Sering kali seorang penutur berada pada keadaan harus melanggar Prinsip Kerja Sama (PK) demi terakomodasinya Prinsip Kesopanan (PS). Dia melakukan kesopanan semu (mock politeness), seakan-akan sopan, tetapi “menyerang”. Biasanya tindakan tersebut dilakukan untuk menyindir. Hal ini disebut ironi.
Leech menjelaskan, dalam ironi apa yang dikatakan penutur sopan bagi mitra tutur, tetapi yang dikatakan tersebut jelas tidak benar. Karena itu, apa yang sesungguhnya dimaksud oleh penutur sebetulnya tidak sopan tetapi benar.
Leech juga menjelaskan bahwa jika penutur terpaksa menyinggung perasaan mitra tutur, penutur harus mengusahakan agar tuturannya tidak bertentangan dengan PS secara mencolok. Hendaknya penutur membiarkan mitra tutur memahami maksud tuturan secara tidak langsung, yaitu melalui implikatur. Misalnya:
(1) A : Bila kita memiliki teman seperti dia, apakah kita masih perlu mencari musuh?
Tuturan (1) di atas bersifat ironis. Demi mengakomodasi PS dengan menghormati sosok si “dia”, si A dalam tuturan di atas tidak mematuhi PK karena menyampaikan informasi secara tidak langsung. Sebenarnya bisa saja si A ini mengatakan bahwa si “dia” adalah orang yang tidak baik sehingga lebih cocok disebut sebagai musuh daripada sebagai teman. Namun, demi menghormati si “dia”, si A menyampaikan tuturannya dengan mengabaikan maksim pelaksanaan.
Sering kali penutur terpaksa berbohong demi sopan santun. Oleh karena itu, dia menggunakan prinsip ironi untuk bertindak tidak sopan atau memupuk penggunaan bahasa yang “antisosial”. Seorang penutur bersikap ironis bila menggunakan sikap tidak tulus sebagai pengganti sikap tidak sopan dan dengan perilaku tersebut penutur bertujuan merugikan mitra tutur seperti pada contoh berikut.
(2) A : Wah hebat sekali anakku, nilainya merah semua.
Dalam tuturan (2) di atas si A ingin memarahi anaknya yang mendapat nilai buruk. Namun, dia menggunakan sikap yang tidak tulus sebagai pengganti marahnya. Tuturan si A tersebut jelas merugikan mitra tutur karena si mitra tutur merasa tersudutkan dengan realitas yang disampaikan s A.
Menurut Leech, ironi dapat dilakukan ketika sudah mendekati konflik untuk menghindari agresi. Leech menjelaskan ketika PS sudah tidak dapat ditaati lagi, ironi bisa menjadi jalan tengah supaya tidak terjadi konflik antara penutur dengan mitra tutur. Ketidaktaatan terhadap PS yang dilakukan oleh penutur berpotensi melahirkan ketidaktaatan terhadap PS dari mitra tutur.
Misalnya, ketika seorang penutur mengancam mitra tutur, si mitra tutur berpotensi melakukan ancaman balik. Tindakan mengancam merupakan tindak tutur yang tidak sesuai dengan PS. Oleh karena itu, untuk menghindari serangan balik tersebut ironi dapat digunakan karena menurut Leech, ironi tidak dapat dibalas dengan ironi.
Seperti halnya contoh (1) di atas, jika si A memarahi anaknya dengan mengatakan anaknya bodoh—yang berarti tidak mematuhi PS, khususnya maksim pujian—si anak berpotensi membalas si A karena merasa tidak dihormati. Namun, dengan strategi ironi, si A berhasil membuat anaknya tidak berkutik sehingga anaknya tidak bisa membalas si A.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor : Benedikta Haryanti