma mengkaji bahasa secara kritis memandang bahasa tidak hanya sebagai sebuah alat untuk bertindak, tetapi juga alat untuk menjadi (being). Tuturan yang digunakan untuk tindakan yang sama, misalnya menyapa seperti Selamat pagi, Pak atau Pagi atau Pagi, Bro yang diucapkan oleh seorang manajer perusahaan, ketika digunakan menunjukkan peran apa yang sedang diemban manajer itu. Tuturan Selamat pagi, Pak menunjukkan dia sebagai seorang bawahan ketika diucapkan kepada seorang direktur. Tuturan Pagi menunjukkan dia sebagai seorang atasan ketika diucapkan sebagai balasan atas sapaan sekretarisnya. Tuturan Pagi, Bro menunjukkan dia sebagai seorang teman ketika diucapkan kepada sesama rekannya yang setara.
Paradigma kritis melibatkan konteks yang lebih luas daripada paradigma fungsional. Konteks tersebut adalah kekuasaan (power) atau dalam istilah lain disebut juga ideologi. Harus disadari bahwa setiap pemakai bahasa ternyata memiliki status sosial yang berbeda-beda. Status sosial tersebut memberikan akses yang berbeda pula kepada setiap pemakai bahasa. Perbedaan tersebut kemudian membuat yang satu merasa lebih berkuasa dibandingkan yang lain.
Kekuasaan yang berbeda antarpemakai bahasa menimbulkan adanya dominasi. Pihak yang lebih berkuasa menjadi lebih dominan dibandingkan pihak yang kekuasaannya lebih terbatas. Ketimpangan dominasi ini jika dimanfaatkan untuk hal yang tidak baik rentan melahirkan kekerasan.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik