Bahasa dapat dilihat sebagai sesuatu yang memiliki tiga dimensi, yaitu bentuk, makna, dan fungsi. Dimensi bentuk dan makna merupakan dimensi internal bahasa. Sementara itu, dimensi fungsi merupakan dimensi eksternal bahasa.
Dimensi bentuk meliputi unsur yang bersifat segmental dan unsur yang bersifat suprasegmental. Bentuk yang bersifat segmental disebut satuan kebahasaan atau satuan lingual.
Dimensi fungsi membentuk struktur eksternal bahasa. Dalam dimensi fungsi, bahasa dipandang sebagai sesuatu yang bisa digunakan. Bahasa dalam dimensi fungsi menghubungkan struktur internal bahasa, yaitu bentuk dan makna (teks), dengan unsur luar bahasa yang disebut konteks. Teks yang dikaitkan dengan konteks melahirkan makna kontekstual atau dalam bahasa Indonesia sering disebut dengan maksud.
Struktur Internal Bahasa
Ferdinand de Saussure (Bapak Linguistik Modern) menguraikan bahwa bahasa terdiri atas aspek bentuk dan makna. Bentuk berupa bunyi bahasa. Bentuk merupakan unsur yang dapat diindra. Makna ialah konsep abstrak dalam pikiran yang membuat bentuk dapat dipahami. Makna merupakan abstraksi dari sebuah objek.
Menurut Saussure, hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer. Arbitrer artinya tidak ada motivasi khusus mengapa konsep berupa abstraksi X dilabeli dengan bentuk Y. Oleh Saussure, bentuk disebut dengan penanda; makna disebut petanda.
Bentuk dan makna ini bagaikan dua sisi keping koin yang tidak dapat dipisahkan. Bahasa tanpa bentuk tidak bersifat representatif. Bahasa tanpa makna tidak dapat bersifat interpretatif. Ketika hubungan antara bentuk dan makna tidak disepakati, bahasa tidak dapat bersifat konvensional.
Jadi, bahasa bukanlah sistem nama. Bahasa bukanlah hubungan langsung antara bentuk dengan objek/referen. Sebuah objek/referen awalnya diabstraksikan dalam pikiran menjadi konsep/makna. Konsep/makna tersebut kemudian ditandai/dilabeli dengan bentuk bahasa.
Fungsi sebagai Unsur Eksternal Bahasa
Bahasa dalam dimensi penggunaan memiliki dianggap sebagai sesuatu yang memiliki fungsi. Banyak orang mengatakan bahwa bahasa adalah alat komunikasi. Namun, orang tidak memahami bahasa itu alat komunikasi yang seperti apa? Apa yang membedakan bahasa dengan alat komunikasi yang lain, seperti suara sirine, kentongan, peluit, gambar pada rambu-rambu lalu lintas, dan lain-lain? Dengan bahasa, kita dapat melakukan X. Adapun X tidak dapat kita lakukan dengan sarana komunikasi yang lain. Apa itu X?
Bahasa dapat digunakan untuk merepresentasikan pengalaman manusia (fungsi ideasional). Bahasa dapat digunakan untuk menjalin hubungan sosial (fungsi interpersonal). Bahasa untuk menjalankan kedua fungsi tadi membutuhkan sarana berupa teks atau wacana (fungsi tekstual). Itulah ketiga fungsi bahasa menurut Halliday (1970).
Dalam hal untuk merepresentasikan pengalaman, lalu menggunakan hasil representasi itu untuk menjalin hubungan sosial, bahasa dipandang sebagai sarana untuk bertindak (doing). Sebelumnya, hanya disadari bahwa bahasa hanya digunakan untuk sekadar berkata-kata saja (saying) hingga Austin (1962) mengatakan bahwa ada sebuah tindakan yang terlaksana cukup dengan berbahasa selain berkata-kata. Tindakan itu disebut tindak tutur.
Selain itu, bahasa tidak hanya dipandang sebagai sebuah alat untuk bertindak, tetapi juga alat untuk menjadi (being). Tuturan yang digunakan untuk tindakan yang sama, misalnya menyapa seperti Selamat pagi, Pak atau Pagi atau Pagi, Bro yang diucapkan oleh seorang manajer perusahaan, menunjukkan peran apa yang sedang diemban manajer itu. Tuturan Selamat pagi, Pak menunjukkan dia sebagai seorang bawahan ketika diucapkan kepada seorang direktur. Tuturan Pagi menunjukkan dia sebagai seorang atasan ketika diucapkan sebagai balasan atas sapaan sekretarisnya. Tuturan Pagi, Bro menunjukkan dia sebagai seorang teman ketika diucapkan kepada sesama rekannya yang setara.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik