Bahasa adalah fenomena yang begitu kaya dan kompleks, lebih dari sekadar kumpulan kata dan aturan tata bahasa. Sebagai alat utama komunikasi manusia, bahasa memiliki berbagai dimensi yang menjadikannya unik dan khas. Bahasa dapat dibedah ke dalam tiga dimensi utama: bentuk, makna, dan fungsi. Ketiga dimensi bahasa ini memungkinkan kita memahami tidak hanya bagaimana bahasa didengar atau dibaca, tetapi juga bagaimana bahasa mencerminkan pikiran, budaya, dan konteks sosial.
Dimensi bentuk berkaitan dengan aspek fisik atau struktur bahasa yang dapat kita indra, seperti bunyi, kata, dan susunan kalimat. Di sisi lain, dimensi makna memberi kita pemahaman mengenai abstraksi atau konsep yang diwakili oleh bentuk-bentuk bahasa tersebut. Keduanya merupakan struktur internal bahasa, sebuah sistem yang tersusun dan teratur untuk memungkinkan kita mengungkapkan ide dan konsep secara eksplisit.
Namun, bahasa tidak hanya berfungsi sebagai media ekspresi individu, tetapi juga sebagai sarana interaksi sosial yang kompleks. Inilah yang dimaksud dengan dimensi fungsi: bagaimana bahasa digunakan di dalam konteks-konteks yang berbeda, menjadikannya sebagai sarana komunikasi yang efektif.
Dimensi fungsi menempatkan bahasa dalam dunia nyata. Dimensi fungsi menghubungkan bentuk dan makna (sebagai struktur internal bahasa) dengan lingkungan eksternal, yang kita sebut sebagai konteks. Ketika teks (bentuk + makna) dihubungkan dengan konteksnya, lahirlah makna kontekstual yang mendalam, yang dalam istilah linguistik disebut sebagai maksud atau tujuan komunikasi.
Melalui ketiga dimensi ini, kita bisa melihat bahwa bahasa tidak sekadar medium komunikasi sederhana. Bahasa adalah sistem holistik yang mengintegrasikan bentuk, makna, dan fungsi untuk menciptakan jalinan komunikasi. Pemahaman terhadap dimensi-dimensi bahasa ini akan membuka wawasan kita mengenai peran bahasa dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai alat berpikir, berkomunikasi, maupun membangun hubungan sosial.
Dimensi Bentuk: Unsur Fisik Bahasa
Dalam studi linguistik, dimensi bentuk adalah aspek bahasa yang berkaitan dengan elemen-elemen fisik yang bisa diindra, seperti bunyi (dan juga tulisan sebagai representasinya), susunan kata, dan struktur kalimat. Dimensi ini mencakup semua komponen yang membentuk bahasa secara konkret dan dapat diamati, baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan.
Dengan memahami dimensi bentuk, kita bisa mengetahui cara bahasa diproduksi dan dikenali, memungkinkan adanya pola komunikasi yang konsisten antarindividu.
Segmental dan Suprasegmental: Menyelami Komponen Bentuk Bahasa
Dimensi bentuk dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu unsur segmental dan unsur suprasegmental:
- Unsur Segmental:
- Unsur segmental meliputi unit-unit terkecil dalam bahasa yang dapat dipilah satu per satu dalam urutan linier. Ini termasuk fonem (bunyi terkecil dalam bahasa yang membedakan makna), morfem (unit terkecil yang memiliki makna), serta struktur yang lebih besar seperti kata, frasa, kalimat, dan wacana.
- Misalnya, dalam kata berjalan, kita bisa mengidentifikasi beberapa morfem: ber– sebagai awalan yang menunjukkan ‘tindakan’, dan jalan sebagai bentuk dasar. Setiap morfem dalam struktur segmental memberikan makna tertentu, dan dengan menggabungkan morfem-morfem ini, kita membentuk kata yang bisa digunakan dalam konteks yang lebih luas.
- Unsur Suprasegmental:
- Unsur suprasegmental adalah elemen yang melampaui satuan segmental seperti kata atau fonem, namun sangat memengaruhi cara bahasa disampaikan dan diterima. Ini mencakup aspek-aspek seperti intonasi (nada suara), tekanan (penekanan pada suku kata atau kata tertentu), dan ritme (irama dalam tuturan).
- Unsur suprasegmental memainkan peran penting dalam membedakan makna atau nuansa dalam percakapan. Contohnya, kalimat Kamu datang? bisa memiliki makna yang berbeda jika diucapkan dengan intonasi yang berbeda—intonasi menaik bisa menunjukkan pertanyaan, sementara intonasi mendatar bisa memberi kesan pernyataan atau konfirmasi.
Pandangan Ferdinand de Saussure tentang Bentuk: Penanda sebagai Representasi
Ferdinand de Saussure, seorang pelopor dalam linguistik modern, memperkenalkan konsep bahwa bahasa terdiri dari dua aspek utama: penanda (signifier) dan petanda (signified).
Menurut Saussure, penanda adalah aspek bentuk atau elemen fisik dalam bahasa—seperti bunyi atau simbol tertulis—yang dapat diamati atau diindra. Elemen ini sangat penting karena berfungsi sebagai penghubung antara dunia fisik dan konsep abstrak (petanda) yang diwakilinya.
Baca juga: Bahasa Itu Abstrak, Wujud Konkretnya Berupa Satuan Kebahasaan
Penanda atau bentuk adalah elemen konkret yang memungkinkan bahasa untuk merepresentasikan ide, konsep, atau objek di dunia nyata. Sebagai contoh, bunyi atau rangkaian huruf meja merupakan penanda yang secara konvensional disepakati untuk mengacu pada sebuah konsep tentang objek tempat menulis atau meletakkan barang.
Hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer—tidak ada alasan khusus mengapa konsep tentang objek ini disebut meja—tetapi konvensi masyarakatlah yang membuat penanda tersebut bermakna.
Dengan memahami dimensi bentuk bahasa sebagai kombinasi dari unsur segmental dan suprasegmental serta peran penanda, kita dapat mengerti bagaimana bahasa menyusun elemen-elemen fisik yang dapat dikenali secara sensoris untuk menciptakan komunikasi yang efektif.
Dimensi bentuk adalah fondasi penting yang memungkinkan bahasa menjadi alat yang bisa digunakan untuk berpikir, mengungkapkan ide, dan menjalin hubungan antarindividu.
Dimensi Makna: Konsep Abstraksi
Pada dasarnya, dimensi makna dalam bahasa berkaitan dengan sesuatu yang abstrak. Artinya, makna tidak merujuk langsung pada bentuk fisik atau objek yang kita lihat, tetapi pada konsep atau ide yang ada dalam pikiran. Ketika kita berbicara tentang “abstrak,” ini berarti kita berbicara tentang gagasan atau pemikiran yang tidak tampak atau bisa disentuh, tetapi hanya bisa kita pahami melalui pemikiran kita.
Misalnya, ketika kita mendengar kata pohon, kita tidak sedang melihat pohon yang sebenarnya. Yang kita bayangkan adalah konsep tentang pohon—yaitu, sejenis tanaman yang memiliki batang, daun, dan tumbuh di alam. Inilah yang dimaksud dengan makna sebagai konsep abstrak.
Kaitan antara Makna dan Objek/Referen
Penting untuk memahami bahwa makna bukanlah objek itu sendiri. Kata pohon bukanlah pohon yang kita lihat di taman atau di hutan, melainkan label atau penanda untuk menyebutkan konsep tentang pohon yang ada dalam pikiran kita.
- Bahasa sebagai Representasi:
- Dalam bahasa, kata atau bunyi tertentu mewakili konsep atau ide tertentu, tetapi bukan benda fisik yang sesungguhnya. Misalnya, kata pohon merepresentasikan konsep tentang pohon tetapi tidak langsung mengacu pada pohon tertentu di dunia nyata.
- Bentuk Bahasa Bukan Sekadar Label Objek:
- Bahasa bukan sekadar kumpulan label atau nama-nama untuk objek fisik. Setiap kata mencerminkan ide atau konsep yang bisa kita pahami bersama-sama, meski mungkin saja berbeda dalam detailnya. Dengan kata lain, bahasa adalah sistem representasi dari hal-hal yang kita pikirkan, bukan dari hal-hal yang kita lihat atau sentuh.
Pentingnya Memahami Hakikat Makna
Dengan memahami bahwa makna adalah sesuatu yang abstrak, kita bisa melihat bahasa sebagai alat untuk menghubungkan konsep-konsep di dalam pikiran kita. Bahasa memungkinkan kita berbagi dan memahami ide atau konsep dengan orang lain, bukan hanya sekadar menyebut benda yang bisa dilihat atau disentuh.
Jadi, dimensi makna adalah bagian dari bahasa yang menjadikan kata-kata lebih dari sekadar label atau nama objek fisik; dimensi ini memungkinkan kita berbagi konsep-konsep, ide-ide, dan gagasan yang ada dalam pikiran kita, sehingga tercipta komunikasi yang lebih dalam dan kompleks.
Hubungan Arbitrer antara Bentuk dan Makna: Konsep Penanda dan Petanda menurut Saussure
Di awal abad ke-20, Ferdinand de Saussure, seorang tokoh terkemuka dalam linguistik modern, memperkenalkan teori bahwa bahasa terdiri dari dua komponen dasar: penanda (signifier) dan petanda (signified).
- Penanda (Signifier) adalah bentuk fisik atau representasi konkret dari bahasa, seperti bunyi tertentu atau simbol tertulis, misalnya kata pohon.
- Petanda (Signified), di sisi lain, adalah konsep atau makna abstrak yang muncul ketika kita mendengar atau melihat penanda. Dalam kasus pohon, petanda adalah konsep tentang tanaman dengan batang, cabang, dan daun yang tumbuh di alam.
Menurut Saussure, hubungan antara penanda dan petanda bersifat arbitrer atau tidak bermotivasi: tidak ada hubungan alami antara bunyi atau simbol tertentu dengan makna yang diwakilinya.
Misalnya, tidak ada alasan khusus mengapa konsep tentang “pohon” harus diwakili dengan deret bunyi atau deret huruf “p-o-h-o-n”. Ini hanyalah hasil kesepakatan konvensional di antara pengguna bahasa Indonesia.
Konsep yang sama dapat disebut tree dalam bahasa Inggris atau árbol dalam bahasa Spanyol.
Fenomena ini menunjukkan bahwa makna tidak melekat langsung pada bentuk, melainkan terbentuk melalui abstraksi, yaitu proses berpikir yang menghubungkan antara penanda dan petanda dalam sistem bahasa tertentu.
Pentingnya Kesepakatan Konvensional: Bahasa sebagai Sistem Sosial
Bahasa bermakna karena adanya kesepakatan konvensional di antara para pengguna bahasa. Ketika masyarakat sepakat bahwa bentuk tertentu mewakili makna tertentu, terciptalah sistem bahasa yang memungkinkan komunikasi. Bahasa tanpa kesepakatan semacam ini akan kehilangan kemampuannya untuk berfungsi secara efektif sebagai alat komunikasi.
- Bahasa sebagai Konvensi Sosial:
- Bahasa tidak hanya ada dalam pikiran satu individu tetapi merupakan produk dari kesepakatan kolektif di antara komunitas. Misalnya, ketika komunitas setuju bahwa kata meja merepresentasikan suatu objek furnitur yang digunakan untuk menulis atau meletakkan barang, kata tersebut memiliki makna dalam konteks sosial.
- Kekuatan Konvensi dalam Makna:
- Karena hubungan antara bentuk dan makna bersifat arbitrer, kesepakatan konvensional ini sangat krusial agar bahasa dapat dipahami oleh semua anggotanya. Konvensi ini memungkinkan orang untuk saling memahami tanpa perlu bertanya-tanya tentang asal-usul kata atau struktur bahasa yang mereka gunakan setiap hari.
Kesepakatan konvensional ini menjadikan bahasa sebagai alat komunikasi yang kohesif dan stabil meski terus berkembang. Ketika masyarakat menerima bentuk-bentuk baru atau mengubah makna bentuk yang sudah ada, mereka memperbarui konvensi untuk mencerminkan penggunaan bahasa yang relevan dan dinamis.
Melalui dimensi makna, kita memahami bahwa bahasa tidak sekadar kumpulan simbol atau bunyi, tetapi merupakan cara manusia menciptakan dan memahami konsep-konsep yang rumit.
Dimensi ini memungkinkan kita menangkap esensi dari dunia di sekitar kita, mengungkapkan ide, dan berbagi pengalaman abstrak yang melampaui sekadar bentuk fisik kata.
Dimensi Fungsi: Bahasa sebagai Alat untuk Berinteraksi
Dalam dimensi fungsi, bahasa dipahami sebagai sarana yang digunakan dalam konteks sosial, yang memungkinkan manusia untuk berinteraksi, mewakili pengalaman, dan menjalin hubungan sosial. Di sini, bahasa tidak hanya sekadar kumpulan bentuk dan makna yang terisolasi, melainkan sebagai alat aktif yang dipakai orang dalam berbagai situasi untuk mencapai tujuan tertentu. Dimensi ini melihat bahasa dalam tindakan dan bagaimana bahasa berfungsi dalam kehidupan nyata.
Dimensi fungsi dalam bahasa menunjukkan bahwa bahasa bukanlah sekadar susunan kata dan makna yang statis, melainkan sesuatu yang dapat digunakan. Karena bahasa adalah sesuatu yang kita pakai dalam kehidupan sehari-hari, secara alami bahasa memiliki fungsi. Ini adalah dimensi ketiga dari bahasa, yang melihatnya sebagai alat dinamis untuk berkomunikasi, bukan hanya sebagai struktur atau aturan kaku.
Bayangkan bahasa seperti alat yang dipegang dan dipakai manusia dalam berbagai situasi sosial untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Dalam percakapan, misalnya, kita tidak hanya menggabungkan kata-kata, tetapi juga menggunakan bahasa untuk berinteraksi, mengekspresikan perasaan, berbagi pengalaman, dan membangun hubungan sosial. Artinya, bahasa punya peran aktif dalam kehidupan kita—kita memakainya untuk melakukan sesuatu.
Dengan memahami bahasa sebagai alat yang digunakan untuk berkomunikasi, kita dapat melihat bahwa bahasa memiliki fungsi yang berbeda-beda tergantung pada konteks pemakaiannya. Jadi, bahasa bukan hanya struktur kata-kata, tetapi juga sesuatu yang hidup dan fleksibel, dipakai manusia dalam kehidupan nyata untuk beragam tujuan.
Pandangan Michael Halliday tentang Fungsi Bahasa
Michael Halliday, seorang ahli bahasa terkemuka, mengidentifikasi tiga fungsi utama dalam bahasa yang masing-masing mencerminkan peran penting dalam interaksi manusia. Ketiga fungsi ini dikenal sebagai fungsi ideasional, interpersonal, dan tekstual.
- Fungsi Ideasional: Bahasa sebagai Representasi Pengalaman
- Fungsi ideasional memungkinkan bahasa untuk merepresentasikan pengalaman manusia. Dengan kata lain, melalui bahasa, kita bisa menggambarkan, mengkategorikan, dan membicarakan segala sesuatu yang kita lihat, dengar, atau rasakan.
- Bahasa memungkinkan kita mengungkapkan ide-ide, pengalaman, dan dunia di sekitar kita. Contohnya, ketika kita berkata, “Matahari terbenam di ufuk barat,” kita sedang menggunakan bahasa untuk menggambarkan fenomena alam yang kita alami.
- Fungsi Interpersonal: Bahasa untuk Membangun Hubungan Sosial
- Fungsi interpersonal memungkinkan kita untuk membangun hubungan sosial dengan orang lain. Melalui bahasa, kita dapat menyapa, bertanya, meminta, memerintah, atau menunjukkan sikap emosional.
- Interaksi semacam ini memperkuat hubungan sosial, membantu dalam negosiasi peran, dan memungkinkan kita untuk berkomunikasi secara efektif dalam berbagai situasi.
- Misalnya, ketika seseorang menyapa dengan “Apa kabar?”, tujuan utamanya bukan sekadar bertanya tentang keadaan tetapi juga untuk menciptakan ikatan sosial.
- Fungsi Tekstual: Penggunaan Bahasa dalam Teks untuk Menyampaikan Makna
- Fungsi tekstual memungkinkan bahasa untuk mengorganisasi informasi secara efektif dalam teks, sehingga kita dapat menyampaikan ide atau pengalaman (fungsi ideasional) dan berinteraksi (fungsi interpersonal) dalam bentuk yang koheren.
- Fungsi ini membantu dalam menyusun kalimat, paragraf, dan wacana yang terstruktur agar mudah dipahami oleh orang lain, menciptakan alur dalam percakapan, tulisan, atau pidato.
Bahasa sebagai Sarana Saying, Doing, dan Being
Selain teori fungsi bahasa yang dikemukakan oleh Halliday di atas, ada pula pandangan bahwa bahasa memiliki tiga fungsi utama: saying, doing, dan being.
Awalnya, bahasa hanya dianggap sebagai alat untuk saying atau “mengatakan” sesuatu—artinya, bahasa dipandang sebagai sarana untuk menyampaikan informasi atau menyatakan ide.
Namun, filsuf bahasa John Austin memperluas pemahaman ini dengan memperkenalkan konsep doing atau “melakukan.” Menurut Austin, bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan kata-kata, tetapi juga untuk melakukan tindakan tertentu, yang disebutnya sebagai tindak tutur.
Ketika seseorang berkata, “Saya janji akan datang tepat waktu,” ia tidak hanya menyampaikan kata-kata tetapi juga melakukan tindakan berkomitmen, yaitu berjanji.
Lebih lanjut, konsep being memperkenalkan peran bahasa sebagai sarana untuk menunjukkan identitas atau peran sosial pembicara. Dalam konteks sosial, pilihan kata dan cara berbahasa dapat mencerminkan status atau hubungan seseorang dengan lawan bicaranya. Misalnya, seorang manajer bisa memerankan tiga posisi yang berbeda dilihat dari cara dia menyapa dengan tiga cara berbeda, tergantung konteks dan siapa yang ia ajak bicara:
- “Selamat pagi, Pak.” – menunjukkan perannya sebagai bawahan yang menghormati atasan.
- “Pagi.” – menunjukkan perannya sebagai atasan ketika menyapa sekretarisnya secara singkat.
- “Pagi, Bro.” – menunjukkan hubungan setara dan akrab saat berbicara dengan teman sejawat.
Pilihan sapaan ini lebih dari sekadar kata-kata, yaitu mencerminkan identitas sosial, hubungan hierarkis, atau tingkat keakraban, yang merupakan aspek penting dalam membangun citra diri dalam interaksi sosial.
Menghubungkan Dimensi-Dimensi Bahasa dalam Kehidupan
Pemahaman tentang bahasa sebagai fenomena multidimensi—yang mencakup bentuk, makna, dan fungsi—memberikan kita cara pandang yang lebih kaya terhadap bahasa. Ketiga dimensi ini memungkinkan kita melihat bahasa sebagai suatu kesatuan yang dinamis:
- dimensi bentuk berperan dalam menyusun elemen-elemen fisik,
- makna memberikan konsep-konsep di balik bentuk tersebut, dan
- fungsi menghubungkan bahasa dengan konteks sosial, menciptakan interaksi yang bermakna.
Melihat bahasa dari perspektif multidimensi bukan hanya memperdalam pengetahuan linguistik, tetapi juga memperkaya pemahaman kita dalam berkomunikasi sehari-hari.
Bahasa bukan sekadar alat untuk menyampaikan informasi, melainkan sebuah sistem kompleks yang melibatkan pemikiran dan hubungan sosial.
Pemahaman dimensi ini membantu kita menyadari bahwa setiap kata dan kalimat yang kita ucapkan atau dengar membawa makna lebih dalam, terhubung dengan konteks sosial, budaya, dan relasi interpersonal yang kita bangun melalui bahasa.
Melalui perspektif yang holistik ini, kita dapat lebih memahami bagaimana bahasa memengaruhi dan dipengaruhi oleh pengalaman, interaksi, dan identitas kita dalam masyarakat.
Dengan demikian, memahami bahasa secara multidimensi membantu kita menghargai perannya yang lebih luas dalam kehidupan, baik sebagai sarana ekspresi diri maupun sebagai alat untuk membangun koneksi dengan orang lain.
Penulis: Sony Christian Sudarsono | Editor: Benedikta Haryanti | Gambar: Freepik